Cs : Sabar
Kabut hitam begitu cepat memeluk atap bumi. Pertarungan antara hitam dan putih semakin sengit. Rona panas menampar jagat raya. Panas…, dan makin panas. Mengomando makhluk bumi untuk mengibaskan kipas, mencari secuil udara bergerak.
Pertarungan masih berlangsung.
Serdadu hitam kian menguasai arena. Membawa bendera kerajaan mendung untuk
bertahta di singgasana langit. Memaksa pasukan awan putih terhempas di iringi
tepukan sorak sorai Sang Petir. Lengkap sudah!. Mendung kian meraja. Petir dan
kilat menjadi patih dan angin diangkat sebagai ajudan. Dunia pun menjadi gelap
gulita. Menyeramkan!.
Sementara itu…
Bumi yang sudah berbau basah serta merta
menghembuskan hawa kantuk ke seantero Pondok Pesantren An Nur. Seluruh santri
terlelap dalam tidur siangnya.
“Shodaqollahul ‘adzim…”
Kuputuskan untuk menyudahi nderes kali ini. Rupanya, aroma kantuk begitu cepat
merambat, memenuhi tiap ruang di aula lantai tiga, tempat dimana aku nderes.
Dan merupakan keputusan yang tepat bila aku ingin tidur siang ini. Tapi,
eit…tunggu dulu!. Ternyata, surat itu datang lagi. Tidak ada perubahan dalam
bentuknya. Masih menggunakan kertas HVS merah dan pita yang berwarna merah
pula. Sama seperti bulan lalu. Surat tanpa amplop itu nangkring pada lubang
sempit di atas pintu penghubung aula putra dan putri.
“Bulan kemarin hari sabtu, minggu kedua. Bulan ini juga sabtu dan merupakan minggu
kedua.” Pikirku, coba menganalisis latar belakang si penulis. Lalu, aku pun
bergegas mengambil kertas merah itu dan membawanya tepat dibawah kipas angin.
Mendung tebal memang tak hanya menyebabkan kantuk, pun juga virus gerah yang
mulai membahana. Perlahan kubuka ikatan pita merahnya. Kuamati dan kucoba masuk
dalam barisan puisi berirama nestapa di depan mataku.
Daun luruh di senja hari
tersedu, menggigil di pangkuan
akar bumi.
Malam terlalu angkuh tuk di kelabuhi.
Aku kalah, payah dan lemah.
Pagi tak dapat ku jumpai
hanya bisa kunanti.
Bersama peluh tanpa arti.
“Herek…waitcya…apaan nich!!!.”
“Tapi, ck…ck…ck…pure, kasihan sekali”. Gumamku lirih. Spontan kukerutkan
alis, ada yang tidak kupahami dari puisi itu. Otakku terus berputar, dan…
“O…, si penulis lagi putus cinta kali ya…, atau cintanya nggak
kesampaian!.”
“Ah, entahlah, bodo amat, amat aja nggak bodo!.” Virus cuek muncul dan sesaat
sebelum aku beranjak, tiba-tiba…cling!.
“Atau jangan-jangan dia habis di sidang seksi keamanan gara-gara pacaran di
bawah pohon kala hari senja. Terus…ketahuan sama “polisi” pondok. Waduh,
kasihan juga.”
Begitulah, otak dan hatiku berpikir keras. Jiwa-jiwa detektif dan puitis dalam
darahku melaju begitu saja. Menerobos pekatnya mendung dan panasnya hawa
pancaroba.
“Kira-kira, santri putri atau putra ya…!?”. Aku masih bertanya-tanya, mencari
kepastian.
“Tapi, kalau dilihat dari tulisannya, mustahil kalau anak putri. Wong
acak-acakan gitu. Kayak habis perang dari negeri antah berantah.”
“Tuink…!!!.”
Ingatanku melayang pada kertas merah bulan lalu. Kalimat lengkapnya sih lupa.
Tapi, isinya nggak jauh-jauh dari rasa gembira yang membuncah karena menemukan
bidadari di pagi hari.
“Cklik…!!!.’
