Hikayat Malam Kelam
’’Sirup d’Markisa Tea, segera diborong!(serangan di Markas Timur,segera bergabung!)’’
Tubuh Bumi tegak seketika. Sebuah informasi sandi mahapenting tersiar dari Markas Pusat melalui radio miliknya. Tatapannya beradu dengan milik Surya yang juga turut mendengarkan. Mereka segera bergegas,Surya bagian strategi dan Bumi bagian persenjataan. Seketika suasana rumah menjadi tegang. Bulan yang baru keluar dari arah dapur menatap tubuh hilir mudik kakak dan suaminya bingung. Namun,sebersit pemahaman membuatnya khawatir sedetik kemudian.
’’Mas Bumi mau pergi?’’ Suara lembut Bulan memecah keheningan. Bumi menoleh dan tersenyum ke arah adiknya. Dan seperti yang sudah-sudah, tubuh Bulan telah ambruk ke dalam dekapan Bumi, menangis tanpa suara.
’’Cuma sebentar, nanti kalau sudah aman kusuruh Surya pulang.’’
’’Lalu, Mas Bumi?’’ Bulan mendongak, menatap netra Bumi yang sudah pandai berkilah.
’’Nanti menyusul,’’ jawabnya, terdengar meyakinkan.
Tak lama kemudian, Surya keluar dari ruang arsip dan berjalan tegak ke arah Bumi, menyerahkan sebuah kertas kusam padanya. Bumi melepaskan pelukan, membiarkan Surya dan Bulan berdua. Ia mengamati denah Markas Timur yang telah penuh coretan sandi rahasia berisi taktik pertahanan dan balasan mereka. Bumi menghela nafas berat. Kini persiapan mereka telah matang.
’’Kau buat berapa?’’
’’Lima, nanti aku akan menuju Markas Garong dan kami akan menyebar. Kemungkinan ini hanya serangan kecil, jadi aku masih punya waktu beberapa menit sebelum ke sana. Kau duluan, kami di belakangmu,’’ jawab Surya tanpa melepas pelukannya pada Bulan.
Bumi menggangguk singkat. Ia melangkah menjauh untuk mengecek kelengkapan terakhir kali, memberikan waktu lebih untuk mereka.
Sebuah tepukan ringan mendarat di pundak Bumi. Ketika ia menoleh, sebuah bungkusan sedang tersodor di hadapannya.
’’Untuk Mas Bumi dan Mas Surya, sudah Bulan bagi untuk berbuka nanti. Hati-hati, Bulan tunggu di rumah.’’ Tersirat keengganan dalam kalimatnya. Namun, seulas senyum tulus kembali menguatkan tekad Bumi yang sempat goyah. Ia kembali memeluk adiknya erat, mengecup kening Bulan lama.
’’Kami pasti pulang, Mas, janji.’’
***
Suara jangkrik mengalun membentuk harmoni malam, melatarbelakangi suasana tegang di dalam hutan. Rupanya perkiraan Surya meleset jauh, berkas di markas mereka begitu penting hingga Sekutu mengirim pasukannya dalam jumlah sedang. Banyak di antara mereka yang terluka, namun sejauh ini semua terkendali. Hingga berselang lima jam kemudian keadaan baru bisa dikatakan siaga satu.
Kemungkinan musuh masih akan kembali, sehingga sekumpulan pemuda itu masih menunggu dalam diam, menyatu dengan alam. Sampai sebuah peluit panjang dibunyikan, tanda keadaan benar-benar aman sampai beberapa jam ke depan. Jarak Surya dan Bumi yang tidak terlalu jauh membuat Bumi sadar air muka Surya yang keruh sejak kepergian mereka.
Sebuah bungkusan coklat tersodor di hadapan Surya. Bumi mengawali mengambil bagiannya, disusul oleh Surya. Mereka makan dalam diam, hingga Bumi membuka percakapan.
’’Kau sudah membatalkannya, ‘kan?’’
‘’Sudah, air hujan tertadah di daun lontar dekat tempatku berjaga tadi. Kau?’’
