Lomba Cerpen 5: NG-AKU SANTRI
“Man, Rochman !” suara garang keamanan . terdengar jelas di telingaku. Aku terbangun. Lalu, baranjak ke tempat wudlu. Jama’ah sholat telah usai untuk round satu.
Begitulah Rochman. Selalu bangun di akhir waktu. Seorang santri takhassus pelajar. Yang seharusnya duduk di bangku kelas XII. Namun, keadaan ekonomi memaksanya untuk berhenti sekolah. Seolah menanti lantunan garang petugas keamanan.
Setelah selesai dua round jama’ah. Seluruh santri beranjak ke tempat mengajinya masing-masing.
*******
Hembusan angin pagi ini begitu terasa sejuk. Seraya ikut mengagungkan dan menyambut bulan yang penuh berkah ini.
“Mas Rochman sudah sampai sini saja.” Tanya Ibu Ti’ah.
“Nggeh, bu. Mumpung masih awal puasa jadi masih fresh semangat nya.” Jawab Rochman
Pasar Legi. Tempat dimana Rochman berpangku hidup. Di toko Bu Ti’ah ini Rochman terhitung bertahan lama sebagai kuli. Biasanya ia selalu berpindah-pindah. Dari toko satu ke toko yang lain. Tidak jarang ia memungut sayur yang telah di pisahkan oleh penjualnya. Lebih tepatnya adalah sampah sayur-mayur. Namun baginya itu adalah makanan bergizi yang dapat ia peroleh dengan gratis. Namun, ia pun tidak pernah mengeluh dengan apa yang ia peroleh.
**********
“ Mangkat peteng bali peteng, wes koyo omah e dewe.” Cletukan dari salah satu teman ku, Rochim. “ Mengko mung setor senadzom. Ngunu wae ora tutuk.” Komentarnya.
Seperti sengaja di tujukan untukku. Namun, aku belaga tidak tahu. Karena belum tentu yang mereka bincangkan adalah aku. Da’ su’a dzonni zur syarrifa lil karom. ‘Tinggallah prasangka buruk niscaya kau akan mendapat kemulyaan’.
***********
Seusai sholat tarawih kami kembali mengaji. Terdengar suara gemuruh dari masing-masing kelas saling berebut kekompakan.
“ Ayo Budi, Wahid sini setor !.” perintah Kang Andi.
“ Iya kang, kebetulan banget saya sedang kebelet kang. Saya setor dulu ke WC ya kang ? cengengesnya sambil berlari.
“Owalah cah edan.” Gumam Kang Andi sambil menggelengkan kepala. Sedang aku masih terngiang-ngiang oleh perkataan rochim dan teman-temannya ‘mung setor siji ngunu wae ora tutuk.’. Tekadku bulat. Aku harus setor lebih dari satu nadzom.
***********
Bel berbunyi.
Pukul 23.59 menunjukkkan perintah kepada seluruh santri untuk segera beristirahat bagi yang tidak berkepentingan. Rochim dan segerombolannya bermujahadah. Mereka memang terkenal sekelompok santri terbilang teladan.Setelah mujahadah mereka nadzoman bersama ditengah heningnya malam. Dan inilah yang di keluhkan oleh kawan-kawan santri.
Ke esokan harinya.
“ Kang Rochman, kang Rochman.” Begitu suara Gus Aqil mengagetkanku.
“ Iya, ada apa Gus ?. seperti tergesa-gesa sekali.” Jawab Rochman.
“ Ajari Aqil. Aqil tidak mau diajari mbak nya” sahut Umi sambil menuju kolam.
“ Nggeh umi.” Jawab Rochman. Akupun tidak dapat mengelak lagi.
“ Kenapa Gus Aqil tidak mau di ajari oleh Ning Salma ?.” selidikku.
“ Nggak mau. Mbak Salma itu cerewet.” Jawab Gus Aqil dengan ekspresi kesalnya.
“ Ya, sudah.Mari kita mulai.” Gus Aqil mulai mengerjakannya. “ Nah, itu bisa.” Apresiasi Rochman kepada Gus Aqil.
“ Ini bagaimana kang? Seratus tiga puluh dikali nol?
“ Jadi, begini Gus. Nol itu bilangan istimewa Gus. Artinya bilangan apapun jika di kalikan dengan nol. Maka hasilnya tetap nol. Dan apabila penjumlahan maka menghasilkan bilangan itu sendiri. Begitu pula allah. Allah itu esa. Baik bertambahnya manusia atau alam semesta tetap saja allah itu esa. Jadi jawabannya adalah …”
“ Nol.’’ Jawab Gus Aqil dengan penuh antusias
“ Iya tepat sekali.”
