Ketika Agama Kita Dilecehkan
Miris sekali rasanya melihat berita aktivis-aktivis sayap kanan anti Islam di Swedia membakar Al-Qur’an di kota Malmo akhir bulan Agustus lalu. Hati saya seolah tercabik-cabik. Bagaimana tidak, lha wong selain dibakar kitab suci itu juga dirobek dan diludahi je. Hati saya kemrupuk. Seolah-olah jiwa saya terpanggil untuk berjihad membawa pedang dan meneriakkan takbir, “Allahu Akbar!”.
Lalu, begitu melihat kemarahan kelompok Islam berdemo melawan balik dengan melempar batu, membakar ban di jalanan, hati saya seolah puas karena sudah terwakilkan.
Namun, tiba-tiba kepuasaan hati saya surut ketika teringat wajah orang tua saya. Terlintas bagaimana susahnya mereka mencari nafkah di masa pandemi ini. Jelas bukan orang tua saya saja. Tapi semua orang. Eh, tidak juga, kecuali orang-orang yang memanfaatkan pandemi untuk mencari untung. Hahahaha.
Semua tahu betapa susahnya mencari lembar-lembar penghidupan. Bayangkan, ditambah kerusuhan yang begitu mengerikan di kota itu. Orang-orang yang tak berdosa ikut menjadi korban.
Kita tentu masih ingat dengan aksi #gejayanmemanggil tahun lalu bukan? Demo yang katanya aman, dan damai itu saja ternyata meresahkan dan merugikan warga. Banyak sekali warga yang mengeluhkan karena sepeser pun tak ada penghasilan.
Pak Yanto, salah satu tukang parkir gejayan mengeluhkan aksi Gejayan Memanggil. Dia harus mengalami kerugian Rp 50.000 per hari. Mungkin, itu angka yang kecil bagi kita. Tapi bagi Pak Yanto dan yang lainnya, lembaran Rp 50.000 adalah lembaran yang berarti, karena dengan lembaran itulah caranya beribadah serta memberi kehidupan bagi keluarganya.
Karena ketakutan-ketakutan kehilangan lembaran rupiah itulah pertengahan Agustus lalu, belasan pedagang, tukang parkir dan warga di kawasan Gejayan yang tergabung dalam Paguyuban Ayem Tentrem melakukan aksi unjuk rasa di depan pos polisi Gejayan dan mengusung tagar #GejayanTidakMemanggil.
Lantas apa saya anti demokrasi? Tentu tidak. Apa saya anti mahasiswa? Jelas tidak. Saya tak mempermasalahkan siapa-siapa. Saya hanya sedang menganalogikan. Demo gejayan memanggil yang tak ada bentrokannya pun banyak manusia-manusia yang mengalami kerugian apa lagi yang berujung bentrokan seperti di Swedia.
Saya hanya membayangkan betapa banyaknya orang yang ketakutan, ditambah kerugian-kerugian yang mereka tanggung.
Niat membela agama memang baik. Tapi jika dilakukan dengan baik pula. Dalam pandangan agama manapun, manusia adalah makhluk mulia yang memiliki posisi khusus di antara makhluk lainnya. Islam memandang manusia sebagai makhluk yang sempurna.
KH. Husein Muhammad menjelaskan, kata makhluk sendiri berasal dari akar kata yang sama dengan akhlak yang artinya, perilaku baik, bentuk plural dari khuluq. Nabi Muhammad Saw diutus di muka bumi untuk menyempurnakan akhlak. Dan tujuan manusia diciptakan menurut Islam tak lain untuk membangun manusia berperilaku baik.
Lantas apakah membela agama dengan membalas keburukan dengan kekerasan diperbolehkan agama?
Tentu Anda sudah tahu apa jawabannya. Saya jadi teringat kisah Nabi Muhammad SAW ketika berdakwah di kota Tha’if. Saat beliau berdakwah di daerah yang berjarak 60 mil dari kota Mekkah itu, beliau mendapat penolakan keras dari penduduknya. Mereka menolak Islam, mengusir Rasulullah agar keluar dari kota Tha’if.
Tak hanya mengusir Nabi, penduduk Tha’if juga melempari Nabi dengan batu sampai terluka. Hingga Nabi Muhammad SAW harus bersembunyi di kota lain. Saat bersembunyi itulah malaikat Jibril menampakkan diri seraya menyampaikan salam. Malaikat Jibril meminta izin kepada Nabi Muhammad untuk menimpakan dua gunung di Mekkah terhadap penduduk kota Tha’if.
Bagaimana jawaban Nabi? Beliau justru menolak tawaran malaikat Jibril. Penolakan itu didasari karena sikap welas asih beliau.
Ajaran welas asih inilah yang semakin lama hilang. Hilangnya ajaran welas asih inilah yang membuat banyaknya kelompok Islam radikal bermunculan. Dan adanya Kelompok Islam radikal inilah yang memantik percikan kebencian pada agama Islam hingga munculnya anti Islam.
***
“Islamophobia!” Begitu kata kawan saya menimpali ketika saya curhat keresahan saya terhadap orang-orang anti Islam. Runnymede Trust, seorang Inggris, mendefinisikan Islamophobia sebagai rasa takut dan kebencian terhadap Islam dan oleh karena itu juga pada semua Muslim. Karena ulah sekelompok orang yang mengatasnamakan agama, para orang-orang anti Islam berbuat rasis kepada umat muslim.
Jelas sekali, rasisme adalah dosa besar karena dapat merusak hubungan antarmanusia. Dan tentu apa yang dilakukan anti Islam adalah salah dan tak dibenarkan agama mana pun. Tapi membalas dengan kekerasan lebih salah lagi, karena hanya akan membuat api kebencian membesar.
Islam mengajarkan kebaikan dan kebijakan. Dari kata “Islam” saja kita sudah paham bahwa yang diajarkan adalah kedamaian, dan keselamatan bukan kehancuran dengan perilaku ekstrem dan radikal. Agama yang diterapkan dengan ekstrem dalam lini-lini kehidupan justru akan menjauhkan dari agama itu sendiri.
Mungkin mereka bisa menghancurkan, merobek-robek, ataupun membakar Al-Qur’an. Tapi mereka tidak akan bisa menghancurkan agamanya.
Lha apa ya kita harus diam saja ketika agama kita dilecehkan? Tidak. Tentu kita harus membela agama kita. Salah jika agama tak perlu dibela. Kita perlu membela dengan segenap jiwa raga, dan menghancurkan kelompok anti Islam agar kejadian-kejadian itu tak terulang lagi, apalagi sampai terjadi di negeri tercinta kita.
Untuk itu, mari bela agama kita dan hancurkan kelompok anti Islam, dengan berbuat baik di mana saja, kapan saja dan kepada siapa saja, tanpa batas kelompok, bahkan agama.
______________________________________________
Penulis: Ulinnuha