Sampah Ketidaksadaran

Sampah. Indonesia darurat sampah. Yogyakarta darurat sampah. Siapa yang tidak tahu? Beberapa waktu lalu Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) Regional Piyungan sempat ditutup karena zona transisi seluas 2,5 hektar tersebut overload oleh muatan sampah, sehingga tiga kabupaten/kota di Jogja harus melakukan pengelolaan sampah secara mandiri. Tak hanya warga dari tiga kabupaten itu yang kelimpungan, warga pesantren An Nur (terkhusus bagi para santri yang menangani permasalahan sampah ini) pun kelimpungan sebab pengangkutan sampah oleh pemerintah sempat berhenti berulang kali ataupun beroperasi secara tidak maksimal.
Tahukah seberapa banyak sampah yang dihasilkan oleh kurang lebih 2.800 santri An Nur tiap bulannya? Dalam satu bulan perkiraan sampah yang dihasilkan oleh santri sebanyak 16 ton. Bisa dibayangkan apa yang terjadi ketika pengangkutan sampah berhenti atau setidaknya beroprasi tidak maksimal? Siapa peduli? Itu urusan mereka para pengelola sampah, urusan kami di pondok hanyalah mengaji! Akankah kalian berpikir begitu?
Permasalahan sampah di pondok pesantren An Nur ini sebenarnya sudah terjadi sejak lama. Hal inilah yang membuat Pondok Pesantren An Nur beinisiatif untuk membuat pengelolaan sampah sendiri sehingga pada tahun 2020 dibuatlah bank sampah dan juga UPT ASRI (Unit Pelaksanaan Terpadu An-Nur Berseri) yang kini berubah nama menjadi OBAH APIK (Omah Tarbiyah Atasi Perubahan Iklim) yang bertugas untuk mengelola sampah-sampah di Pondok Pesantren An Nur yang terus bergerak hingga saat ini.
Dalam menangani sampah, lembaga tersebut bekerjasama dengan UPT kabupaten untuk menangani sampah-sampah kering, Mitra Daur Ulang Plastik sebagai usaha lanjutan dari sampah-sampah rongsok, melakukan budidaya maggot dan juga membuat tempat pembakaran sampah non-daur ulang sendiri. Untuk memudahkan dalam pengelolaannya, tiap komplek dibuatkan kebijakan atau peraturan untuk para santri agar memilah sampah menjadi beberapa kategori yang telah ditentukan, membawa wadah makan pribadi ketika jajan dan melarang santri menggunakan kantong plastik ketika belanja dari luar.
Atas upaya ini, maka tak heran jika Pondok Pesantren An Nur dianugerahi penghargaan sebagai salah satu Pesantren Emas dalam ‘Special Event Festival Kebudayaan Mataraman’ yang digagas oleh pengurus wilayah Nahdhlatul Ulama’ Daerah Istimewa Yogyakarta terkait penanganannya terhadap masalah sampah. Namun, perlu kita ingat bahwa sebaik apapun sistem itu dirancang pada akhirnya tetap kembali kepada santri itu sendiri. Kesuskesan program ini tergantung pada kesadaran dan kedisiplinan para santri dalam menjalankannya.
Dalam praktiknya, meskipun jumlahnya tidak banyak masih ada santri yang tidak megindahkan kebijakan dan aturan yang ada. Misalnya, mereka sering mencampur sampah organik dengan anorganik, membuang sisa makanan tanpa memilahnya, atau meninggalkan sampah sembarangan. Dari pengalaman saya, beberapa dari mereka baru memilah sampah dengan benar setelah ditegur. Ini menunjukkan bahwa untuk tindakan mereka masih bergantung dari luar bukan dari kesadaran diri sendiri.
Melihat hal itu saya teringat sebuah kalimat dalam sebuah artikel tentang kesadaran bahwa “tahu belum tentu sadar.” Seseorang bisa saja memahami sebuah aturan, tetapi tanpa adanya keinginan dalam diri untuk melakukan dan membiasakannya secara konsisten kesadaran tidak akan tumbuh. Ketidaksadaran ini, menurut artikel tersebut, disebabkan karena pengetahuan yang tidak terkelola dengan baik yaitu dengan membiarkan pengetahuan tetap menjadi sebuah pengetahuan sebab tidak diamalkan.
Dari artikel tersebut terdapat beberapa cara membangun kesadaran untuk kita renungi. Pertama, mempertanyakan apa fungsi dari pengetahuan tersebut, kenapa kita perlu memilah sampah? Kedua, menyadari nilai-nilai dari apa yang kita lakukan, apakah kita sudah membuang sampah dengan baik dan benar? Atau masih membuang secara sembarangan? Apa yang terjadi ketika kita membuang sampah sembarangan? Ketiga, menerima diri sendiri bahwa kita juga bisa melakukan kesalahan yaitu dengan menyadari bahwa kita masih membuang sampah sembarangan. Keempat, bertekad untuk menghilangkan kebiasaan buruk tersebut dan memulai memperbaikinya dari sekarang.
Salah satu bentuk kesadaran adalah dengan mewujudkan pengetahuan dalam tindakan nyata. Tanpa tindakan nyata, semua pengetahuan dan kesadaran hanya akan menjadi teori tanpa makna. Kesadaran bukan hanya soal memahami, tetapi juga keberanian untuk bertindak dan mengubah kebiasaan. Jika tidak, pengetahuan hanya menjadi teori yang tidak membawa manfaat dalam kehidupan sehari-hari. Imam Ghazali dalam kitab Bidayatul Hidayah menyatakan bahwa “celaka bagi orang yang berilmu tetapi tidak mengamalkan ilmunya.” Pengetahuan tanpa tindakan tidak hanya merugikan diri sendiri, tetapi juga orang lain.
Bayangkan jika 10 dari 500 santri di satu kompleks membuang sampah tidak terpilah tiga kali sehari. Berapa banyak sampah yang harus dipilah ulang oleh petugas piket? Tentu orang lain yang terkena dampak dari perbuatan ini. Orang lain harus mengorek tempat sampah kembali untuk memilah sampah dari pribadi yang tidak bertanggung jawab ini.
Menjaga kebersihan bukan hanya tugas pengelola sampah, tetapi tanggung jawab bersama. Sebagai santri yang menuntut ilmu, kita tidak hanya diajarkan tentang kebersihan, tetapi juga bagaimana mengamalkannya. Sebab, dari setiap ilmu yang kita peroleh, kita memiliki tanggung jawab untuk menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, jangan biarkan pengetahuan hanya menjadi teori. Saatnya obah apik! Berubah membawa kepada kebaikan!
Pemenang Lomba Menulis Spesial RFM 1446 H. Kategori Artikel.
Oleh: Mukaromatul Munawaroh. Santri Pondok Pesantren An Nur Komplek Al Maghfiroh