‘’Sudah, sama sepertimu. Sepertinya hujan deras semalam.’’
Hening kembali. Surya malah sekali dua kali tampak melamun. Bumi jengah, sampai akhirnya pertanyaannya terlontar.
‘’Kau kenapa? Markas sudah aman, Bulan sudah ditemani Ncik Siti bahkan sejak kita menutup pintu, jika itu yang kau pikirkan.’’
‘’Bukan, bukan itu, Bumi.’’
‘’Lalu?’’
Helaan nafas panjang terdengar. Surya menatap Bumi lekat.
‘’Bulan…Bulan mengandung.’’ Bumi melotot terkejut, yang sekejap kemudian berubah menjadi tawa bahagia. Ia menepuk-nepuk pundak Surya antusias.
‘’Kau akan menjadi seorang ayah! Aku akan menjadi paman!’’ pekiknya, tertawa kembali.
Surya tersenyum rikuh,tak mampu menyembunyikan kebahagiaan di wajahnya.
Seketika markas gaduh. Sorak sorai ucapan selamat dan godaan dari teman-teman mereka berhamburan untuk Surya. Bumi tersenyum. Adiknya akan menjadi seorang ibu, pikirnya. Ia tersenyum getir, tiba-tiba dadanya terasa sesak saat sekelebat memori melintas di benaknya.
‘’Kalau Bulan punya pacar, boleh?’’ tanya Bulan suatu sore, kala itu.
‘’Bulan tahu apa soal pacar?’’ balas Bumi, meledek.
‘’Ishh, teman-teman Bulan sering cerita, jadi Bulan tahu. Kan, kata Mas Bumi, Bulan itu cantik, jadi pacar Bulan nanti pasti ganteng,’’ ujar Bulan, tersenyum centil.
Bumi mencibir, memiting Bulan gemas hingga si empunya mengaduh keras.
‘’Bulan itu cantiknya, Mas Bumi. Kalau ada yang deketin Bulan, Mas Bumi gak izinin!’’
‘’Kalau gitu, kalau Bulan nanti punya pacar, Bulan gak akan bilang ke Mas Bumi, wlee!’’
Bulan menjulurkan lidah dan berlari menjauh. Mereka berkejaran, saling gelitik, dan tertawa lepas disiram cahaya lembut senja kala itu.
Dan kini, justru temannyalah lelaki itu. Lelaki yang paling ia percayai di timnya dan juga pemegang kepercayaan terbesar Bumi terhadap mutiaranya, harta paling berharganya. Suara bedug terdengar di kejauhan. Tampaknya warga baru bisa melaksanakan jamaah selarut ini setelah insiden tadi. Bumi beranjak,menepuk Pundak Surya sekilas, dan berjalan mengikuti nuraninya.
Sebuah surau tampak bersinar teduh dari kejauhan. Bumi segera mengambil air wudhu dan merapatkan shaf. Terlihat bayangan Surya ikut mendekat, menyejajarinya. Selepas salat Isya’ dan tarawih, Bumi masih duduk khusyuk berzikir. Sekilas tatapannya beradu dengan sesepuh yang menjadi imam tadi. Orang biasa menyebutnya Pak Rois. Pak Rois itu tersenyum, yang dibalas anggukan singkat oleh Bumi.
Mulutnya masih berzikir, namun hati dan pikirannya justru terpaku pada Pak Rois tadi. Seorang lelaki yang menolongnya kala ia terluka dan terdampar di depan surau ini. Seorang lelaki taat yang memberinya setelan baju khusus untuk sembahyang secara cuma-cuma waktu itu. Seorang lelaki bermata teduh nan bijak yang membuat nuraninya bergolak saat ia mengambil langkah yang salah, walau hanya dengan terbayang wajahnya. Sesosok lelaki yang mengingatkan ia pada mendiang ayahnya.
Malam kian larut dan lantunan zikir Bumi kian menderas. Membuat jiwanya menyatu dalam sebentuk kalimat pujian pada Ilahi. Hingga tanpa sadar suaranya memenuhi bagian dalam surau yang telah sepi. Bumi masih terhanyut, sampai sebuah suara menyadarkannya.
