Mengukur Kekuatan Teks Sastra
Teks sastra (novel, cerpen, puisi dan sejenisnya) seringkali dipahami oleh sebagian kalangan hanya sebagai sarana hiburan mengisi waktu luang. Ada pula yang menempatkannya sebagai pengobat hati apabila sedang dilanda gelisah. Teks sastra memang kebanyakan menampilkan keindahan bahasa yang mampu menenggelamkan pembacanya dalam khayalan serba indah. Maka tidak sedikit yang merasa terhibur dengan membaca teks sastra setelah sebelumnya mengalami kesedihan. Demikianlah kekuatan yang terpancar dari rangkaian kata pada novel, cerpen dan juga puisi. Namun, apakah cukup sebatas itu kekuatannya?. Mari kita mencoba mengukurnya dari sudut pandang teks sastra sebagai cermin hidup.
Sebagaimana yang selalu diutarakan para sastrawan, bahwa teks sastra merupakan salah satu bentuk seni yang tercipta dari perjalanan panjang sejarah hidup manusia. Dewasa ini, kita mengenal bermacam jenis kesenian; seni musik, seni lukis (termasuk kaligrafi), seni pertunjukan, seni rupa, dan tentu seni sastra. Produk seni sastra adalah buku yang bisa dinikmati dengan membacanya. Sastrawan Indonesia sudah banyak yang menulis buku. Bahkan, bagi mereka yang menulis buku berisi kumpulan puisi, lalu berlanjut menginisiasi untuk diadakannya pentas baca puisi.
Kehadiran buku-buku sastra di Indonesia mulanya didominasi karya berupa novel. Kondisi ini tentu menimbulkan pertanyaan; mengapa novel menjadi urutan pertama yang mampu memikat calon pembaca untuk kemudian serius “menyantapnya” hingga halaman terakhir?. Jawabannya; karena novel menyajikan sebuah kisah yang “utuh”. Novel mengenalkan tokoh di dalam cerita secara detail, menggambarkan kondisi tempat dan juga situasi yang tengah berlangsung dengan cukup dramatis. Tentu novel juga lebih memiliki alur cerita yang runtut melalui episode-episode yang relatif panjang agar dapat benar-benar bisa dipahami.
Berikutnya, buku-buku kumpulan cerpen mulai banyak muncul sebagai bentuk apresiasi terhadap cerpenis yang menghasilkan karya bermutu tinggi. Penerbit buku Kompas termasuk yang paling sering meluncurkan produk ini. Sebagaimana yang dapat kita lihat dari terbitnya buku Kumpulan Cerpen Pilihan Kompas. Penerbit Kompas rutin setiap tahun menyeleksi puluhan naskah yang telah dimuat dalam Harian Kompas untuk kemudian diterbitkan dan didistribusikan melalui jaringan Toko Buku Kompas di seluruh Indonesia. Disamping itu, banyak juga sastrawan bertaraf nasional yang karya cerpennya diterbitkan tersendiri sesuai tema atau karakteristiknya.
Penikmat buku-buku kumpulan cerpen kian bertambah banyak dari berbagai status sosial maupun jenjang usia. Karya yang bisa disebut bacaan “sekali duduk” ini memang menarik untuk dinikmati. Membacanya tidak membutuhkan waktu berjam-jam, cukup sekali duduk -satu judul cerpen selesai dibaca-. Meskipun dalam satu buku berisi sekitar 10-15 cerpen, tentu untuk membaca semuanya sekaligus tetap memerlukan waktu lebih dari satu jam. Pilihannya kembali pada keinginan masing-masing pembaca, bisa membacanya 1-2 cerpen saja lalu melakukan aktifitas yang lain atau langsung membaca dari judul pertama sampai terakhir karena tersedia waktu luang yang cukup banyak.
Pada perkembangannya, teks sastra mengalami keragaman dari segi sistematika penulisan dan wujud apresiasinya. Penulis karya sastra terus berinovasi untuk menampilkan wajah baru teks sastra guna menyemarakkan kemeriahan “panggung” literasi di Indonesia. Salah satu contoh untuk novel; kini penulis tidak harus merangkai imajinasinya dari awal sampai akhir cerita baru kemudian karyanya diterbitkan secara utuh berupa buku. Namun, dapat pula menyajikannya dengan model bersambung, sehingga disebutlah “cerbung” (cerita bersambung). Banyak sudah media massa yang memuat karya semacam ini, beberapa diantaranya; SKH. Kedaulatan Rakyat, Jawa Pos dan Republika.
Apresiasi sastra juga terus menampakkan kegairahannya dengan banyak kisah novel maupun cerpen yang difilmkan. Antusias penonton dalam merespon film-film seperti ini turut melambungkan nama para penulis. Jumpa pers maupun undangan kehormatan untuk menjadi pembicara terus berdatangan. Bukan saja hanya di dalam negeri, tetapi sampai ke manca negara. Sudah pasti penulis yang demikian akan memiliki kesibukan sangat padat. Maka, pada sisi inilah dapat terlihat kesungguhan dari masing-masing penulis; apakah proses kreatifitas menulisnya berhenti karena terbuai dengan kepopuleran, atau mampu eksis menulis ditengah-tengah padatnya aktifitas lain yang cukup menguras energi?.
Kita patut bersyukur karena penulis Indonesia termasuk golongan pekerja seni yang lebih mengedepankan karya. Kepopuleran yang diperoleh dianggap sebagai hadiah semata, tidak menjadi tujuan utama. Para sastrawan di Tanah Air tetap mengutamakan teks sastra sebagai karya yang harus “dijaga” kualitasnya. Respon pembaca terhadap teks sastra sangatlah tinggi. Seringkali para pembaca meresapi rangkaian makna yang terkandung dalam setiap karya karena adanya rasa kesamaan pada cerita maupun tokoh yang dihadirkan. Pada sisi inilah yang kemudian disebut dengan “teks sastra menjadi cermin hidup”.
Pembaca bisa belajar –mengambil hikmah- dari inti karya sastra yang ditulis sastrawan melalui sudut pandangnya masing-masing. Pemahaman terkait apa yang dibaca dapat berpengaruh besar dalam menyikapi persoalan dalam kehidupan. Dampak positif yang terlihat –salah satunya- adalah orang-orang yang kemudian memilih untuk mengucap syahadat (muallaf) setelah sebelumnya tersentuh oleh hidayah Allah Subhaanahu wata’aala “melalui” pemahaman dan perenungan membaca teks sastra. *(Muhamad T auf iqbali)