Lomba Cerpen 3: RUBERROSIS
Atmosfer langit mulai mendingin. Arakan awan gelap saling nomaden dengan begitu kentara oleh netra. Beberapa santri putri mulai memacu langkah demi menyelamatkan pakaian yang terjemur di lantai tiga. Beberapa lainnya sibuk pada urusan tersendiri.
Tangan itu terjulur menggapai rintik yang semakin menebalkan diameter liquidnya. Pandangannya meneraang jauh mengamati cahaya samar bulan yang memijar di sekitar kabut hitam. Sebuah buku pernah berkata jika waktu hujan tiba adalah saat mustajabah. Dalam hati ia memanjat doa. Larut dalam untaian mengiba sebelum sebuah suara mezzo sopran menginterupsinya telak.
“Astaghfirullah, Nanaj! Kesurupan ente, ya?” tegur Faridya heboh.
“Astaghfirullah! Kamu nggak lagi mikir buat bunuh diri, kan?” timpal Azka yang turut menghampiri gadis itu.
“kalau mau bunuh diri, besok Ramadhan aja, deh, aku saranin.” Faridya semakin ngelantur menyahuti komentar temannya itu.
“Astaghfirullah! Kenapa jadi astaghfirullah semua! Ini tuh lagi berdoa, masyaallah! Suudzon sukanya, ih!” Najmi yang menjadi objek sasaran menyahut gemas.
Azka berkacak pinggang, tatapannya menyelidik, “Tanggal berapa sekarang?”
“Sebelas April.”
“Nah, besok pengumuman SPAN PTKIN, dong? Jangan doa buat diri sendiri doang loh! Dosa! Awas kalau kalian nggak tahajud nanti malam.”
Najmi menahan senyumannya, “Merubah topik, nih, ceritanya. By the way, memangnya selama ini yang susah dibangunin tahajudan itu siapa, neng?”
Azka nyengir , memamerkan deretan geliginya yang rapi, “Yes, cause that, Sis!”
“Sok inggris nih, ya. I don’t know what-what!” ujar Faridya seadanya.
Najmi menghantamkan kepalan tangan kanannya pada telapan tangan kiri, “Jangan salah ya, guys. Gelar santri itu nggak membatasi kita dari dunia per-kece-an. Bisa banyak bahasa, seni, ngaji apalagi.”
“Cut it out. Stop this small talk. Udah mau maghrib ini. Ayo persiapan makan,” ajak Faridya.
Azka dan Najmi mengiyakan dalam diam beralih mengikuti langkah Faridya yang lebih dulu meninggalkan balkon kamar.
“Aku mau ke kamar mandi dulu,” izin Najmi yang langsung ngacir begitu saja tanpa melihat respon kedua temannya.
Raut wajah yang semua tampak cerah kini kembali redup seketika. Air mukanya tampak keruh. Hatinya bergemuruh ricuh. Ada banyak cubitan pada hatinya yang meskipun tampak kecil, namun begitu terasa nyata. Satu, dua. Ini dan lainnya.
***
Mohon maaf anda tidak lulus.
Helaan napas kasar seakan mewakilkan seluruh beban di dadanya. Otot wajah memproses perintah otak untuk berlagak senormal mungkin. Dari kejuhan tampak dua sohib karibnya memacu langkah mendekat. Najmi siap untuk memulai dramanya.
“Gimana, gimana?” itu Azka yang sudah ribut dari tiga hari yang lalu.
Najmi tersenyum simpul, “Alhamdulillah.”
“Alhamdulillah!” sahut keduanya terkagum.
“Nggak keterima.”
Faridya mengernyitkan dahi, “Loh, kok bisa?”
“Loh, kenapa nggak bisa?” Najmi berujar tenang.
Bukan type mereka sekali jika mendramatisir keadaan di saat canggung dan duka seperti saat ini. Alhasil, mereka hanya prihatin semestinya, berucap seadanya, menyemangati sebisanya.
