Sastra

Pelita yang Kembali Menyala

Langit pagi masih basah oleh sisa embun, dan suara burung pipit bersahutan di sela-sela daun mangga tua yang menaungi halaman Pesantren Darul Hidayah. Di pesantren itu, seorang santri bernama Hilmi berjalan perlahan menuju masjid dengan mushaf di tangan, langkahnya ringan namun pikirannya berat. Ia adalah santri jurusan tahfidzul Qur’an, dan di balik matanya yang tenang, ada gelisah yang sejak lama menetap.

Hari-hari awalnya penuh cahaya. Hilmi begitu bersemangat menghafal Al-Qur’an. Ayat demi ayat ia rajut dengan cinta, membisikkan lafaz-lafaz suci seperti menanam benih surga dalam dada. Tapi semakin jauh ia melangkah, semakin ia merasa kecil.

“Ya Allah… hamba merasa tak pantas. Hamba ini penuh dosa, hafalan ini terlalu mulia untuk dada yang hitam seperti ini…” begitu ia sering menangis dalam sujud panjangnya.

Satu malam di bulan Rajab, Hilmi memberanikan diri menghadap pengasuh pesantren.

“Yai, bolehkah saya pindah jurusan ke kitab kuning saja? Saya rasa saya tidak layak menghafal Al-Qur’an,” ucapnya dengan mata menunduk.

Buya Arif, sang pengasuh yang berjenggot putih dan bermata teduh itu, hanya memandang Hilmi lama, sebelum berkata lembut, “Nak Hilmi, bukan kamu yang memilih Al-Qur’an. Tapi Al-Qur’an yang memilihmu. Tapi jika kau ingin berpindah, pergilah. Tapi jangan pernah berhenti mencari kebenaran.”

Hilmi pun berpindah ke jurusan kitab kuning. Ia mulai sibuk dengan Nahwu dan Shorof. Ilmu itu mulia, namun di sudut hatinya ada sunyi yang tak bisa dijelaskan. Setiap kali ia membuka kitab, ada gema surah Al-Mulk yang ia rindukan. Tapi ia terus bertahan, meski tak lagi menemukan getar yang sama.

Hingga suatu sore, di serambi masjid, Hilmi melihat seorang santri kecil yang baru masuk. Bocah itu tersendat-sendat membaca surat An-Naba’, lidahnya kaku, tapi matanya berbinar. Berkali-kali salah, namun berkali-kali pula ia tersenyum, lalu mengulang.

READ  The Umbrella 2

“Kenapa kamu tetap semangat meski sering salah?” tanya Hilmi.

Bocah itu menjawab polos, “Karena ustadz bilang, kalau ingin jadi teman Qur’an, harus sabar dan istiqomah. Nanti Qur’an juga akan menyayangi kita.”

Kata-kata itu menampar batin Hilmi lebih dari sekadar nasihat. Malam itu, ia menangis di kamar, membuka kembali mushaf yang telah lama terlipat. Di setiap huruf, ada rasa yang kembali hidup. Seperti pelita yang sempat padam, tapi api kecilnya belum mati sepenuhnya.

Sejak malam itu, Hilmi kembali menghafal. Tak peduli ia lambat, tak peduli ia harus mengulang berkali-kali. Ia mulai mencintai prosesnya, bukan hanya hasilnya.

Tahun demi tahun berlalu. Di malam khataman Qur’an, suaranya menggema merdu di dalam masjid, menembus langit-langit pesantren, hingga meneteskan air mata para santri yang hadir.

Buya Arif berdiri, memeluk Hilmi dengan bangga. “Lihatlah, anakku. Yang dulu merasa tak pantas, kini menyelesaikan tiga puluh juz. Inilah kekuatan istiqomah. Bukan siapa yang tercepat, tapi siapa yang tetap melangkah.”

Hilmi tersenyum, dan di dalam dadanya, tiga puluh juz Al-Qur’an telah tumbuh seperti taman yang mekar di musim hujan indah, harum, dan tak tergantikan.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button
WeCreativez WhatsApp Support
Tim dukungan pelayanan kami siap menjawab pertanyaan Anda. Tanyakan apa saja kepada kami!
Hai, ada yang bisa saya bantu??