Menembus Rimba

Langit mulai menguning saat lima remaja bersarung rapi menyusuri jalan berbatu menuju basecamp Ranu Pane. Mereka bukan pendaki profesional, tapi semangat mereka membumbung seperti awan-awan yang menaungi Gunung Semeru hari itu.
Ghani, Gibran, Dafa, Farel, dan Lingga lima santri dari sebuah pesantren yang memiliki komunitas santri pecinta alam, akhirnya mewujudkan impian mereka: mendaki Semeru di masa liburan.
“Ini bukan cuma tentang puncak,” ujar Ghani, sang ketua kelompok, “tapi tentang perjalanan menaklukkan diri sendiri.”
Farel dengan langkah cepatnya selalu di depan, si penghafal rute dan pengingat jadwal sholat.
Dafa, si paling sabar, yang tak pernah mengeluh meski badannya bertubuh gempal .
Gibran, si tukang dokumentasi, mengabadikan momen-momen dengan kameranya yang sudah sedikit retak di sudut.
Dan Lingga, si penyemangat, tak henti-henti melontarkan lelucon meski napasnya tersengal dan tasnya paling berat karena berisi logistik dan alat masak.
Hari pertama, mereka bermalam di Ranu Kumbolo. Air danau jernih, hawa dingin, dan langit penuh bintang membuat mereka terdiam sejenak. “Subhanallah…” lirih Dafa, memeluk sarung yang jadi selimut.
Namun, bukan mendaki namanya tanpa rintangan. Di tanjakan cinta, Lingga terpeleset dan lututnya tergores batu. Mereka sempat ragu untuk lanjut. Tapi Gibran membacakan ayat: “Fa innama’al ‘usri yusra…” (Sesungguhnya, bersama kesulitan ada kemudahan).
Dengan perban seadanya dan semangat yang tak padam, mereka terus melangkah. Kabut datang, hujan menyusul. Tenda sempat bocor. Satu kompor rusak. Tapi di balik semua itu, mereka tak pernah melewatkan sholat bahkan dalam dingin, sarung-sarung mereka tetap digunakan, kadang jadi sajadah darurat.
Empat hari berlalu. Akhirnya, malam itu mereka memulai summit attack ke Mahameru.
Langkah demi langkah, napas semakin pendek, kaki mulai gemetar. Tapi mata mereka menatap satu arah: puncak.
Dan saat cahaya jingga mulai merekah dari ufuk timur, mereka berdiri di puncak Semeru, 3.676 meter di atas permukaan laut. Lima santri, lima jiwa yang menembus rimba, melampaui badai, dan menaklukkan gunung—bukan untuk sombong, tapi untuk bersyukur.
Ghani membuka tas kecilnya, mengeluarkan mushaf kecil. Mereka sujud syukur, di puncak negeri para dewa.
“Puncak ini bukan akhir,” ucap Gibran sambil mengabadikan langit pagi.
“Benar,” kata Lingga, tersenyum walau lututnya masih nyeri. “Ini baru awal dari langkah-langkah besar kita setelah turun nanti.”
Menembus rimba, mereka temukan keindahan.
Menembus batas, mereka temukan diri mereka sendiri.