“Oh, iya! Tadi Gus Dhuha nanyain kamu jadi ikut manggung selesai lebaran besok, nggak?” Faridya berucap girang.
Najmi menggeleng tak percaya, “Jangan ngadi-ngadi, deh. Iya, ana tahu kalau anti itu sepupunya beliau, tapi tolong jangan buat saya mencipta spekulasi halu tak berkesudahan.”
“Dibilangin, kok ngeyel. Kayaknya kamu bentar lagi jadi saudaraku, deh,” goda Faridya memicingkan matanya menerka-nerka.
“No doubt about it!” seru Azka bersemangat
“Baru aja lulus kelas duabelas udah mikir kejauhan. Wong gusnya teman dekat kakakku, kok. Wajar aja kalau tanya begitu. Udahlah, bentar lagi ngaji sore dimulai. Yuk, siap-siap!” tukas Najmi sebelum pergi. Mungkin ke luar angkasa, di mana bintang seharusnya berada.
Teet!!!
Bel Panjang berbunyi seolah menjelma sebagai peintah mutlak untuk fokus pada satu kegiatan. Tidak butuh waktu lama untuk memenuhi mushola dengan para wanita yang insyaallah ahli surga. Selain karena kesadaran diri sendiri pun karena mereka tahu karakteristik pak kyai yang selalu on time.
“Ramadhan buka sekedar ra madhang. Bulan ini penuh ampunan dan berlimpah keberkahan. Bahkan, Rasulullah mengiyakan jika sampai Ramadhan usai dan orang itu belum diampuni dosanya, maka dia termasuk orang yang celaka. Nisbate, di bulan Ramadhan, Allah obral pahala. Kok, sampai nggak kebagian, yo kebangetan. Apalagi di bulan lainnya.”
Beberapa santri putri mengangguk, dalam sanubari membenarkan ucapan pak kyai.
“Sebenarnya itu ada empat bulan istimewa. Dzulqodah, Dzulhijjah, Muharrom dan Rajab. Aslinya bulan Ramadhan itu tidaklah istimewa. Tapi, kok, bisa jadi sayyidul syahr? Karena Alquran turun pertama kali di bulan Ramadhan. Sedangkan, alquran sendiri itu kemuliaan. Mulianya Ramadhan itu karena ketularan mulianya Alquran. Artinya, segala sesuatu yang berhubungan dengan Alquran itu akan ketularan mulia.”
Terjadi jeda singkat untuk para santri mencerna tumpukan ilmu yang keluar dar lisan beliau. Beberapa santri ber-oh ria. Sebagian lainnya sibuk mengikat pengajaran melalui perantara buku dan tinta. Wajah-wajah mereka tampak siap meneruskan kepemimpinan bangsa menuju ridho Allah Ta’ala.
“Ditempati sesuatu yang istimewa, maka ia akan turut jadi mulia. Jadi, untuk penghapal Alquran, yang semangat murajaahnya, istqomah, telaten. Soalnya, yang kalian jaga itu bukan main-main mulianya,” lanjut beliau disambut kobaran semangat dari pancaran mata para santri.
“Semoga kita dapat paket plus dari Allah di Bulan Ramadhan ini. Paket utama yaitu paket lailatul qadar,” pungkas pak kyai diserbu lafadz amin yang reflek mengudara dari bibir para santri serempak.
***
Time seemed to know how to run.
Waktu seakan tahu caranya berlari. Tidak terasa sudah setengah badan Ramadhan terlewati. Najmi duduk termangu di depan pojok ndalem dengan tafsir Alquran dalam dekapan. Sekiranya kurang sepertiga juz Alquran yang belum disetorkan pada bu nyai. Sudah beberapa kali dia tumbang dan berakhir terbaring di tempat tidur. Nyatanya, menyandingi Alquran tidaklah semudah yang orang lain bayangkan.
