Sarung Lebaran

Pemuda bertubuh kurus itu tampak berbinar-binar wajahnya ketika memasukkan selembar kain sarung kotak-kotak warna hijau tua ke dalam tas ranselnya. Akhirnya ia dapat mengabulkan permintaan ayahnya yang menginginkan selembar sarung buat salat Ied pada lebaran nanti. Sudah lima tahun ayahnya tidak mampu membeli kain sarung karena pekerjaan ayahnya sebagai buruh tani makin sepi. Apalagi sejak kemarau mendesis-desiskan lidahnya. Banyak tanaman tomat, jagung dan padi yang mati karena kekurangan air. Para petani juga lebih banyak memilih mengolah tanah sawahnya sendiri dari pada menggunakan tenaga buruh karena tidak bisa membayar.
Akibatnya harga beras melonjak tinggi membuat rakyat jelata negeri ini menjerit kelaparan. Bahkan harga-harga sembako juga ikutan naik membuat rakyat makin terjepit. Hari ini adalah hari terakhir ia tinggal di pondok sebab hari ini adalah hari libur setelah ujian. Dan sebentar lagi ayah dan ibunya akan datang menjemput. Lalu selama sebulan penuh ia akan libur, dan kembali setelah hari raya nanti.
Pukul delapan pagi ayah dan ibunya datang. Tidak lupa ia dan kedua orang tuanya berpamitan pada pengasuh pesantren. Lalu, dengan menaiki bus travel mereka meninggalkan pesantren menuju kampung halamannya yang berada di bawah lereng bukit. Di sepanjang perjalanan ia bercerita panjang lebar tentang pengalamannya saat tinggal di pondok. Selama tinggal di asrama, teman-temannya sangat baik.
Terkadang teman-temannya membelikan sebungkus nasi di koperasi. Kadang meminjaminya uang buat membeli kitab. Ketika selesai mengaji di kelas, ia dan teman-temannya menyapu halaman pondok hingga bersih. Kadang disuruh mengepel lantai masjid yang menjadi pusat pengajian tiap sore hingga subuh. Semua dikerjakannya dengan ikhlas karena sudah kewajiban seluruh penghuni pesantren. Jika hari Jumat dan seluruh kegiatan pondok diliburkan, ia dan teman-temannya mandi di kolam milik pesantren.
“Alhamdulillah, kami bersyukur kalau kamu betah tinggal di pondok,” kata ayahnya dengan nada bersyukur.
“Sudah berapa jus surat Al Quran yang sudah kamu hafal, Le?” tanya ibunya.
“Baru tiga juz, Bu.”
“Alhamdulillah. Tidak banyak di kampung kita orang yang sudah nyantri hafal Al Quran. Bahkan tidak sedikit orang yang ditunjuk sebagai imam musala yang tidak menghafal Al Quran. Asalkan mereka bisa membaca surat Yasin meskipun terkadang banyak yang kurang tepat bacaannya, orang-orang akan mengangkatnya menjadi pemimpin. Padahal tanggung jawabnya besar kelak di hadapan Allah. Dunia semakin mengerucut, dan banyak orang bodoh yang diangkat menjadi imam,” wajah ayahnya dirubungi mendung kesedihan.
Sejak ia lulus Madrasah Ibtidaiyah oleh kedua orang tuanya ia dikirim ke pesantren. Sebab selain karena kondisi ekonomi keluarganya ngap-ngap macam ikan kehabisan napas, kondisi keimanan di kampung halamannya tak kalah memprihatinkan. Bahkan di mana pun terjadi. Banyak orang-orang yang sama sekali tidak mengerti agama dengan benar diangkat menjadi pemimpin di musala. Dan tujuan kedua orang tuanya
adalah agar ia menjadi anak yang dibekali dengan ilmu agama dan kelak bisa memimpin orang-orang di kampungnya.
“Liburan pondok sampai kapan?” tanya ayahnya. “Sampai selesai lebaran.”
“Ya sudah kalau begitu.”