Seperti ada yang menyambungkan antara puisi pertama dan puisi yang kedua. Aku
lantas tersenyum lebar, serta merta mendongak ke atas menghadap kipas angin.
“Yup…, aku tahu maruhu, paham maruham!. Pasti nih orang santri putra yang
naksir cewek. Terus, pas lagi pacaran, ketahuan deh sama security alias kang
Sofi Cs. Walhasil, masuk deh ke ruang sidang.”
“Huh, tragis banget nasibnya. Makane nek pacaran ki le’ ngati-ati. Lebih
baiknya lagi, nggak usah pacaran ding!.”
Ya…begitulah analisis kedetektifanku. Amatir, biarin!. Wong salah pun, emang
gue pikirin!. Tapi siapa ya…, kok pondok putri nggak geger bar blas. Ah,
sudahlah, toh itu urusan orang lain. Ngapain ikut campur!. Orangnya siapa juga
nggak jelas. Mungkin ia melemparkan kerisauan hatinya dengan mengirim puisi di
atas pintu aula ini. Semoga dia bisa lebih berhati-hati. Kataku dalam hati,
sembari berdiri hendak meninggalkan aula dan tidur di kamar.
Belum sempat keluar dari aula, tiba-tiba terdengar ketukan dari seberang pintu.
Sejurus kemudian, dua lembar kertas berwarna merah dan biru muncul hampir
bersamaan. Aku terkesiap melihat apa yang terjadi barusan. Berarti, ada yang
mendengar analisisku dari balik dinding. Pasti dia punya ilmu telinga super.
Lha wong dibatasi tembok tebal, pintu juga tertutup rapat kok masih bisa
mendengar. Dan juga, kemungkinan dia adalah si penulis yang baru kena takzir
itu. Hi…hi…hi…, jadi geli sendiri. Kok bisa ya…!. siapa sih kang,
dirimu itu…?.
Detik selanjutnya, tanganku menyambar dua kertas tadi. Kuputuskan untuk membaca
yang merah dulu. Kebetulan di bagian atasnya tertulis angka 1 dan yang warna
biru angka 2. Kubuka perlahan, dan…puisi lagi!. Namun, kali ini ditulis
dengan tinta Hi-Teck.
Air dan api bersatu
Ciptakan asap tebal yang membumbung.
Mentari menyapa hangat pagi tadi.
Api telah padam
Semi telah datang.
Daun yang luruh
terganti pucuk daun baru.
Bersama bunga-bunga semangat baru
Dalam tangkai hati.
Air, mentari dan semi.
Thank’s you…
“Ha…, apa maksudnya.” Kesanku setelah usai membaca.
“Tapi baguslah, kalau kang itu sudah menemukan semangatnya kembali. Berarti dia
menjalani takziran dengan ikhlas dan penuh kesadaran.”
Tak berapa lama, HVS biru kubuka. Sebuah surat pendek. Daripada penasaran,
langsung saja kubaca. Kata demi kata yang terangkai sedikit rapi.
Syukron katsir, ukhti dah mau baca dan memahami puisi saya. Terus terang saya
senang sekali. Memang benar, saya adalah kang santri putra disini. Dan analisis
panjenengan tentang kesukaan saya melampiaskan dengan puisi adalah benar
adanya.
Sedikit meluruskan…
Sebenarnya, saya tidak pacaran, dan apalagi kemudian di sidang, terlebih di
takzir. Hanya saja, dari kemarin kalau saya ikut deresan selalu didukani
(ya…khotimin, sampai Gus Muslim). Alasannya, karena ngajine kurang tartil dan
kurang fashih. Setelah melalui proses kurang lebih satu bulan, alhamdulillah
sudah bisa tartil. Nah, ternyata kuncinya satu…, yakni SABAR!!!.
“Hayo…ukhti ngajine dah tartil belum???.”
Salam tererenk kyu
Kang putra
Dan pada akhirnya, aku hanya bisa ternganga, ha…!!!. Duh malunya, alias isin
marusin…
Lina Maemunah
Al Latifiyah ~ Klaten.