Kemuliaan Bani Adam
Dan Sesungguhnya Telah kami muliakan
anak-anak Adam, kami angkut mereka di daratan dan di lautan, kami beri mereka
rezki dari yang baik-baik dan kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang
sempurna atas kebanyakan makhluk yang Telah kami ciptakan. (al-Isra’: 70).
Jaminan kemuliaan yang diperoleh Adam dan keturunannya (baca: semua manusia di
bumi) adalah konsistensi Allah yang kasih sayangnya tidak terbatas oleh apapun.
Selain itu, sebagaimana telah kita ketahui dan terjelaskan di dalam al-Qur’an
bahwa manusia pertama yang diciptakan dan diturunkan di bumi adalah Adam, dalam
bahasa al-Qur’an min nafsin wahidah (dari satu jiwa: An-Nisa’ [4]: 1),
merupakan sebuah gambaran bahwa Allah telah menciptakan manusia dengan kondisi
yang paling sempurna dari makhluk lain (at-Tin: 4), meminjam bahasa Cak Nun,
bahwa manusia adalah masterpiece-nya Allah.
Dari ayat di atas dengan kata “bani adam” secara bahasa telah memberikan
pemaknaan tentang kemuliaan manusia secara umum, global dan universal, yakni
untuk menghapus semua etnis dan identitas yang ada di bumi ini. Tidak ada etnis
paling unggul dalam persoalan ibadah, tinggal bagaimana tingkat ketakwaan
mereka (al-Hujurat: 13), dan semua manusia berhak mendapat kemuliaan dan rahmat
dari Allah swt. (QS. al-A’raf [7]: 157, al-Mu’min [40]: 7). Di samping itu
pula, salah satu keberhasilan Nabi Muhammad di Makkah adalah menghapus hegemoni
suku antara Hasyim dan Umayyah –terlepas dari pasca wafatnya nabi yang kemudian
sentrinitas kesukuan mewabah lagi di Makkah antara bani Hasyim (baca: Ali) dan
bani Umayyah (baca: Muawiyah) sehingga memunculkan perpecahan menjadi beberapa
sekte politik dalam Islam.
Kembali pada bani adam. Ada tiga hal yang perlu untuk saya sampaikan di dalam
tulisan ini. Pertama. Secara kodrati (primordial), semua manusia mempunyai hak
hidup dan mendapatkan rahmat Allah secara “setara” (equal) di dunia. Rahmat
Allah tidak membedakan antara agama, suku, bahasa, ras, dan semua identitas
yang diciptakan manusia untuk membedakan “ini dan itu”. Perlu saya tegaskan
bahwa konteks di sini adalah di dunia yang sedang kita tempati, bukan “dunia
lain.” Jadi pembedaan-pembedaan yang ditujukan kepada manusia ini bisa dilihat
dari berbagai hal seperti cara berpikir, tingkat intelektualitas, ras, suku,
dan lain sebagainya, ini pun tidak terlepas dari sosial-kultur di mana manusia
berada, jadi watak, bentuk fisik, dan karakteristik manusia dibentuk oleh
lingkungan tertentu, seperti halnya masyarakat Indonesia berbeda karakternya
dengan masyarakat di Eropa.
Kedua, tidak ada manusia yang bisa memilih di mana ia dilahirkan, lewat rahim
siapa, agama apa, kaya atau miskin, dan lain sebagainya. Semua kelahiran
manusia menurut ketentuan Allah, bukan atas dasar kemauan manusia. Sebab
demikian, ayat di atas menggunakan redaksi “bani adam” yang lebih bersifat
universal, tidak partikular yang memihak salah satu dari komunitas manusia
tertentu. Hal ini penting untuk disadari, bahwa membanggakan keturunan
merupakan sikap yang “tidak tahu malu”, apa yang perlu dibanggakan dengan
sesuatu yang tidak pernah kita sengaja untuk mendapatkannya?. Mungkin kalimat
yang pas adalah “mensyukuri”.
Ketiga, dari sisi ekonomi, ayat di atas telah memberikan gambaran bahwa fi
al-barri wa al-bahr (di darat ataupun di laut, hanya sebatas perumpamaan
kondisi) manusia tetap mendapatkan rahmat Allah berupa rejeki yang sama, sesuai
dengan kebutuhan manusia dan usahanya untuk mendapatkannya. Sebagaimana Allah
pun mengetahui tentang perbedaan-perbedaan dari usaha yang dilakukan manusia di
dalam memperoleh kelayakan hidup (al-Lail: 4). Jadi, segala kebutuhan manusia
secara umum telah dipenuhi dengan proposional oleh Allah, sekali lagi tanpa
memandang label yang disandang oleh manusia tertentu. Kalau kita menganggap
bahwa rahmat Allah berdasar pada agama islam, faktanya orang-orang non-Islam
hidup dalam kondisi ekonomi yang mapan dan sejahtera. Hal ini menunjukkan bahwa
rahmat Allah bersifat universal untuk seluruh umat manusia.
Dari ketiga poin di atas adalah dasar bagi umat Islam untuk tidak bertindak
merendahkan manusia lain, apapun identitasnya. Sebab semua umat manusia yang di
belahan bumi manapun berhak dimuliakan sebagaimana Allah sendiri telah
memuliakannya dibanding dengan makhluk lain. Lantas, apakah wajib bagi Allah
untuk memuliakan manusia?, tentu saja tidak. Sebaiknya ayat di atas tidak
dipahami secara hukum legal formal yang menunjukkan arti bias kewajiban dan
hak, bahwa Allah dituntut untuk bertanggung jawab menyucukupi kebutuhan
manusia, melainkan dipahami dengan cinta dan kasih sayang allah kepada
makhluknya. Jika dipahami seperti demikian, maka Allah adalah entitas tunggal
yang berhak berbuat apa saja atas makhluknya, demi kemaslahatan manusia
sendiri.