Tadabbur Kisah Nabi Musa
Al-Qur’an ibarat sebuah manual book bagi kehidupan. Segalanya termaktub rapi, baik secara global maupun terperinci. Seorang muslim yang baik hendaknya tidak pernah lepas setiap detiknya dari Al-Qur’an, baik dengan membacanya, memahami, mentadabburi, sekaligus mengamalkannya.
Tulisan ini sedikit akan mengajak kita untuk mentadabburi tentang kisah Nabi Musa yang disebutkan dalam Al-Qur’an. Sebagaimana diketahui bahwa Allah mengkhabarkan kisah umat-umat terdahulu dalam Al-Qur’an antara lain sebagai ibrah bagi umat Nabi Muhammad untuk kebaikan dunia akhirat.
Dalam surah Al-Kahfi ayat 77 Allah SWT berfirman:
فَانْطَلَقَا حَتَّىٰ إِذَا أَتَيَا أَهْلَ قَرْيَةٍ اسْتَطْعَمَا أَهْلَهَا فَأَبَوْا أَنْ يُضَيِّفُوهُمَا فَوَجَدَا فِيهَا جِدَارًا يُرِيدُ أَنْ يَنْقَضَّ فَأَقَامَهُ ۖ قَالَ لَوْ شِئْتَ لَاتَّخَذْتَ عَلَيْهِ أَجْرًا
“Maka keduanya berjalan; hingga tatkala keduanya sampai kepada penduduk suatu negeri, mereka minta dijamu kepada penduduk negeri itu, tetapi penduduk negeri itu tidak mau menjamu mereka, kemudian keduanya mendapatkan dalam negeri itu dinding rumah yang hampir roboh, Maka Khidhr menegakkan dinding itu. Musa berkata: “Jikalau kamu mau, niscaya kamu mengambil upah untuk itu”.
Dalam perjalanan Nabi Musa -yang diperintahkan Allah untuk mempelajari ilmu dari Nabi Khidir-, banyak hal yang didapati oleh beliau dari gurunya tersebut. Sebuah perjalanan yang mengajarkan pada Nabi Musa bahwa ketinggian ilmu yang dimilikinya bukanlah puncak, namun masih ada yang lebih tinggi lagi.
Nabi Musa berada pada puncak tertinggi tahapan syariat, namun pada kenyataannya ada ilmu hakikat yang kedudukannya lebih tinggi sebagaimana yang dianugerahkan Allah kepada Nabi Khidir AS.
Dalam perjalanan spiritual tersebut, Allah memerintahkan Nabi Musa dan Nabi Khidir untuk menegakkan kembali bangunan yang hampir roboh. Secara nalar logis, Nabi Musa pun menolak. Apa perlunya?
Pun mereka yang posisinya kelaparan, dan penduduk desa itu tidak ada yang mau memberi bantuan makanan. Bangunan tersebut juga apalah fungsinya diperbaiki. Terlebih, pastinya juga tidak akan mendapatkan upah dari pekerjaan berat itu. Pada intinya secara dzahir tidak tampak ada kemanfaatan sedikitpun bagi keduanya.
Namun mari kita cermati penjelasan Nabi Khidir pada ayat 82 berikut:
وَأَمَّا الْجِدَارُ فَكَانَ لِغُلَامَيْنِ يَتِيمَيْنِ فِي الْمَدِينَةِ وَكَانَ تَحْتَهُ كَنْزٌ لَهُمَا وَكَانَ أَبُوهُمَا صَالِحًا فَأَرَادَ رَبُّكَ أَنْ يَبْلُغَا أَشُدَّهُمَا وَيَسْتَخْرِجَا كَنْزَهُمَا رَحْمَةً مِنْ رَبِّكَ ۚ وَمَا فَعَلْتُهُ عَنْ أَمْرِي ۚ ذَٰلِكَ تَأْوِيلُ مَا لَمْ تَسْطِعْ عَلَيْهِ صَبْرًا
“Adapun dinding rumah adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang ayahnya adalah seorang yang saleh, maka Tuhanmu menghendaki agar supaya mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu; dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri. Demikian itu adalah tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya”.
Nabi Khidir menjelaskan dari sisi hakikat; Bahwa rumah yang baru saja beliau tegakkan lagi itu adalah warisan milik dua orang anak yatim, dimana di dalamnya terpendam harta benda warisan orangtua mereka. Kelak ketika mereka berdua telah dewasa akan sangat bermanfaat guna kelangsungan kehidupan mereka.
Lalu pertanyaannya, mengapa Allah berkehendak untuk menjaga harta yang tersimpan dalam rumah yang hampir roboh itu?
Allah menegaskan dalam pernyataan-Nya
وكان أبوهما صالحا
Bahwa dahulu ayah mereka adalah seorang yang sholih semasa hidupnya, sehingga dengan itu Allah menjamin kesejahteraan materi untuk anak-anaknya, bahkan hingga sekalipun sang ayah tidak mendampingi mereka, Allah telah memastikan dan menjanjikan untuk masa depan keduanya.
Sedikit catatan dari penulis, bahwa memang keshalihan itu bukanlah berasal dari faktor genetik yang bisa diturunkan, layaknya warna kulit, warna mata, bentuk hidung, dan sebagainya. Namun keshalihan itu punya atsar pengaruh yang besar, bahkan Nabi Muhammad SAW sendiri menegaskan dalam pernyataannya,
أنا بدعوة أبي إبراهيم
“aku (menjadi seperti ini) adalah sebab do’a dari ayahku, Nabi Ibrahim”
Memang kita tidak meragukan bahwa kerasulan dan keterpilihan Nabi Muhammad sebagai kekasih Allah dengan derajat tertinggi dibanding seluruh makhluk adalah ketetapan mutlak Allah sejak zaman azali. Namun dengan kerendahan hati beliau, dalam pernyatannya bahwa semua pencapaian Nabi Muhammad yang fenomenal sepanjang zaman tersebut adalah berkat dari do’a- do’a yang senantiasa dipanjatkan oleh ayah sekaligus kakek moyangnya, Nabi Ibrahim AS, yang mendapat gelar “ayah para Nabi”.
Maka dari itu, mari senantiasa berusaha menshalihkan diri. Semoga segala upaya kita untuk menjadi pribadi yang sholih di hadapan Allah (dan makhluk) bisa tergapai, seberapapun kadarnya.
Terlebih semoga atsar kebaikan dan kemanfaatannya juga sampai kepada siapapun di sekeliling kita, -tentu juga- kepada orang-orang yang kelak nama mereka disandarkan pada kita.
*Khusnia Nurdaniati
Alumni PP. An Nur