Najmi masih terbuai dalam pikiranya sendiri hingga tak sadar Gus Dhuha mengamatinya dari kejauhan. Gadis itu kembali menapak di Bumi begitu pria yang terkenal dengan keramahannya itu berada dalam radius lima meter dari posisinya. Serta-merta gadis itu merapikan duduknya, menunduk takzim. Satuan secon yang rasanya melambat karena sepasang kaki yang terintip dari tekukan leher tak kunjung beranjak.
“Yusuf ayat delapanpuluh tujuh, nduk.”
Najmi mengangkat kepalanya sedangkan pemilik suara tadi yang tak lain adalah Gus Dhuha sudah berlalu masuk ke ndalem begitu saja. Gadis itu lekas membuka lembaran mushaf sesuai ayat yang tersebutkan lalu membaca terjemahannya.
‘…dan janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya yang berputus asa dari rahmat Allah hanyalah orang-orang kafir.’
Apa maksud beliau berkata demikian?
Mendadak lintas ingatannya maju-mundur. Tentang telepon awal bulan kemarin, tentang kurangnya dana untuk lanjut kuliah. Tentang rasa hampir menyerah membenahi hapalan. Tentang jalur-jalur pendaftaran kuliah yang tak kunjung berjodoh.
“Sabar, nduk. Mumpung Ramadhan, mendingan kamu serbu terus promo barokahnya. Kamu percaya keajaiban? Aku percaya. Karena Allah itu maha tak terduga.” Tiba-tiba saja suara bariton Gus Dhuha terdengar kembali.
Pria yang baru menginjak usia kepala dua dengan tubuh tegap sedikit kurus plus rupawan itu besender di dinding samping pintu. Tangannya men-scroll layar ponsel tanpa menatap Najmi sedikitpun. Najmi memang pernah berinteraksi beberapa kali dengan beliau. Itu pun tak absen menyangkutkan nama kakaknya.
“Kata kakakmu, besok kalau jadi manggung, kamu boleh minta apa aja sama dia.” Gus itu tersenyum tampan tanpa berpaling dari benda pipih serbaguna.
“Masalah doa, Gus?” Najmi yakin pria itu memiliki pendengaran batin yang kuat. Karenanya, kalimat rumpang pun, pasti akan mudah dipahaminya.
Gus Dhuha tampak berpikir sejenak, “Di kitab Kifayatul Atsqiya, ada beberapa syarat agar doa dikabulkan. Itu kitab ngaji tiap malam Ramadhan, kan?” Najmi mengangguk. “Tapi hikmahnya, Allah bisa saja suka mendengar doa tersebut, karenanya tak kunjung dikabulkan. Dekati penciptanya dulu baru ciptaannya. Ke Allah dulu baru urus dunianya.”
Najmi tersenyum kikuk, “Suwun, Gus.”
“Nggak usah sungkan. Kamu ki udah kayak adikku sendiri. Wong aku sama kakakmu, Faradise, aja udah kayak saudara sedarah. Yo wes, aku tak masuk dulu.”
Tubuh Gus Dhuha lenyap di balik daun pintu menyisakan perasaan Najmi yang sedikit tercubit atas ucapan beliau barusan. Adik? Mungkinkah dia berharap lebih pada gusnya sendiri? Pria itu seakan tahu isi pikirannya. Terus berdalil tanpa ada suguhan masalah yang dzohir. Kini, biarkan gadis itu memecahkan rangkaian puzzle pikirannya sendiri.
Najmi bungkam untuk saat lalu menghela napasnya kasar, “Ah, Ramadhan. Akan kubuat kau rindu dengan ketulusanku.”
Tata niat. Tata hati. Tata pikiran.
Ramadhan kali ini adalah saksi dari pengorbanan sang pecinta kalamullah yang sesungguhnya.
End.
Penulis: Indah Fitria Nilna Azizah
Komplek: Khodijah