Memaknai Idul Adha
Allahu akbar…Allahu akbar…Allahu akbar…
Laa ilaaha illallahu wallahu akbar…
Allahu akbar walillahilhamd…
Gema takbir bergemuruh. Toa-toa masjid dan mushola berseru melantunkan takbir. Jalanan Bantul begitu ramai orang-orang pawai. Mobil-mobil dihiasi berbagai pernak-pernik dengan sound-sound yang tinggi berseliweran. Orang-orang menerikkan takbir bersama-sama sembari memacu kendaraannya. Itulah gambaran ramainya jalanan Bantul di malam hari raya Idul Adha.
Tak mau ketinggalan dan kalah memeriahkan hari raya dengan orang-orang berseliweran di luar sana, santri An Nur menghidupkan malam hari raya dengan takbiran diiringi musik klotekan dari ember bekas, galon, alat-alat hadroh maupun botol bekas.
Saya termangu melihat santri-santri MTs takbiran dengan alat musik seadanya di depan komplek dengan rasa gembira. Mereka melantunkan takbir lalu sebagian lainnya memukuli ember dan galon dengan semangat.
Tak terlihat sedikit pun raut kesedihan meski mungkin sebagian orang tua mereka ada yang menangis karena tak bisa berkumpul dengan anak-anak mereka.
Mak’e pernah bercerita, salah satu hal yang menyedihkan bagi orang tua saat anaknya di pesantren, adalah saat hari raya. Sebab di hari raya sanak saudara berkumpul bersama dan tentu saja berbagai cemilan maupun menu makanan berat berlimpah. Sedangkan anak-anaknya di pesantren tidak libur dan tidak bisa pulang ke rumah.
Konon, memasak daging qurban tidak sesemangat jika bersama anak-anak. Makan pun rasanya tak enak sebab teringat anak. Suasana terasa mati. Hati terasa sepi, kasihan bercampur rindu pasti menghampiri.
Meski anak-anak santri MTs itu terlihat gembira saya yakin sebenarnya mereka juga teringat hal-hal mewah seperti itu. Saya yang sudah memasuki umur seperempat abad pun kadang masih begitu. Bahkan saat menulis tulisan ini kawan saya bernama Rahman sedang sambat kepengen pulang karena dipameri foto masakan ibunya dengan berbagai menu makanan berbahan daging seperti gulai, tongseng, rendang, dan berbagai olahan daging lainnya oleh adiknya. Hahahahaha.
“Asem… aku dikirimi foto enak-enak. Dadi pengen muleh aku, Kang. Heu heu.” Katanya sembari memamerkan foto yang dikirimkan padanya kepada saya.
Salah satu hal paling manjur menghilangkan rasa kangen kampung halaman yaitu dengan berkumpul ramai-ramai. Misalnya saja mengisi malam takbiran dengan dengan klotekan. Sedangkan setelah selesai menyembelih hewan qurban pada pagi harinya, membuat acara nyate bersama. Meski rasa kangen dengan orang tua, masakan ibu, maupun kampung halaman selalu bisa saja mencari celah masuk ke relung hati paling dalam. Hehehe.
Di hari raya seperti Idul Adha ini, orangtua maupun anak yang di pesantren harus sama-sama berkorban. Mereka harus berpisah sementara demi berkumpul selamanya. Bersedih sebentar demi bahagia. Bersusah-susah demi bersenang-senang.
Sebagaimana apa yang diajarkan Nabi Ibrahim ketika diperintah berqurban menyembelih Ismail. Saya tak bisa membayangkan bagaimana pedihnya perasaan Nabi Ibrahim ketika diperintah menyembelih putranya. Mengasah pisau dengan tajam, menyuruh anaknya kesayangannya berbaring untuk diqurbankan.
Begitu pun sebaliknya, entah bagaimana perasaan Ismail saat diminta kesediaanya untuk diqurbankan oleh ayahnya atas perintah Allah Swt. Keimanan dan ketakwaan membuat mereka berhasil mengalahkan ego masing-masing demi sebuah penghambaan kepada yang Maha Esa. Sampai-sampai Nabi Ibrahim mendapat gelar Khalilullah, yang berarti kekasih Allah.
Berkorban adalah manifestasi dari cinta. Orang yang mencintai akan menjalankan apa yang diperintahkan oleh yang dicintai.
Hidup memang butuh pengorbanan demi kemaslahatan yang lebih besar. Sebagaimana guru harus berkorban untuk mendidik murid. Orang tua berkorban untuk anak. Pejabat demi rakyat. Kawan satu dengan lainnya. Saudara demi saudara lainnya. Dan begitu sebaliknya. Hidup tak akan berjalan tanpa sebuah pengorbanan. Banyak masalah yang akan muncul jika tak ada pengorbanan.
Tak ada jalan yang lancar jika tak ada pengorbanan. Tak ada pencapaian tanpa pengorbanan. Pengorbanan adalah tanda cinta. Pengorbanan adalah pembebasan ketergantungan selain kepada-Nya.
Saat seorang berani berkorban saat itulah ia telah berhasil mengalahkan keegoisan dalam diri, berhasil menyembelih ego masing-masing. Orang yang mudah berkorban sejatinya orang yang tak terikat dengan dunia. Begitu pun sebaliknya. Orang yang terikat dengan dunia akan sulit sekali berkorban.
Yang lebih terpenting, pengorbanan melatih kita terlepas dari kemelekatan. Maka sembelihlah Ismail-ismail (kemelekatan) yang ada pada diri agar terbebas dari ketergantungan selain kepada-Nya.
Saya jadi teringat quotes yang selalu berseliweran, yang selalu muncul saat hari Raya Idul Adha tanpa pernah tahu siapa penulis quotes itu yang sebenarnya.
Setiap kita adalah Ibrahim. Ibrahim punya Ismail. Isma ilmu mungkin hartamu. Ismailmu mungkin jabatanmu. Ismailmu mungkin gelarmu. Ismailmu mungkin egomu. Ismailmu mungkin sesuatu yang kau pertahankan di dunia ini.
Ibrahim tidak diperintah Allah membunuh putranya Ismail. Ibrahim hanya diperintah Allah untuk membunuh rasa kepemilikan terhadap Ismail. Karena hakikatnya semua milik Allah Swt.
Ya, sejatinya kita tak memiliki apa-apa. Bahkan diri kita bukan milik kita.
Selamat berkorban. Semoga apa pun pengorbanan kita menjadikan kita lebih dekat kepada-Nya.