Hima dan sendalnya
Seperti biasa, setiap malam rabu hima bertugas menjaga perpustakaan pondok. tapi akhir-akhir ini ada yang membuat ia tak tenang. Sudah dua kali ini setiap asti keluar dari perpus hendak kembali ke kamarnya sendalnya sudah raib. Awalnya dia hanya anggap angin lalu, setelah dua kali kejadian dia sudah pengen marah-marah, tapi dia ingat bahwa dirinya juga termasuk penggosob aktif akhirnya dia menahan amarahnya yang hampir jebol. Dan untuk kesekian kalinya hima harus rela untuk nyeker ria.
Entah sejak kapan di pesantren yang hima tempati saat ini budaya ghosob sudah merajalela. Bahkan, tidak hanya di pesantren yang dia tempati. Akan tetapi merupakan sesuatu yang wajar dan menjadi ciri khas seorang santri di depan kalangan publik. Padahal hal ini kan sesuatu yang salah, agama kita melarangnya jadi mestinya ada perbaikan dan klarifikasi teman-teman?? Betul?betul?betul?
Malam ini hima kembali menjaga perpustakaan, seperti tidak
mengambil pelajaran dari kejadian yang dialaminya berkali-kali hima
tenang-tenang saja meninggalkan sendal barunya yang berlabel “gocap” yang baru
saja dibelinya dari toko mang Udin di sebelah madrasah (karena sendal yang lama
sudah hilang ditelan bumi). Ketika jam kunjung habis dia kaget bukan kepalang,
karena sendal barunya sudah tak berwujud lagi. darahnya serasa udah nyampe di
ubun-ubun dan siap memuntahkannya kapan saja dan kepada siapa saja. bayangin
aja SENDAL BARU?? baru dipake sekali! Walaupun Cuma gocap tapi sendal itu
berguna sekali baginya.
Hima mencoba mencari ke seluruh penjuru pesantren tapi tidak
terlihat juga ujung sendalnya. Bahkan, dia sudah keliling asrama sampe tiga
kali tapi hasilnya tetap nihil. Walhasil malam itu hima terpaksa nyeker dengan
hati dipenuhi dendam kesumat sampai ia terlelap.
Esoknya hima kembali mencari dan mencari tapi tak ketemu jua.
Akhirnya hima pasrah merelakan kepergian sendal barunya, dan ia mau tidak mau
harus membeli sendal lagi.
Malam ini hima tidak mendapat jatah petugas perpustakaan, tapi ia
ingin mengunjungi perpustakaan sekedar untuk mengistirahatkan pikirannya dari
kegiatan pesantren yang cukup melelahkan. Dan tentunya kali ini hima lebih
hati-hati meletakkan sendalnya dibagian yang agak jauh dari pintu perpus yang dirasanya
cukup aman dari jangkauan para penggoshob. Ia berniat membaca beberapa komik
lucu, karena memang itu yang dilakukannya setiap mengunjungi perpustakaan.
Setibanya di perpustakaan, hima mengurungkan niatnya untuk egera
masuk ruang perpustakaan. Ia terhenti lama mengamati sesosok senal yang
dirasanya mirip denagn sendal barunya yang hilang beberapa hari lalu.
“ah!emangnya di dunia ini sendal kayak gitu Cuma ada satu
apa?”
Bisik hima dalam hati. Tetapi setalah masuk perpustakaan hima
penasaran juga siapa sebenarnya sanag pemilik sendal.
Lagaknya
seorang detektif, Ia mengawasi sendal yang mungkin tiba-tiba sang pemilik
hendak menggunakannya. Akhirnya setelah satu jam mengawasi sendal itu muncullah
sang pemiliknya yang disyukuri oleh hima karena matanya serasa mau
julinggara-gara melototin sendal misterius.
Hima membuntuti pemilik sendal hingga sampai ke sebuah komplek.
Secepat kilat hima mencatat dalam memori otaknya wajah sang terdakwa serta nama
komplek yang ditinggalinya.
Jum’at pagi setelah senam sehat hima celingukan mencari terdakwa
sendal misterius. Selang beberapa menit kemudian hima menemukan orang yang
dicari-carinya lengkap beserta obyek sendal misterius. Tanpa menimbulkan
kecurigaan hima mendekati sang terdakwa.
“mbak kok sendalnya bagus sih?aku pengen beli juga”
Hima melancarakan aksinya.
“biasa aja kok mbak….”
“belinya di mana mbak?aku serius pengen beli”
“…ehm, di pasar mbak” setengah berpikir.
“Harganya berapa mbak?”
“eh berapa ya…duabelas ribu mbak”
“masak sih mbak? mbak rugi berarti. Soalnya kau juga baru beli
empat hari yang lalu harganya Cuma sepuluh ribu loh….tapi sayang sendalnya
sudah hilang”
“eh oh ya?!tapi ini aku beli sendiri kok mbak” gugup
“ya mbak, aku belinya juga nggak di pasar kok.aku beli di mang
udin”
“oh…”
“ah!mungkin sendalnya laris klai ya mbak? jadi
harganya dinaikin?”
“eh oh ya ya mungkin, saya mau ke kamar dulu mbak” sambil
terburu-buru meninggalkan hima.
Setelah mengadakan investigasi hima semakin curiga. Tapi akhirnya
hima tak mau ambil pusing lagian ia sudah mempunyai sendal lagi dan harga
sendal yang hilang tidak seberapa, ia tak mau suuzdon karena belum tentu yang
dipakai itu sendal hima yang hilang.
“ya Allah seandainya memang ada yang sengaja mengambil sendal
hamba, hamba mohon sadarkan ia agar tak ada lagi korban seperti hamba. Amin…”
Setelah tragedi penggoshoban sendal itu hima dapat mengambil
pelajaran bahwa tindakan penggoshoban sangat merugikan orang lain. Sehingga
hima berusaha untuk menghilangkan kebiasaan jeleknya menggoshob sampai ke
akar-akarnya. Karena ternyata berada di posisi korban membuat hima jera.
“loh?kok sendal ini ada di rak sendal komplekku sih?”.
hima bertanya pada dirinya sendiri. Hima mengurungkan niatnya
mengunjungi perpustakaan. Ia bertolak dari arah perpus, akhirnya setelah
keliling komplek hima bertmu dengan apa yang dicarinya.
“mbak!mbak!eh jangan lari!”
“eh ada apa mbak?”
“ini sendal mbak ada di komplekku. Mungkin ada anak komplekku yang
usil goshob sendal mbak”
“eh eh maafkan aku mbak.kemaren aku bohong soal sendal itu. Aku
goshob dari perpus karena aku lagi nggak punya uang untuk beli sendal baru dan
aku suka dengan sendal mbak. Maaf mbak kemaren aku bener-bener khilaf”
“lho???” hima terbengong dan bingung mesti ngomong apa???.