Ada sepasang mata yang mengintai mereka dari balik pintu.
************
Setibanya ia di pasar. Ia kaget bukan main.
“ Mas Rochman, mulai sekarang dan seterusnya. Tidak usah lagi bersusah payah ke toko saya ya. Saya sudah sanggup bekerja tanpa karyawan. InsyaAllah.”
“ Maaf bu. Apakah ada yang salah dari saya. Sehingga secepat ini ibu memberhentikan saya untuk bekerja?” Tanya Rochman dengan penuh keheranan.
“ Tidak apa-apa. Sebaiknya sampean pulang saja.”
“ Baik bu. Saya akan pergi. Maaf apabila saya ada salah.”
Aku pergi meniggalkan toko Bu Ti’ah. Orang-orang memandangku tajam. Tanda tanya besar bagiku. Kenapa begitu cepat aku diberhentikan bekerja. Apa salahku ?. Pertanyaan demi pertanyaan menambah penat kepalaku.
Setibanya di kamar.
“ Kenapa sob ?” tanya hamdi. Aku tidak menjawab. Akupun bingung harus memulai cerita dari mana. “ Woy !” kembali ia memecahkan lamunanku.
“ Kamu tahu ?.Tadi, kira-kira waktu sahur. Ada sebuah pencurian yang terjadi di sebuah toko di pasar. Nah, pelaku nya itu di duga dari kalangan anak pesantren. Karena terlihat dari CCTV. Ia mengenakan sarung, songkok dan baju ala santri.”
“ Di toko ?” jawabku kaget “ siapa pemiliknya?”.
“ Bu Ti’ah, kalau tidak salah dengar. Ada apa Man?”
“ Aku bekerja di sana ham.” “ Benarkah ?.”
“ Sekarang aku di pecat.”
“ Apa !” Hamdi terperangah. Mungkin ini alasan bu ti’ah memberhentikanku bekerja.
“ Rochman, kamu di panggil keamanan.” Salah seorang temanku memanggil.
**********
“Assalamu’alaikum, pak.” Badan ku gemetar. Untuk pertama kali memenuhi panggilan keamanan.
“ Wa’alaikumussalam, masuk.”
Setelah panjang lebar keamanan menjelaskan apa yang terjadi. Akhirnya, aku menerima hukuman menguras sapiteng pondok, di botak, dan tidak di perbolehkan lagi bekerja di pasar ataupun keluar pondok. Dengan dalih hanya aku yang keluar masuk pasar. Dan si pelaku mengenakan pakaian yang tidak lain adalah pakaianku.
Namun,aku pun tidak dapat lagi mengelak. Karena semua bukti mengarah kepadaku. ‘Sungguh hanya Allah yang maha mengetahui’. Lirih ku dalam hati.
**********
“ Liburan kali ini saya akan pergi ke Jogja, Man. Kamu mau ikut tidak ?”
“ Tidak, Ham. Terimakasih.”
“ Kenapa? Kamu masih memikirkan hukumanmu kemarin? Sudahlah sob, percaya lah kebenaran pasti akan segera terbuka. Kamu masih minder ?”
“ Aku tidak tahu, Ham. Apa yang harus aku lakukan sekarang.”
“ Baiklah. Tenangkanlah dirimu.” Ia menepuk bahu ku lalu pergi
**********
Tujuh tahun kemudian.
“ Selamat Man. Kamu sekarang sudah khatam mantiq.”
“ Iya. Alhamdulillah semua ini juga berkat dari doa teman-teman sekalian.”
“ Wah, calon-calon pak kyai ini.” Kata Rozaq teman sekelasku. “ Kamu Rozaq yang jadi pak kyai. Yang sebentar lagi meneruskan perjuangan ayahmu.”
Sudah-sudah kita dengarkan pituah abah.
Ia memberikan selamat kepada kami dan mendoakan akan kesuksesan kami. Serta, memberi tahu akan kepulangan ning salma ke indonesia. Yang telah meraih gelar sarjana nya dengan cumlaude dan tahfidznya.
**********
Dua minggu kemudian.
“ Abah, Umi. Salma ingin melanjutkan studi salma ke amerika. Dan salma ingin menikah terlebih dahulu agar ada yang menjada salma disana.”
