Cinta Raisa #2
Farhan merupakan tipikal orang yang nyaman dijadikan teman curhat. Terlebih, ia sangat teguh dalam menyimpan rahasia. Tidak mudah menyebarkan ke yang lain. Maka Gus Rama pun begitu suka menceritakan berbagai hal pribadi kepada Farhan.
Sekitar tiga tahun yang lalu, Farhan memantapkan pilihan untuk tinggal di daerah sepi. Tepatnya di lingkungan yang masih asri belum marak oleh gegap gempita pembangunan dan kepadatan penduduk. Ini adalah impiannya sejak lama.
Sebelumnya, Farhan berkelana dari pesantren ke pesantren. Berguru pada kyai dengan semangat tinggi. Lebih dari sepuluh pesantren yang telah ia datangi. Rata-rata setiap pesantren disinggahi selama satu sampai dua tahun, kecuali Pesantren Darun Najah yang lebih dari lima tahun. Mempelajari berbagai kitab kuning, dari yang dasar hingga kitab taraf lanjutan.
Biasanya setelah pengajian suatu kitab telah khatam, Farhan akan sowan (menemui) ke pengasuh pesantren untuk pamit menuju pesantren yang lain. Ia berkeyakinan bahwa mondok dan bertemu kyaidi banyak pesantren berarti banyak pula mendapat berkah.
Meskipun Farhan telah mumpuni dalam bidang kitab, dirinya tidaklah mudah berpuas diri. Sampai hari ini pun ia terus mengaji. Menyelami dalamnya lautan ilmu.
Semakin banyak belajar, Farhan semakin tergugah untuk lebih mencintai Allah, menyayangi sesama insan, dan melestarikan lingkungan. Setiap hari rasa syukurnya terus bertambah.
Memilih untuk tinggal di daerah pelosok, bukan berarti Farhan menghindar dari perjuangan amar ma’ruf nahi mungkar. Justru Farhan menjalankan misi menebar kebaikan dari daerah terpencil agar apa yang dilakukannya murni demi Islam rahmatan lil ‘alamin. Bertempat tinggal di lingkungan yang sunyi membuatnya sering tafakur.
Farhan berperawakan tinggi tegap. Posturnya sedang, tidak gemuk atau kurus. Wajahnya tampak serius jika berbicara, namun tidak jarang tertawa lepas kalau ada obrolan yang menggelitik hatinya.
Farhan memantapkan masa depannya di bidang pertanian yang juga terintegrasi dengan peternakan dan perikanan. Baginya, menekuni pertanian sifatnya wajib. Kalau ingin makan ya harus mau menanam.
Beras yang diolah menjadi nasi lalu terhidang di meja makan sangat perlu diupayakan ketersediannya. Begitu pula makanan lain seperti sayur dan buah, haruslah terjaga keberlangsungannya. Oleh karena itu, harus ada yang melanjutkan regenerasi petani.
Farhan banyak belajar ilmu pertanian pada seorang kyai yang sekaligus mertuanya. Kyai tersebut tiada lain adalah ayah Nailatul Husna. Sosoknya sederhana dan gemar membantu sesama.
Ayah Naila merupakan pengasuh Pondok Pesantren Darun Najah. Sebuah pesantren yang letaknya di kaki gunung. Berjarak delapan puluh kilometer dari tempat tinggal Farhan sekarang.
Awalnya Farhan mengaji Al-Qur’an kepada ayah Naila. Lebih tepatnya menghafal Al-Qur’an dan mendalami tafsirnya. Kalau umumnya santri di Pesantren Darun Najah mampu menyelesaikan hafalan Al-Qur’an dalam waktu kurang dari tiga tahun, Farhan tidak. Ia berhasil hafal 30 juz setelah berusaha selama lima tahun.
Meski terbilang lambat dibanding santri-santri yang lain, namun siapa sangka justru Farhanlah yang dipilih untuk menikahi Naila. Suasana riuh menyambut kabar mengejutkan ini. Banyak yang lantas patah hati.
Seribu lima ratus santri yang menghuni pesantren itu menjadi saksi hidup betapa anggunnya sosok Naila. Tutur katanya santun, tawadhu dan ramah pada semua yang menyapanya. Parasnya? Aduhai, bagai indahnya bunga yang mekar sempurna. Apabila dipandang dari sudut manapun akan tetap nampak menawan.
Laksana pesona bidadari, Para santri putra tak kuasa menolak jika mendapat kesempatan bersanding dengannya. Angan-angan yang bisa berujung nestapa. Lihatlah kalimat-kalimat yang tertulis di sampul kitab, di buku-buku catatan, dibalik lemari milik santri-santri.
Ning Naila, aku padamu.
Kapan Nikah? Saat Ning Naila siap jadi makmumku.
Kawan, janganlah engkau menjadi lawan jika ternyata Ning Naila memilihku.
Meski aku bukan Gus, maukah Ning Naila menerima cintaku?
Dan masih banyak lainnya yang nyatanya harapan-harapan tersebut harus diredam atau sirna dengan sendirinya ketika Naila telah menambatkan hatinya pada Farhan. Maka sesungguhnya yang terjadi bukanlah perjodohan. Naila yang memilih sendiri.
Ceritanya di suatu pagi, usai melaksanakan sholat Dhuha, Naila dipanggil ayahnya.
“Naila, kesini nak. Ayah ingin bicara” Ajak ayah Naila.
“Iya Yah. Ada penting nopo?” Sambut Naila.
“Begini, Naila kan sekarang sudah cukup umur untuk menikah. Perlukah ayah yang mencarikan calon suami untukmu?”
Seketika wajah Naila bersemu merah. Beberapa saat Naila terpaku tanpa mampu berkata-kata.
“Kalau iya, ada santri putra yang bagi ayah cukup tepat menjadi imammu dalam rumah tangga” Sambung ayah Naila.
“Siapa Yah?” Sahut ibu Naila yang tiba-tiba menyusul masuk ke ruang tengah, tempat Naila dan ayahnya berbincang.
“Ini Bu, sudah lama ayah memperhatikan dan rasanya cocok untuk menjadi suami Naila”
“Memperhatikan siapa Yah?” Tanya ibu Naila, penasaran.
“Sudah lebih dari lima tahun mondok disini. Orangnya tidak banyak tingkah, terkesan kalem. Ilmunya termasuk mumpuni untuk bekal sebagai suami Naila”
“Siapa Yah? Naila kelihatan penasaran lho” Seru ibu Naila
“Namanya Muhammad Farhan” Jawab ayah Naila
Allahu Akbar
Sontak Jantung Naila berdegup lebih kencang. Irama keharuan menyelimuti suasana hatinya. Tubuhnya memeluk ibu begitu erat.
Sejenak ayah Naila tertegun. Mengapa respon Naila demikian kuat? (Bersambung)
Penulis: Muhamad Taufik
…….
IKUTI OFFICIAL RESMI KAMI:
Facebook – pondok pesantren tahfidz an-nur
Instagram – @annurngrukem
Twitter – @annurngrukem
YouTube – annurngrukem