The Umbrella
Sore itu, hujan mengguyur kota Tokyo dengan derasnya. Para siswa Tokyo International School pulang dengan payung yang mengamankan mereka dari air hujan. Namun tidak dengan Haruto, siswa pindahan itu memilih berdiam di sana lebih lama. Menunggu jemputan orang tuanya yang mustahil datang. Mereka sudah pasti sibuk dengan pekerjaannya masing-masing.
Rasa dingin menjalari tubuh Haruto yang tidak menggunakan jas almamater sekolahnya di hari pertama ia pindah. Duduk di tangga dengan kepala masuk di antara kedua pahanya, Haruto berkali-kali meniup telapak tangannya agar tak mati rasa oleh dingin. Sampai akhirnya Haruto menghentikan kegiatannya setelah seseorang bertanya,
“Apa kau butuh bantuan?”
Seseorang di depannya membungkuk menawarkan payung. Orang itu memakai rok di atas lutut dengan stocking hitam membungkus kaki jenjangnya. Tak seperti siswi lainnya yang hanya memakai kaos kaki selutut dan memawerkan paha mereka. Siswi ini berbeda.
Haruto mengangkat kepalanya demi melihat wajah si pemilik suara. Matanya jatuh pada senyum manis perempuan di depannya. Tiga detik, sebelum perempuan itu melambaikan tangan di depan wajah Haruto.
“Apa kau butuh bantuan?”
Sekali lagi pertanyaan tersebut keluar dari bibir mungil perempuan di hadapannya, tak sadar kepala Haruto mengangguk pelan.
“Pakailah!”
Perempuan itu menyodorkan payung yang tadi ditawarkan. “Aku membawa jas hujan di dalam tas. Tak usah sungkan, pakailah! Desak perempuan itu dengan smirk yang susah diartikan.
Perempuan itu kini telah siap dengan jas hujannya. Kakinya melangkah pada genangan air di jalan depan sekolah mereka.
“Sayonara, Haruto-kun.” Bukannya mengucapkan sampai jumpa, perempuan itu malah mengucapkan selamat tinggal. Langkahnya menjauh menembus tirai hujan yang membungkus jalanan.
‘Bagaimana dia bisa tahu namaku?’
Malam seperti biasa, rumah masih sepi tanpa penghuni. Haruto menyandarkan payungnya pada dinding di samping pintu. Lalu melangkah dengan gontai di sepanjang ruangan rumahnya. Tak perlu menyalakan lampu karena rumah ini sudah dilengkapi dengan sensor gerak yang secara otomatis akan menyala. Ia rebahkan badannya pada sofa empuk di depan TV. Menarik nafas dalam-dalam lalu mengeluarkannya dengan kasar. Matanya menatap atap di atasnya gamang.
Enam belas tahun dan keadaan masih sama. Selalu saja sendiri tanpa seseorang yang berarti. Orang tuanya tak pernah memperhatikannya sejak kecil. Mereka sibuk dengan pekerjaan mereka masing-masing. Selalu saja ditinggal sendiri dengan neneknya, sebelum akhirnya orang tua itu pergi dari dunia ini untuk selamanya.
Berkali-kali ia harus pindah sekolah demi mengikuti karir orangtuanya yang punya perusahaan di mana-mana. Dan harus pindah rumah dari satu kota ke kota lainnya. Rasa-rasanya sudah terkumpul sepuluh almamater di dalam lemari. Kali ini harus berakhir di sini, pikirnya.
Tangan kanannya terangkat ke udara,ia daratkan di atas sepasang matanya. Perlahan semuanya gelap-tanpa suara.
‘Aku harap, orangtua ku akan selalu ada di sisiku.’ mohonnya dalam mimpi.
******
“Haruto-kun,”
Haruto terbangun dengan suara lembut seorang wanita. Kini di kepalanya terdapat tangan wanita itu, menyisir rambut Haruto yang berantakan karena bangun tidur. Matanya ia kerjapkan berkali-kali demi meyakinkan diri bahwa wanita di depannya adalah ibunya.
“Ohayo, Haruto-kun. Bagaimana sekolah pertamamu kemarin, my son?” Begitulah ibunya, suka mencampur-campurkan bahasa.
Haruto masih terdiam di atas sofa. Ini semua bukan mimpi. Ini kenyataan. Tangat hangat itu, benar-benar nyata. Air matanya hampir tumpah. Haruto bangkit memeluk ibunya.
“Hwa! Okaasan!.” Pelukannya mengerat. Tangisnya pecah seperti anak kecil yang tak ingin ditinggal orang tuanya sendirian.
“Daijobu desuka, my son?”ibu Haruto mengelus puncak kepala putranya lembut.
Haruto hanya menggeleng. Membenamkan kepalanya pada bahu wanita dipelukannya, dalam dan lebih dalam lagi.