“ Siapa yang kamu inginkan menjadi pembimbingmu, nduk?” Aku terdiam. Namun, aku beranikan diri untuk berbicara.
“ Salma mengagumi kang Rochman Abah, Umi.”
“ Bagaimana umi?” Tanya abah kepada umi. “ Abah setuju, nduk. Rochman anak yang baik. Tidak neko-neko.”
“ Umi meridloimu nduk. Semoga pilihanmu adalah yang terbaik.” Sambung umi.
“ Terimakasih. Abah, Umi.” Mereka memelukku.
************
“ Kang Rochman, di timbali Abah. Di ruang tamu kecil.”
“ Baik, terimakasih adnan.” “ Iya, kang. Sama-sama.”
Sesampainya di ruang tamu kecil.
“ Assalamualaikum.”
“ Waalaikumusssalam. Sini Man, masuk.” “ Jadi, begini man. Aku ingin menikahkan putriku denganmu.” Hatiku tersentak. Lisan ku membisu. Entah rasa apakah ini yang berkecamuk di dalam dada. “Bagaimana Man,?”
“ Saya tidak punya apa-apa Abah.”
“ Ilmu yang kau punya sudah cukup, Man.”
“ Baik saya bersedia. Namun, izinkan saya untuk memohon restu kepada ibu saya, abah.”
“ Saya izinkan. Dan bersiaplah. Akadnya nanti malam.” Subhanallah. Kembali hatiku tersentak.
Para santri dan seluruh keluarga pondok sedang sibuk mempersiapkan acara akad Ning Salma nanti malam. Yang terbilang sangatlah cepat dan mendadak. Merekapun bertanya-tanya tentang siapakah calon Ning Salma?. Lain halnya denganku yang sibuk mencari media untuk meminta restu kepada ibuku di rumah nan jauh.
***********
Akad telah berlangsung.
Sorak dari para santri semakin bergemuruh. Sesudah kami sungkem kepada Abah dan Umi. Aku sempatkan untuk kembali keasrama sejenak. Dan mereka menyambutku dengan hantaman kebanggaan. Mengerubungi dan mengeroyokku.
“ Eh, jangan seperti itu dengan gus kita.” Kata Asrof sambil mengeledekku. Menyusul yang lain membungkukkan badan mereka.
“ Aku sama seperti kalian. Aku santri.”
*******
“ Dek, aku boleh tanya?”
“ Boleh, silakan. Ingin tanya apa mas?” ( Ia menatap ku dengan tajam)
“ Atas dasar apa sampean memilih saya untuk menjadi suamimu?”
“ Kagum.” Jawabnya ( sembari mengarahkan pandanganku ke wajahnya ) sungguh ‘nikmat tuhanmu yang manakah yang engkau dustakan’ wajahnya sangat cantik, berseri, dan membuat siapapun yang memandangnya merasakan adem di hati.
“Aku mengagumi mu mas. Jauh sebelum aku pergi ke Mesir. Berawal dari saat mas mengajari aqil. Diam-diam aku memerhatikan kalian dari balik pintu. Dan tanpa sengaja, pada malam itu. Aku melihat mas pergi ke masjid mengerjakan sholat malam. Memang kau terkenal pemalas. Bangun paling akhir. Tidak lancar setoran. Aku tahu itu. Namun, dari kejadian itu aku berprasangka baik kepadamu. Bahwa segala keburukan yang terlihat dimata mereka. Hanyalah untuk menutupi segala ke ‘alimanmu mas. Dan aku pun semakin penasaran denganmu. Dan tepat dimana aku telah menyelesaikan studi dan al-qur’an bil hifdzi. Kau pun juga wisuda mas. Aku sangat bahagia mendengarnya. Lantas, sekarang aku yang ingin bertanya kepada mas. Kenapa mas tidak terus terang dengan apa yang mas lakukan.”
“ Aku terharu, mendengarnya. Iya, seperti itulah kenyataannya. Kalau kau bertanya tentang itu. Jawabannya, karena aku hanya mengerjakan 2 rakaat di sepertiga malam terakhir. Lantas, apakah pantas aku menyombongkannya. Dan yang menjadi pedomanku saat itu adalah ngendikan dari gus Salim ‘senajan ora ngelakoni sunah seng penting ora ngelakoni maksiat’.”
“ Aku mengagumimu, mas.” Sembari menyandarkan kepalanya ke bahuku.
“ Terimakasih, dek.”
Sekian
______________________________
Penulis: Ummussa’diyah Nurrohmah
Komplek: Al-Magfiroh