Esai

Kebiasaan Kita yang Suka Membandingkan

Cuaca pagi di Kota Magelang sedang begitu cerah. Saya menikmati pagi yang cerah itu dengan duduk santai bersila di halaman  depan Artos Mall Magelang melihat orang lalu-lalang dengan kendaraannya sembari menunggu bus jurusan Semarang-Jogja.

Saat sedang duduk santai sembari melamun, tak jauh dari tempat saya duduk seorang pengamen menyanyikan lagu ciptaan Abah Lala “Ojo Dibandingke” dengan gitar kecilnya. Suaranya tak begitu merdu, namun membuat saya termenung cukup lama.

“Wong ko ngene kok dibanding-bandingke

Saing-saingke, yo mesti kalaah…

Tak oyak O.. Yo aku ora mampu

Mung sak kuatku.. Mencintaimuuu”

Lagu ciptaan abah Lala itu memang mewakili banyak isi hati orang. Saya sering melihat kawan saya mendengarkan lagu itu sembari ikut menyanyi dengan loss doll. Terlihat sangat khusyuk sekali, tidak peduli dengan sekitarnya yang memerhatikannya.

Saya juga sering mendengarkan curhatan kawan saya yang selalu dibanding-bandingkan dengan pencapaian tetangganya. Di umur 20-an kawannya sudah menjadi ASN, ada yang memiliki usaha sendiri, ada juga yang sudah memiliki rumah dan keluarga. Sedangkan dirinya di umur 20-an baru cuma bisa main lato-lato.

Ada juga kawan saya yang curhat dibanding-bandingkan dengan adiknya yang be

rwajah lebih tampan. Padahal urusan fisik kan jelas-jelas qodarullah. Bukan kita yang menentukan. Apa iya kita mau protes lalu masuk lagi ke kandungan menyuruh Tuhan mendesain lagi wajah kita agar lebih tampan?

Sewaktu kecil saya juga sering dibanding-bandingkan orang tua saya dengan anak tetangga yang lebih rajin. Pagi-pagi sekali anak tetangga saya sudah menyapu halaman, mencuci baju, dan melakukan banyak hal, sedangkan saya masih malas-malasan.

“Kae lhoo, si Anu wes nyapu gasik, nyuci gasik, mosok gak isin kalah rajin,” kata ibu saya dulu. Saya biasanya hanya menjawabnya dengan kata “nggiiiiiiih!” yang saya panjang-panjangkan lalu melakukannya dengan malas-malasan.

READ  Meneladani Kepemimpinan Nabi Muhammad SAW

Sebenarnya saya tak masalah jika dibanding-bandingkan dengan hal bisa saya lakukan dan itu memang baik untuk kebaikan saya. Namun saya tak setuju jika ada seorang yang dibandingkan dengan hal yang begitu berat untuk dicapai. Kadang malah tak bisa dicapai. Akibatnya hal itu hanya menjadi beban pikiran. Bukannya malah terpacu tapi malah masuk RSU karena sakit sebab terpuruk mentalnya menjadi jatuh dan depresi.

Kita memang gampang membandingkan. Faktor eksternal kadang lebih penting dari diri sendiri. Semua orang di zaman konten ini kebanyakan hanya ingin memuaskan keinginan orang lain.

Seperti kata kawan saya Yesaya Sihombing dalam tulisannya di Ghibahin.id, Disadari atau tidak, di antara kita (jika bukan kita sendiri) ada orang yang selalu menganggap bahwa segala hal di dunia ini adalah tentang kompetisi.

Kadangkala hanya untuk sekadar bersyukur, hal yang seharusnya mudah kita lakukan, kita harus membandingkan dengan orang lain yang lebih buruk nasibnya.

Saya sering mendengar orang-orang mengatakan, “Bersyukurlah, sebab masih banyak orang yang lebih buruk nasibnya di bawahmu!” Padahal kita bisa menemukan syukur saat menengok ke dalam diri kita sendiri tanpa perlu membandingkan dengan orang lain.

Kita sering tenggelam dalam keseharian kita. Terlalu banyak melihat keluar membuat diri kita kehilangan makna hidup. Hidup kita adalah standar orang lain. Perbandingan dengan orang lain. Padahal kita bisa menciptakan makna hidup kita sendiri.

Menetapkan standar sendiri sesuai kemampuan kita. Menetapkan makna untuk diri kita sendiri hingga siap melangkah lagi dan melangkah terus tanpa takut merasa gagal karena standar orang lain yang kadang terlalu ndakik-ndakik untuk diri kita.

Setiap manusia tentu ditugaskan di dunia memiliki kurikulum masing-masing. Tak akan bisa disamakan.

READ  Menguak Eksistensi Sang Nabi Misterius

Orang bijak mengatakan, Don’t Compare your life with others, your have no idea what their journey is all about.

Jangan bandingkan hidupmu dengan orang lain, karena dirimu tidak tahu seperti apa perjalanan mereka.

Sebab, sejatinya kita sedang berkompetisi dengan diri kita sendiri. Kita bersaing dengan masa lalu kita. Apakah hari ini dirimu lebih baik dari kemarin? Jika tidak, tinggal mulai lagi saja seperti kata petugas SPBU “Mulai dari nol, ya Mas,”

Muhammad Ulinnuha

Santri Pondok Pesantren An Nur Bantul. Hobi membaca, menulis, dan menyapu halaman.

Related Articles

2 Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button
WeCreativez WhatsApp Support
Tim dukungan pelayanan kami siap menjawab pertanyaan Anda. Tanyakan apa saja kepada kami!
Hai, ada yang bisa saya bantu??