***
Sementara itu, masih di dalam kamar asrama, seorang pemuda bertubuh agak gemuk dan tampan rupanya, sedang membongkar lemari lokernya hingga membuat kamar tersebut seperti kapal pecah. Semua telah dicarinya. Semua tempat telah disisirnya. Tapi semuanya nihil. Ia tidak menemukan barangnya yang hilang. Teman-temannya tidak ada yang tahu. Semuanya menggelengkan kepala. Ia bingung setengah mati. Jika barang itu tidak dapat ditemukannya, maka ia akan menjadi sasaran kemarahan ayahnya. Kenapa? Sebab harga barang itu hampir sejuta.
“Dua hari yang lalu aku masih menjemurnya di belakang asrama,” kata pemuda itu. “Dan saat aku mandi sarung itu masih lembab. Dan aku berencana akan mengangkatnya setelah selesai pengajian di kelas. Tapi, saat aku turun dari kelas, sarung itu sudah tidak ada di tali jemuran. Aku berharap menemukannya di selokan, tapi tidak kutemukan. Ada sih sarung yang terjatuh dan berkubang lumpur, tapi bukan sarung yang sedang kucari.”
Lalu, tampak tiga orang santri yang masih belum dijemput oleh orang tuanya menampakkan batang hidungnya dengan wajah kecewa. Mereka datang dari mencari selembar kain sarung di seluruh are pondok. Mereka melemparkan tubuhnya di lantai kamar asrama.
“Bagaimana?” tanya pemuda yang kehilangan sarungnya itu.
“Tidak ada. Sudah kami cari tapi nihil,” jawab salah satu dari mereka.
Wajah pemuda itu menjadi pucat pasi. Ia sama sekali tidak membayangkan bagaimana nanti wajah berang ayahnya ketika mengetahui kalau sarung hadiahnya hilang. Ia sendiri juga merasa marah dan kecewa melihat kenyataan kalau sarung dimintanya raib dicuri orang. Padahal ia sangat menginginkan sarung mahal itu. Ia sangat ingin memilikinya. Dan ia ingat betul saat pertama kali ia melihat sarung yang dipakai oleh sosok ulama kondang yang lagi viral di Youtube. Ia yakin kalau di pondok tidak ada satu pun temannya yang memiliki sarung tersebut karena memang selain rata-rata kondisi ekonomi santri yang pas-pasan, harga sarung tersebut hampir sejuta. Untuk memenuhi kebutuhan hidup santri sehari-hari saja orang tua jarang sekali datang, apalagi mau membelikan sarung mahal. Selama ini kebutuhan hidup sehari-hari ditanggung oleh pengasuh. Orang tua hanya cukup membayar iuran per bulan, dan itu pun tidak mahal amat.
“Memangnya harga sarung itu berapa sih, Rul, sampai kamu merasa sangat kehilangan begitu?” tanya salah satu dari mereka.
“Hampir sejutaan.”
“Hah? Harga sarung sampai segitu?”
“Kenapa kamu tidak membeli sarung dengan harga yang murah saja?”
“Aku memang ingin memilikinya saat pertama kali melihatnya dipakai oleh seorang ulama yang lagi viral di Youtube. Pas waktu kedua orang tuaku berangkat umrah, aku nitip untuk dibelikan sarung itu. Sarung mahal itu hanya dijual di Arab Saudi,” pemuda itu menjelaskan.
“Kira-kira, menurutmu siapa maling yang telah mencuri sarung tersebut?” “Aku tidak tahu.”
“Kayaknya hanya ada satu orang yang selama ini mengintai sarung milikmu.” “Siapa menurut kamu?”
***
Suara takbir menggema di seantero kampung. Wajah-wajah bahagia terlihat di mana- mana. Kue-kue lebaran sudah ditata rapi dalam setoples. Ruang tamu sudah kinclong. Meja-meja terbungkus taplak. Anak-anak berlarian sambil bermain kembang api. Mereka tampak gembira mendengar suara bedug bertalu-talu. Suara sound system saling berlomba-lomba. Pada malam itu, pemuda tersebut mengeluarkan bungkusan dari lemari pakaiannya. Ia menggenggam sarungitu dengan wajah bahagia. Malam ini ia akan menyerahkan sarung tersebut kepada ayahnya.
