Artikel

Hukum Perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW

Kitab al-Bayan al-Qowim merupakan salah satu kitab karya syekh Ali Jum’ah yang berisi tentang jawaban dari beberapa persoalan yang menjadi perdebatan kaum muslimin. Seperti bagaimana hukumnya menyebutkan sayyidi kepada Nabi Muhammad SAW, bagaiamana hukumnya merayakan maulid Nabi SAW, bagaimana hukum melihat Nabi SAW dalam mimpi atau dalam keadaan sadar, dan lain sebagainya.

Kitab ini secara praktis merupakan kumpulan dari fatwa-fatwa syekh Ali Jum’ah untuk menjawab beberapa persoalan yang berkaitan perbedaan paham kebanyakan umat muslim tersebut.            

Pembahasan kali ini akan mengupas pendapat syekh Ali Jum’ah dalam kitabnya tentang bagaimana hukum melaksanakan maulid Nabi Muhammad SAW. Karena persoalan ini telah menjadi perdebadan panjang antara beberapa ulama yang berbeda mahdzab.

Padahal merayakan maulid Nabi Muhammad SAW merupakan salah satu peringatan hari besar Islam yang mafhum dilakukan di kalangan muslim Indonesia.

Syeikh Ali Jum’ah menyebutkan bahwa perayaan maulid Nabi SAW merupakan salah satu bentuk kecintaan umat kepada Nabi Muhammad SAW. Hal ini guna menghormati dan memuliakan Nabi Muhammad SAW.

Selain itu, memuliakan Nabi merupakan pondasi dasar dalam keimanan kita sebagai seorang muslim. Karena Allah SWT telah mengabarkan kepada semua alam semesta bahwa dengan nur-Nyalah akan diutus makhluk yang paling mulia, dengan kedudukan yang paling mulia.

Hal ini salah satu landasan kenapa kita harus memuliakan dan menjunjung tinggi Nabi kita Muhammad SAW.

Ulama Shalaful al-Sholih abad ke-4 dan ke-5 H, di antaranya yaitu: Ibnu al-Jauziy, Ibnu Katsir, Ibnu Hajar, Imam Suyuthi merayakan peringatan maulid Nabi SAW ini dengan beberapa macam ibadah, seperti membaca Al-Qur’an, berzikir, membaca syair-syair menyanjung Nabi SAW, memberi makanan.

Imam al-Hajj dalam kitab Madkhul memuji-muji tentang perayaan maulid Nabi Muhammad SAW, padahal kitab tersebut menceritakan perkara-perkara bid’ah (sesuatu yang belum ada di zaman Nabi).

READ  Santri ; Between Mahabbah and Khidmah

Imam Suyuti dalam kitab Husnu al-Maqasid fi amali al-maulid ditanya bagaimana  merayakan maulid Nabi SAW di bulan Rabiul Awal adalah perkara yang diberi pahala oleh Allah SWT ketika mengerjakannya?

Imam Suyuti menjawab ketika merayakannya dengan melakukan perkumpulan yang di dalamnya membaca Al-Qur’an, dan meriwayatkan al-Akhbar,  tentang riwayat Nabi SAW ini merupakan bid’ah hasanah sesuatu yang diberi pahala jika melakukannya.

Imam Ibnu Hajar juga menjelaskan dalam kitabnya fathu bari yang merupakan syarah (penjabaran rinci) kitab shohih bukhari tentang dasar merayakan maulid Nabi Muhammad SAW.

Dasar hadis yang beliau utarakan adalah ketika Nabi bertanya kepada orang Yahudi yang berpuasa di hari Asyura. Orang Yahudi menjawab bahwa puasanya orang Yahudi adalah bentuk syukur karena Nabi Musa AS.  diselamatkan dari kejaran Fir’aun.

Nabi menegaskan bahwa seharusnya orang muslim jauh lebih berhak dari apa yang dikerjakan orang Yahudi. Ini merupakan sebuah peristiwa yang saat ini kita disunahkan berpuasa di hari Asyura.

Penjelasan dari hadis ini sangat logis ketika perbuatan kebaiakan (puasa) untuk menunjukkan rasa syukur terhadap nikmat yang diberikan Allah SWT. Apalagi dengan lahirnya Nabi Muhammad SAW ke dunia ini adalah sebuah nikmat yang amat besar.

Maka dari itu dengan merayakan maulid Nabi SAW merupakan bentuk rasa syukur kita terhadap nikmat yang diberikan Allah SWT kepada kita umat Baginda Nabi Muhammad SAW.

Dari beberapa pemaparan di atas merupakan dalil shahih untuk merayakan maulid Nabi Muhammad SAW. Hadis-hadis Shahih yang disebutkan para ulama merupakan pondasi kuat untuk melaksanakan maulid Nabi yang menjadi perdebadan hebat beberapa golongan umat Islam yang menganggap perkara ini sebuah kesesatan dalam beragama.

Ijmak ulama yang disebutkan oleh syekh Ali Jum’ah ini merupakan dalil untuk merayakan maulid Nabi SAW, karena ijmak ulama adalah salah satu metode untuk mengambil hukum dalam beragama setelah Al-Quran, al-Hadis, dan juga Qiyas berdasarkan kaidah Ushul Fiqh.

READ  Islam Nusantara dan Dilema Seragam Sekolah

Terakhir dalam beragama seharusnya kita menjunjung tinggi sebuah perbedaan, jangan menganggap mazhab kita yang paling benar dan mazhab yang dipegangi oleh saudara muslim kita yang lain itu salah dan sesat.

Untuk menentukan sebuah hukum jangan terlalu tergesa-gesa dengan mengungkapkan bahwa perkara tersebut tidak ada dalilnya (dalam Al-Qur’an dan al-Hadis).

Padahal dengan kita mempelajari Islam secara mendalam dan mengikuti perspektif ulama yang lebih tinggi kadar keilmuannya dari kita, kita akan sangat berhati-hati dalam menentukan hukum dan tidak mudah menjustifikasi pemahaman selain kita adalah sesat.

Tulisan ini dikutip dalam kitab al-Bayan al-Qowim karya Syeikh Ali Jum’ah hal 26-28 yang menjadi kajian di bulan Ramadan di Pondok Pesantren An Nur Ngrukem Komplek Nurul Huda yang diampu oleh guru kami tercinta Agus Muhammad Rumizijat. (Jamal)

IKUTI OFFICIAL RESMI KAMI:

Facebook – pondok pesantren tahfidz an-nur

Instagram – @annurngrukem

Twitter – @annurngrukem

YouTube – annurngrukem

Ibnu Ahmad el-Bantani

Santri Pondok Pesantren An Nur Ngrukem Bantul. Pecinta orang-orang yang bermoral. Warung literasinya bangkitmedia.com, dan lainnya. Penulis buku the power of mindset (cara berpikir positif ala qurani) Kontak dengannya bisa melalui

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Check Also
Close
Back to top button
WeCreativez WhatsApp Support
Tim dukungan pelayanan kami siap menjawab pertanyaan Anda. Tanyakan apa saja kepada kami!
Hai, ada yang bisa saya bantu??