Surat Kehilangan
Ning Kecil…
Aku masih ingat tujuh hari lalu, langit pagi Bantul terlihat begitu cerah. Matahari dengan gagah menampakkan sinarnya. Angin pagi berhembus begitu segar. Kukira hari itu akan indah dan baik-baik saja. Namun pagi itu, ketika mendengar kabar ibumu pergi menuju keabadian, entah kenapa langit yang cerah terasa gelap, angin sejuk serasa berhenti, matahari seperti hilang dari langit. Dan tentu saja, hati kami begitu ngilu dan terasa sakit.
Kematian memang hal paling lumrah di dunia ini, kita semua juga akan mengalaminya, kok. Namun tak akan ada seorang pun yang siap menerimanya. Apalagi orang yang ditinggalkan.
Kau tahu, Ning, ketika seorang anak kehilangan orang tuanya, sejatinya ia sedang kehilangan masa lalunya. Namun ketika orang tua kehilangan anaknya, sejatinya ia sedang kehilangan masa depannya. Jika seorang anak kehilangan orang tuanya, ia akan mendapat sebutan yatim dan piatu, namun kau tahu, tak ada sebutan untuk seseorang yang kehilangan anaknya karena begitu pedih dan menyakitkan.
Maka, di pemakaman lalu, saat memakamkan ibumu, lalu kakek dan nenekmu mendekat di pusara ibumu, aku tak berani mendekat. Aku tak kuat jika menyaksikan langsung kesedihan kakek dan nenekmu. Aku tak bisa menyaksikan air mata mereka jatuh begitu deras. Karena bagi kami, beliau adalah guru sekaligus orang tua kami. Dan Kesedihannya adalah kesedihan kami juga.
Ning Kecil…
Setelah 3 hari kepergian ibumu, kami mencoba menuntaskan kesedihan, kami pikir kesedihan harus diselesaikan karena ada dirimu, Ning. Kami berharap akan ada sosok pengganti ibumu.
Seperti namamu Syafa yang artinya obat, dirimu adalah obat kesedihan bagi kami, dan orang-orang yang ditinggalkan ibumu. Namun sepertinya benar kata Dilan, rindu itu berat. Dirimu memang lebih rindu ibumu, ya? Yah, bagaimana lagi, padahal kita semua belum sempat berkenalan.
Ning Kecil..
Hari ketika aku menulis dan mengunjungimu adalah hari ke 4 dan ke 7 di mana dirimu dan ibumu berpulang. Kini, bunga-bunga di pusara ibumu dan dirimu mulai layu dan kering. Tanahnya mulai mengeras. Nisanmu kini mulai berdebu.Tak apa, itu hanya penampakan luar. Sekarang mungkin dirimu sedang bersenang-senang di tempat yang selalu kami sebut dalam doa kami untukmu, Raudhah Min Riyadhil Jinan.
Taman yang mungkin banyak sekali bunga berwana-warni cantik dan harum, lalu di dekatnya ada danau dengan air yang jernih dan segar. Aku membayangkannya seperti Danau Pukaki di New Zealand. Danau yang merupakan danau gletser dari pegunungan Alpen yang terkenal dengan air yang berwarna biru susu, dengan latar belakang Mount Cook yang bersalju. Dan mungkin langitnya begitu berwarna-warni seperti aurora di Alaska. Ah, pasti indah sekali, ya.
Ning Kecil…
Kau tahu, Ning, malam saat acara tahlilan memperingati tujuh hari kepergian ibumu dan dirimu, Pondok Pesantren An Nur begitu ramai sekali oleh tamu-tamu yang mendoakanmu. Parkiran depan pondok yang kami namai Sanchiro itu tidak cukup untuk parkir kendaraan. Orang-orang yang tidak kebagian tempat rela duduk di pinggir jalan untuk mengikuti acara itu. Iya, artinya banyak sekali orang yang sayang denganmu.
Bahkan kemarin, ketika aku membagikan sedikit cerita tentangmu, banyak orang yang tidak kenal denganmu ikut bersedih, turut merasa kehilangan dan mendoakanmu. Padahal mereka tidak kenal siapa dirimu dan siapa ibumu. Ajaib sekali bukan? Ya, itulah kekuatan cinta.
Cinta memang bisa tumbuh di mana saja, kapan saja dan kepada siapa saja. Bahkan kepada orang yang tak kenal dan tak pernah sekalipun kita berjumpa dengannya.
Ning Kecil…
Kepergianmu memang membuat luka yang begitu dalam. Membuat banyak orang-orang terpuruk. Tapi kemarin kulihat orang-orang yang paling kehilanganmu (kakek, nenek dan ayahmu) kini sudah lebih baik meski masih banyak kesedihan yang harus dituntaskan. Mungkin beliau-beliau sedang menata dan menguatkan hati agar lebih kuat menjalani hari-hari berat tanpa ibumu dan dirimu.
Mau tak mau kami semua memang harus menguatkan hati kami. Kesedihan memang harus segera dituntaskan.Toh, kelak kita semua juga akan menyusulmu dan berjumpa kembali. Kita semua juga akan sampai pada titik jenuh dan kembali kepada-Nya adalah yang terbaik.
Kita akan tetap berjumpa di ruang kerinduan. Doa kami akan selalu ada untukmu.
Sugeng tindak Ning Kecil dan ibunya, mugi Husnul Khotimah lan mugi keluargi diparingi kesehatan, kekuatan, ketabahan, dan keikhlasan.
Salam dari kami,
orang-orang yang menyayangimu.
Dua kali membaca ini, nangis bombay…
Alfatihah untuk kedua almarhumah….
Dua kali membaca , dua kali pula menangis bombay , pedih… 😭
Semoga Husnul khatimah
Nibg qori , Ning syafa… doa kami untuk panjenengan berdua-
Matir swunkang, sudah menyuguhkan tulisan yang apik iki, Terus berkarya kang, lanjutkan!