‘’Nak, apa yang kau cari?’’
Bumi mendongak, mendapati sesosok familier berdiri tak jauh di hadapannya. Ia terdiam, tiba-tiba saja otaknya macet, tak berfungsi.
‘’Apa yang kau cari?’’ ulangnya, masih dengan suara yang meneduhkan.
Bumi mengerjapkan matanya, berusaha meraih kesadarannya kembali. Tunggu dulu, dimana dia? Bukankah ia tadi masih duduk di dalam surau? Lalu ini…di mana ini?
‘’Kau tak akan menemukan jawabannya jika itu yang terlintas di benakmu. Yang harus kau pikirkan adalah, apa yang kau cari selama ini?’’
Bumi tersentak terkejut. Namun ia kembali tersadar. Dengan tegas ia menatap wajah teduh Pak Rois.
‘’Kemerdekaan,’’ jawabnya mantap.
Pak Rois tersenyum, kemudian menggeleng lemah.
‘’Bukan, bukan itu.’’
Alis Bumi bertaut bingung. Kembali ia berpikir, apa maksud pertanyaan itu?
‘’Apa yang kau cari, Bumi?’’
Seperti disiram air es, Bumi mengerti sudah. Ia menggeleng, bahkan Bumi tak peduli darimana Pak Rois mengetahui namanya.
‘’Apa yang sebenarnya kau cari?’’
‘’Aku tak tahu.’’
‘’Kau tahu.’’
Lewat pantulan di netra Pak Rois, Bumi melihat bayangan dirinya. Seorang pria yang terlihat tak terjangkau di luar, namun hampa di dalam.
‘’Tidak ada,’’ jawabnya kemudian.
Pak Rois tersenyum, lagi. Ia duduk di hadapan Bumi. Tangannya terjulur di depan Bumi, menatap lekat manik hitam di depannya.
‘’Nak, tidak ada habisnya jika pencarianmu berhenti di dunia. Bentangkan lagi petamu, jauhkan lagi arah kompasmu sampai di mana yang kau butuhkan hanya duduk bersimpuh dan bersujud pada-Nya, karena apa-apa yang kau butuhkan telah Rabbmu limpahkan dalam lautan kasih sayang tak terhingga, selamanya.’’
‘’Tapi…aku tidak tahu. Aku….tidak punya tujuan.’’
‘’Serahkan jiwamu, hidupmu, hanya kepada-Nya. Kosongkan pikiranmu, temukan nur-Nya dalam hatimu. Maka kau akan menemukan jawabannya.’’
Bayangan Pak Rois kian menjauh,digantikan dengung kalimat tahlil samar-samar kini. Tiba-tiba, ia seperti dibawa ke sebuah lorong waktu, menjelajahi kilasan memori masa lalunya. Mulai dari Bumi yang tengah bermain dengan ayahnya, Bumi yang menangis ketika berebut mainan dengan Bulan, berlarian bersama Bulan di pematang sawah, tidur bersama keluarganya di malam yang hangat, hingga perjalanannya berhenti di sebuah ingatan tak terlupakan.
‘’Siapa nama panjangmu, Bumi?’’ tanya ayah Bumi.
‘’Panglima Jagat Bumi,Yah.’’
‘’Kau tahu mengapa ayah memberikanmu nama itu?’’
‘’Emm…ayah belum pernah menceritakannya padaku.’’
Ayahnya tertawa, kemudian membawa Bumi kecil ke pangkuannya.
‘’Ayah ingin kelak Bumi akan menjadi panglima di garda terdepan untuk negeri ini, mengusir orang-orang yang tidak memedulikan yang lainnya. Ayah ingin Bumi nanti menjadi orang yang kuat, karena Bumi adalah panglima ayah.’’
Bumi mengerjapkan matanya, menatap penuh kagum. Kali ini ia berdiri sejajar dengan ayahnya yang duduk tegak, tersenyum menatap putranya.
