Sastra

Rindu

Dua puluh tahun berlalu, Ramzi tidak mengira kalau usaha kulinernya bisa berkembang hingga berjumlah 99 cabang. Berawal dari warung sederhana di bawah pohon mahoni dengan sebuah gerobak dan atap terpal. Kini, Warung Super Pedas menempati bangunan permanen yang bisa menampung seratus pengunjung secara bersamaan.

Cerita tentang sejarah berdirinya Warung Super Pedas banyak dimuat berbagai koran dan majalah cetak. Bahkan di portal berita online lebih dari lima puluh media yang mengulasnya. Adapun judul yang paling sering ditampilkan adalah ‘Gagal Jadi Santri, Sukses Jadi Pengusaha’.

Ramzi menyayangkan digunakannya judul tersebut karena bisa menimbulkan pandangan negatif. ‘Gagal Jadi Santri’ banyak diartikan sebagai orang yang belajar di pesantren tetapi berhenti di tengah jalan. Lain halnya bila diberi judul ‘Alumni Pesantren’, tentu memberi kesan positif bahwa orang tersebut selesai dari pesantren.

Namun, apa daya. Faktanya, dulu Ramzi memang berhenti jadi santri. Sebabnya bukan akibat kesalahannya yang merugikan orang lain atau pesantren. Namun, justru kekecewaannya terhadap perlakuan senior kepadanya. Ramzi terpaksa memilih keluar dari pesantren.

Waktu itu, Ramzi duduk menghadap santri senior untuk membacakan huruf-huruf Arab (tanpa harokat) di sebuah kitab kuning. Wajahnya menunjukkan keraguan, lisannya mengucap terbata-bata. Ramzi tertinggal jauh dari teman-teman seangkatan yang mayoritas sudah lancar membaca.

Entah, apa sedang dalam kondisi labil atau ada sebab lain, santri senior itu melontarkan kata-kata yang terus diingat oleh Ramzi.

“Kalau tetap gak bisa-bisa, lebih baik mandeg mondok wae (berhenti belajar dari pesantren saja). Mungkin kamu lebih cocok belajar di tempat lain” seru santri senior.

Mendengar seruan demikian, kontan saja Ramzi menundukkan kepalanya dalam-dalam. Kedua tangannya bergetar sembari memegang kedua lutut kaki. Lidahnya terasa kelu, Ramzi tetap berusaha menahan amarahnya.

READ  Surat untuk Ibu yang Telah Berlabuh Terlebih Dahulu

Santri senior menatap Ramzi penuh keangkuhan. Sepuluh detik terdiam. Akhirnya, Ramzi berdiri dan bergegas meninggalkan aula tempat mengaji tanpa pamit.

Perasaan malu, sedih, dan marah bercampur jadi satu. Jauh-jauh menyeberang ke pulau ini guna belajar mengaji, tetapi yang didapatnya adalah seruan supaya pergi.

Roda kehidupan terus berputar. Setelah tidak lagi tinggal di pesantren, Ramzi memperoleh ridho dari orang tuanya untuk berjualan makanan. Pikiran dan energi tercurahkan demi mengembangkan usahanya ini.

Semakin lama, jumlah pengunjung semakin banyak. Ramzi berbakat jualan. Warung yang hanya menggunakan gerobak dan beratapkan terpal serta beberapa kursi sudah tidak mencukupi.

Seiring penghasilan yang meningkat, Ramzi pun lantas bisa menyewa kios. Lima tahun berselang, Ramzi bisa membeli lahan dan mendirikan warung permanen pertamanya. Lalu berlanjut warung kedua, ketiga, dan seterusnya.

Awal bulan ini, usia Ramzi genap empat puluh tahun. Usia yang disebut-sebut memasuki fase kedewasaan berpikir dan bertindak bagi seorang manusia. Ramzi ingin merayakan pencapaiannya melalui cara yang istimewa.

Pada perayaan hari lahirnya, Ramzi mengundang seluruh Anggota Dewan Pimpinan Warung Super Pedas. Setiap orang diberinya secarik kertas dan diminta untuk menulis satu nama rekannya sesama anggota dewan pimpinan yang paling disukai. Masing-masing dari yang hadir mengikuti intruksi Ramzi sang big bos tanpa mengetahui apa direncanakan sebenarnya.

Singkat cerita, tersebutlah satu nama yang memperoleh like terbanyak. Lalu, tanpa berpanjang kata, Ramzi menetapkan nama itu untuk menggantikan dirinya sebagai pemimpin tertinggi di Warung Super Pedas. Semua yang berada di dalam ruangan terkejut. Bagaimana bisa seorang big bos yang merintis perusahaannya dari nol, menyerahkan begitu saja perusahaannya pada orang lain. Padahal, perusahaannya sedang jaya-jayanya.

Melihat karyawannya yang kebingungan, Ramzi pun memberi jawaban.

READ  Lomba Cerpen 2: MEMORIES MY SELF

“Saya ingin kembali belajar di pesantren. Dua puluh tahun berlalu, pastilah santri senior yang dulu merendahkan saya sudah tidak lagi ada di sana”.

M Taufiq

Lahir di Denpasar Bali. Pendidikan MTs hingga Perguruan Tinggi di Pondok Pesantren An-Nur. Kini bersama keluarga tinggal di Banguntapan Bantul.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Check Also
Close
Back to top button
WeCreativez WhatsApp Support
Tim dukungan pelayanan kami siap menjawab pertanyaan Anda. Tanyakan apa saja kepada kami!
Hai, ada yang bisa saya bantu??