‘Ibu tak akan kemana-mana my son,” ucap ibunya,seolah-olah wanita itu dapat membaca pikiran Haruto. “Ibu akan selalu ada di sini. Mari, kita sarapan.” lanjut ibunya, seraya melepas pelukan hangatnya perlahan.
Hari ini, ibunya mengemudi mobil sendiri mengantar Haruto sampai sekolah.
“Jaa mattane!. Sampai jumpa nanti sore my son!.” Ibunya melambai dari bangku kemudi.
“Haai!.” jawabnya dari kejauhan.
Ketika Haruto berbalik, dirinya dibuat kaget dengan perempuan yang memberinya payung kemarin. Bersandar pada gerbang sekolahnya. Ia kembali. Bukankah dia mengucapkan selamat tinggal?.
“Bagaimana perasaanmu, apa kau bahagia?. Apa kau suka?”
Alis Haruto bertaut satu sama lain.
“Doui koto desuka?”
“Payung itu, akan mengabulkan permohonan terdalammu.” kata perempuan itu santai sambil memandangi kukunya yang indah dicat hitam.
Haruto baru sadar, penampilan perempuan itu serba hitam. Rambut hitam sebahu yang dibirkan tergerai. Stocking hitam panjang,kuku lentik yang dicat hitam. Hampir semua pakainnya hitam. Hanya bibirnya yang dibiarkan terpoles tipis oleh lipstick merah muda. Berkesan manis namun misterius.
“bagaimana?,sepertinya memang sudah bekerja.”mata perempuan itu melirik tajam kearah Haruto. Kesannya tidak seperti kali pertama mereka bertemu. Perempuan itu,menakutkan.
“tak perlu kau jawab, aku sudah tahu dari ekspresimu.”berlalu pergi masuk gerbang. Meninggalkan banyak tanda tanya dikepala Haruto.
Kali ini sekolahnya tak seburuk hari pertama ia pindah. Beberapa teman mendekat meminta berkenalan. Beberapa orang mengajaknya ke kantin saat istirahat. Beberapa lagi melempar lelucon hingga membuat Haruto tertawa. Pelajaran demi pelajaran tak terasa telah terlewati. Satu hari pun tak terasa telah ia lalui.
Bel berbunyi tanda kegiatan sekolah telah berakhir. Haruto berjalan keluar gerbang dengan raut wajah gembira. Dan disaat yang sama perempuan itu telah menunggunya,berdiri dengan posisi yang sama seperti tadi pagi. Ada sesuatu yang harus dikatan perempuan itu pada Haruto.
“jangan terlena,atau kau akan menyesalinya.”kali ini tangannya ia tekuk didepan dada.
“nani?.”
Situasi bertambah membungungkan bagi Haruto. Apa yang sebenarnya perempuan itu maksud?.
“ini hanya mimpi. Jangan sampai kau terlena atau kau akan ma-,”
Kata-kata perempuan itu terhenti oleh teriakan seseorang dari jauh yang memanggil nma Haruto dengan lantang.
“Haruto-kun!.”
Haruto menoleh dengan antusias,ia menemukan sebuah mobil berhenti diseberang jalan ia berdiri. Didalamnya,ibunya tak sendiri. Ditemani oleh seorang pria seumuran ibunya duduk di bangku kemudi, melempar senyum hangat padanya. Itu ottosan, batinnya.
Saat ia alihkan pandangannya kembali, perempuan itu telah sirna. Tanpa angin dan tanpa suatu tanda. Ia telah hilang dari mata.
Haruto tak memikirkannya dalam-dalam. Ia memilih berlari mendekati mobilnya diseberang jalan. Lalu membuka pintu kursi penumpang dan melemparkan tasnya ke kursi mobilnya yang empuk.
“konnichiwa, my son!.” Sapa hangat ibunya.
“konnichiwa. Okaasan,ottosan.”
Haruto senang dengan perlakuan orang tuanya yang telah berubah. Sungguh-sungguh menyenangkan mempunyai ibu yang perhatian setiap hari. Inilah yang ia harapkan. Ia menikmatinya
“hari ini kita akan pergi kesuatu tempat.”
Ucapan ibunya membuat kegiatannya bermain vedeo game di ponsel terhenti. Ia letakkan ponselnya pada jog mobil disebelahnya yang kosong.
“kemana?.”
“it’s surprise my son,just wait for it.” Ibunya berbalik,mengulurkan tangannya ke kursi penumpang dibelakangnya. Membelai kepala putranya lembut.
“sebelumnya my son harus memakai penutup mata. Okey?. Sekarang berbaliklah.” Pinta ibunya.
Haruto menurut,membalikkan badannya membelakangi wanita itu. Sehelai kain hitam melingkari kepalanya. Kini tak ada cahaya yang dapat masuk kedalam indra pengelihatannya.
Bersambung…
_________________________________
Penulis: Masyithoh Azzahra