‘’Tapi, lebih dari itu, ayah ingin Bumi menjadi panglima untuk Bumi sendiri, menuntun diri Bumi menjadi orang yang bertanggung jawab kelak. Untuk Bumi, ibu, ayah,dan patih tersayang Bumi, Patih Dewi Bulan.’’
Bumi terkesiap,tersadar dengan degup jantung yang berdebar kuat. Kini tubuhnya sudah kembali di sebuah surau sepi di tengah gelapnya malam. Bumi bersandar pada tiang di belakangnya, berusaha menenangkan dirinya. Setelah tenang, ia baru menyadari kini hatinya seringan awan, bebannya terangkat tak tersisa. Kini Bumi tahu apa yang diinginkannya, apa yang ia inginkan untuk hidupnya. Segera ia bangkit, mengambil air wudhu dan berniat kembali ke markas sebelum kegaduhan di depannya terjadi.
Sebuah bom dijatuhkan tepat di atas lapangan luas, menyebabkan kepanikan warga. Serangan juga merambah melalui jalan darat. Pasukan Sekutu memborbardir apapun yang ada di depannya, menjatuhkan lebih banyak korban. Rakyat pribumi yang membelot pun turut menjarah harta penduduk, meramaikan malam penuh kengerian ini. Teriakan dari Surya membuat Bumi kembali tersadar.
‘’Markas diserang! Warga banyak yang terluka! Kami membutuhkanmu!’’
Tanpa babibu, Bumi langsung berlari ke arah belakang surau, mengambil setelan bajunya tadi sebelum sembahyang. Ia menyerahkannya pada Surya, yang disambut tatapan bingung darinya.
‘’Arahkan penduduk ke utara, di sana aman dan bawa setengah pasukan ke sana. Ingat, tugasmu adalah mengamankan warga. Biar aku yang ke markas, akan kuurus sisanya.’’
‘’Apa maksudmu?! Kita berangkat bersama,dan kau menggiringku ke arah rumah sedangkan kau sendiri bertaruh nyawa tanpaku?!’’
‘’Aku menyuruhmu bukan tanpa alasan. Bawa bajuku ini, berikan pada Bulan. Sampaikan permintaan maafku padanya, aku tak bisa menemuinya lagi setelah ini. Kupercayakan ia padamu, jaga dia. Selamat tinggal, Surya!’’ Bumi memeluk Surya sekilas, kemudian pergi bertolak ke arah markas. Belum sampai Surya memprotes, suara dentuman bom kembali terdengar, membuatnya bergegas melaksanakan perintah terakhir dari Bumi.
Sementara di sisi lain,Bumi terdesak. Di hadapannya lima musuh tengah melawan dari berbagai arah. Senjata laras panjang miliknya hampir habis, membuatnya harus baku hantam beberapa kali dengan mereka. Bumi semakin terpojok, jarak markas di belakangnya tinggal beberapa ratus meter lagi. Sampai ketika ia menoleh ke belakang, tampak sekelebat bayangan Ucup, teman satu timnya, yang berhasil membawa kabur berkas yang diincar Sekutu, menyelamatkannya dari bahaya.
Bumi tersenyum menang. Ia seakan mendapat suntikan energi setelah yakin Sekutu tak akan mendaatkan apa-apa selain kekecewaan dan murka di sini. Sebuah teriakan dari anak buah Sekutu melaporkan kenihilan barang yang mereka cari setelah berhasil menyelinap ke dalam markas. Bumi tersenyum mengejek.
‘’MATI KAU!!ALLAHU AKBAR!!’’ serunya, membangkitkan amarah pemimpin Sekutu di hadapannya.
Dan bersamaan dengan hembusan nafas Bumi yang baru saja lolos dari paru-parunya, sebuah peluru ditembakkan tepat di dadanya, membuat tubuh Bumi ambruk seketika. Ditatapnya langit kelam untuk yang terakhir kali sambil tersenyum menahan sakit, sebelum kegelapan mengambil jiwanya, membawa Bumi pada pelukan kematian.
_________________________
Shabrina R.F.
Komplek Khadeeja Pusat, Juara Cerpen Terbaik Edisi Ramadhan 2022