Sastra

Lembayung Qurban di Langit Pesantren

Di pelataran pesantren yang masih basah oleh embun pagi, gemerisik takbir berkumandang lirih. Langit seperti menunduk, menyaksikan santri-santri berjalan beriringan, membawa tali hewan qurban yang sudah disiapkan. Kambing-kambing putih yang bulunya bersih itu tampak tenang, meski sesekali matanya memandang sekitar, seolah mengerti nasib yang menantinya.

Di antara kerumunan santri, ada seorang pemuda bernama Fauzan. Dia memegang tali kambing dengan hati-hati, sambil melantunkan shalawat pelan. Sesekali ia membelai kepala hewan itu, seperti berbincang dengan sahabat lamanya. Angin pagi menyentuh wajah Fauzan, membawa harum tanah basah dan aroma rumput yang terinjak kaki-kaki kecil.

“Maafkan aku, teman,” bisik Fauzan. “Hari ini aku menjadi saksi atas pengorbananmu. Semoga darahmu menjadi syafaat bagi kami, para pendosa yang selalu haus akan rahmat-Nya.”

Kambing itu diam, hanya menoleh dengan mata sayu. Fauzan menatap lekat-lekat binatang yang sudah menemaninya selama beberapa pekan di kandang pesantren. Setiap pagi ia memberi makan, mengusap bulu putihnya, hingga hatinya tumbuh ikatan tak kasat mata. Namun hari ini, semua itu harus dilepaskan. Karena Idul Adha bukan hanya tentang daging yang terbagi, tapi juga tentang ikhlas yang harus dilatih.

Saat takbir bergema semakin kuat, Ustadz memimpin doa. Fauzan merapatkan tangan, wajahnya teduh dalam harap. Pedang yang tajam itu berkilau di bawah sinar mentari yang baru muncul dari ufuk timur.

“Allahu Akbar… Allahu Akbar…,” gumam santri-santri lain, menahan haru.

Seperti Nabi Ibrahim yang merelakan Nabi Ismail, seperti Nabi Ismail yang pasrah pada takdir Ilahi, Fauzan tahu ini adalah latihan hati untuk tunduk sepenuhnya. Sekali lagi, ia membelai kambing putih itu. “Selamat jalan, sahabatku. InsyaAllah kau menjadi saksi cinta kami pada Allah.”

READ  Dersik Kasih Untuk Sang Guru

Dengan satu gerakan pasti, pisau disembelih. Darah merah membasahi tanah, mengalir seperti doa-doa yang terucap di antara takbir. Fauzan merasakan air matanya jatuh, tak kuasa menahan getar hati. Namun di balik semua itu, ia tahu: ini bukan sekadar penyembelihan, ini adalah pelajaran tentang keikhlasan dan cinta yang suci.

Selesai sudah. Tubuh kambing terbaring damai, seperti tidur panjang menuju surga. Santri-santri saling memeluk, saling menguatkan. Daging akan mereka bagikan, seperti harap yang ingin mereka sebar agar tak ada yang kelaparan, tak ada yang kesepian di hari raya.

Fauzan menatap langit. Cahaya mentari mulai menghangatkan bumi. Ia menarik napas panjang, mengusap wajah dengan kedua tangan yang masih basah darah qurban. “Terima kasih, Ya Rabb… Kau ajarkan kami arti cinta yang tak mengenal pamrih.”

Hari ini, pesantren itu diselimuti haru. Suara takbir terus menggema. Dan di antara doa-doa yang melambung, seekor kambing menjadi jalan pulang bagi hati yang merindukan ridha Ilahi.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button
WeCreativez WhatsApp Support
Tim dukungan pelayanan kami siap menjawab pertanyaan Anda. Tanyakan apa saja kepada kami!
Hai, ada yang bisa saya bantu??