Dari Aku; Kesepianmu
Hai I’m your loneliness.
Sudah lama aku menanti moment ini, mengungkap beberapa kata untukmu Nona.
Lewat kata ini aku berharap kita bisa lebih dari berteman. Kita bisa berdamai dengan tenang.
Untuk mengawalinya aku tak akan menanyakan kabarmu, tentu saja dirimu selalu baik-baik saja tanpa kehadiranku bukan?
Tapi aku ingin meminta maaf kepadamu.
Maaf karena selalu hadir saat kau tak menginginkan aku ada.
Aku yang selalu mendominasi bahkan saat kau berada dikeramaian.
Aku yang selalu menyeretmu dalam ruang kegelapan.
Aku yang selalu membuatmu tersisihkan dari teman-temanmu.
Aku yang membuatmu patah dengan angan-angan semu.
Menjadikanmu, seseorang tanpa circle.
Dan saat dirimu ingin membuangku, pada akhirnya kau yang jatuh semakin dalam bersamaku.
Lagi dan lagi kau selalu bersama dengan kesepianmu.
Tahukah kau Nona, saat memasuki bangku usia dasar kau asyik bermain dengan teman sebayamu. Gobak sodor, bekel, kasti, petak umpet, bahkan kau bermain hujan di tanah becek. Seolah-olah itu adalah sebuah kolam renang. Saat itu aku tersenyum melihat dirimu yang bebas. Melakukan apa pun yang kau inginkan tanpa memikirkan batas. Dan aku selalu bersamamu.
Kau pulang tanpa rasa lelah karena seharian di sekolah. Tapi saat membuka pintu, seperti biasa ayah dan ibumu tidak ada di rumah. Mungkin sampai larut. Lagi-lagi kosong. Kau hanya memandang dinding pucat itu dengan tatapan hampa. Dan aku selalu bersamamu.
Berbeda dengan saudaramu, kau selalu memaklumi hal itu. Kau selalu berusaha terlihat oleh mereka dengan berbagai usaha yang kau lakukan. Selalu menjadi yang terbaik di kelasmu, pulang dengan membawa peringkat satu di rapor. Berharap ayah dan ibumu membawa sesuatu yang spesial seperti kepada adikmu. Nahas. Semua itu hanya ada dalam ekspetasi.
“Aku seorang kakak sekarang,” pikirmu. Kau tahu saat itu aku merasa cemas dan takut akan suatu hal. Dan perlahan itupun menjadi nyata, kau mulai menutup dirimu yang berharga, mulai merasa terasing dengan semua orang. Dan saat itulah aku muncul. Menyelimutimu dengan dinginnya kegelapan. Merengkuh tubuh mungilmu dalam keramaian.
Hal itu berjalan hingga bertahun-tahun. Tapi dirimu belum sepenuhnya menyadari kehadiranku.
Sampai usia dewasa menjemput. Kau mulai tersiksa dengan semua ini. Lelah. Kau ingin keluar dari neraka kesendirian. Melampiaskan kekesalan pada takdir tuhan. Tapi pada malam itu, bulan di mana pahala dilipatgandakan. Seusai salam, kau menoleh dan tak mendapati lagi teman sebaya di samping sajadahmu. Tak seperti tahun-tahun lalu. Tak ada lagi canda tawa yang terdengar tepat di telinga. Perlahan air matamu meleleh, membanjiri mukena yang kau kenakan.
Tanganmu menengadah “Ya Rabbi, hamba belum bisa menjadi rumah terbaik untuk saudara-saudaraku….” dan aku datang merengkuhmu dengan selimut penyesalan. Memeluk lembut bahumu yang terguncang.
Kau sesenggukan dalam tangis kepada Rabbmu, sangat lama. Larut dalam ketenangan dengan Sang Pencipta. Dan itu adalah momen yang sangat romantis. Saat seorang hamba mengakui dirinya lemah dihadapan penguasa alam semesta. Kau tahu? seluruh penghuni bumi cemburu melihatmu saat itu.
Nona, aku selalu berharap kau tak membenci kehadiranku. Mungkin dirimu belum menyadari suatu hal. Setiap lisanmu melantunkan ayat Al-Qur’an. Setiap tanganmu berlatih dengan angka dan tulisan. Setiap usaha yang kau perjuangkan demi sebuah impian. Dan setiap air mata yang turut dalam doa kerinduan. Aku selalu bersamamu. Di situlah dirimu selalu bersama dengan kesendirian.
Saat kawan karibmu sibuk degan circle baru mereka. Kekasih yang hanya ada dalam angan semu. Dan orangtua yang jarang menanyakan kabar tentangmu. Disaat itulah Sang Khaliq mengirim surat kerinduan untukmu. Dirimu tidak ditinggalkan, justru tuhan sedang memanggilmu untuk mendekat kepada-Nya. Mengingat akan kuasa-Nya.
“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah kepadaku.”
Apa kau sudah merasa lebih tenang Nona? Kulihat dirimu sudah bisa bernapas lebih lega. Dan lihatlah, senyuman itu terlihat lebih tulus dari sebelumnya. Sebelum surat ini usai, aku ingin menanyakan sesuatu.
Apakah kau sudah bisa berdamai denganku?
Satu lagi, aku tidak pernah menyesalkan satu detik pun bersamamu.
Sampai bertemu lagi, Kawan!
Penulis: Najwa Humaidah Kholiq (Komplek Khodijah Tahfidz)