Ayahnya yang ketika itu sedang menyetrika baju koko dan sarung lama di ruang tengah dihampirinya. Ia duduk di sebelah ayahnya yang begitu telaten menyetrika pakaian.
“Ini, Pak.” Ia menyerahkan sarung tersebut kepada ayahnya. “Pakailah sarung ini.
Simpan saja sarung yang lama di lemari.”
Ayahnya menghentikan pekerjaannya sejenak. Kedua matanya melihat sarung tersebut dengan kagum. Lantas diterimanya sarung hijau tua kotak-kotak itu dengan mata berkaca-kaca.
“Dari mana kau dapatkan sarung ini, Nak?” tanya ayahnya. “Harga sarung ini harganya hampir sejuta. Orang miskin seperti kita mana mungkin mampu membelinya. Jangankan membeli sehelai sarung, membeli sekilo beras saja kita harus menunggu besok.”
Ibunya yang muncul dari dapur dengan membawa segelas kopi untuk suaminya juga tercengang melihat sarung mahal itu.
“Bagus sekali sarungnya, Pak? Siapa yang beli?”
Ayahnya menatap ke arah anaknya.
“Dapat dari mana kamu sarung ini, Nak?”
Bukannya menjawab pertanyaan ayahnya, justru anaknya itu menangis. Apakah ia harus jujur kepada ayahnya dari manakah sarung mahal itu ia dapatkan? Semua ini ia lakukan untuk menyenangkan hati orang tuanya. Sebab selama lima tahun ini ayahnya tidak pernah berganti sarung. Setiap pergi Jumatan atau salat Ied, sarung dipakai ayahnya adalah sarung yang warnanya sama. Sehingga tidak sedikit jemaah yang hadir membicarakan sarung tersebut. Apakah sehelai sarung patut dipertanyakan jika sedang menghadap Allah? Apakah Allah menilai salat seseorang dari bagus dan tidaknya sarung yang dipakai? Apakah jika sedang salat harus berpakaian mahal dan bagus? Manusia itu
kadang aneh, karena yang mereka nilai adalah pakaiannya bukan isi salatnya. Semua ibadah diukur dari duniawi.
“Selama ini, aku menulis artikel dan dikirim ke koran, Pak. Lalu, uang dari hasil tulisanku, dititipkan kepada Pak Kiai. Pak Kiai pernah bertanya, kenapa uang itu tidak aku gunakan saja untuk kebutuhan sehari-hari selama di pondok, tapi aku jawab kalau uang itu akan kugunakan untuk membelikan sarung untuk Bapak. Mendengar jawabanku, Pak Kiai pun berinisiatif untuk menambah uang itu jika ada kekurangan,” jawab pemuda itu menjelaskan sehingga membuat air mata kedua orang tuanya jatuh di pipi.
Malam itu, kebahagiaan menyusup masuk ke relung hati orang-orang miskin. Mereka bangga terhadap anak mereka yang tulus menyenangkan hati kedua orang tuanya. Dan keesokan harinya, ayahnya berangkat ke masjid dengan mengenakan sarung hadiah dari anaknya. Orang-orang pun kembali membicarakan sarung yang ia kenakan. Namun kaliini bukan karena sarung itu sudah usang melainkan karena harganya yang mahal. Manusia memang serbasalah. Di mana pun bahkan di masjid pun mereka tetap saling menggunjing sesamanya. []
Probolinggo, Maret 2024
Khairul A. El Maliky
Novelis
Bukunya yang telah terbit berjudul Akad: Sebuah Novel Penyentuh Jiwa (MNCPublishing
Malang, 2024). Pemeran Kedua dan Kalam Kalam Cinta
(Proses terbit).