Mbah Yai ‘Ashim dan Ranting Pohon

Ketika kita menyandang status sebagai alumni, Mbah Yai ‘Ashim adalah sosok “akar” yang kokoh. Beliau adalah sumber kekuatan yang senantiasa memberi “nutrisi” bagi pertumbuhan pohon keilmuan dan karakter para alumninya. Pohon yang tumbuh dari akar beliau menjadi rindang, hijau, dan subur. Dari sana, muncul cabang, dahan, ranting, hingga buah yang memberi manfaat: tempat berteduh, sumber gizi, serta peneduh hati—bagi siapa pun yang ada di sekitarnya.
Sebagaimana fungsi akar, Mbah Yai ‘Ashim tidak pernah absen dalam memastikan bahwa segala yang beliau miliki, tersalurkan kepada yang membutuhkan. Entah itu daun, dahan, batang, hingga buah—semuanya mendapat asupan dari akar yang kuat itu, tanpa terkecuali. Meskipun fisiknya telah sepuh, dan kesehatannya kian menurun, semangat dan kepeduliannya tak pernah surut. Seperti ketika kita mengadakan acara Ikatan Alumni Santri An Nur (IASA) Banyumas
Bahkan Kami selalu menanyakan kabar beliau kepada Gus Adib, putra pertama beliau. “Bapak dos pundi, mas? Apa saget rawuh?” Dan jawabannya kerap menggugah hati kami: “InsyaAllah, Bapak tindak. Karena ada hal penting yang ingin dihaturkan.” Kala itu, kami sedang mengadakan konsolidasi alumni daerah untuk persiapan Silatnas. Sambil menunggu, kami memulai pertemuan dengan amaliyah muqoddaman, sembari menanti kehadiran beliau yang menempuh perjalanan kurang lebih empat jam dari Jogja ke Purwokerto untuk doa khotmil Quran
Menjelang dzuhur, kabar pun datang bahwa Mbah Yai ‘Ashim sudah mendekati lokasi. Namun, tiba-tiba beliau meminta mampir ke rumah salah satu alumni karena merasa kurang enak badan. Saat itu pula, kami teringat dengan dawuh beliau yang sangat membekas:
“Awak dewe kuwi mung pang, dadi Kudu eleng karo oyote. Seng gawe awak dewe koyo ngene iki.” (Kita itu cuma ranting pohon, jadi harus ingat sama akarnya. Yang membuat kita jadi seperti saat ini)
Pesan itu mengajarkan kepada kami, para alumni, untuk selalu terhubung dengan akar—yakni pondok, guru, dan nilai-nilai yang telah membentuk kami. Karena sejatinya, tidak akan ada cabang atau buah jika tidak ada akar yang menopang dan menyambung. Namun kini kami sadar, dawuh itu bukan hanya pengingat—melainkan juga isyarat. Bahwa akar sejati tak pernah “sambat”. Ia terus memberi, tanpa berharap terlihat. Ia kuat dalam sunyi, dan luhur dalam peran yang tersembunyi.
Akar akan selalu terpendam di dalam tanah. Semakin dalam ia menghujam, semakin besar pula kekuatan dan manfaat yang mampu ia salurkan. Demikianlah sosok Mbah Yai ‘Ashim: rendah hati, penuh kasih, dan senantiasa mengayomi. Kini, “akar” itu telah dipanggil oleh Dzat Yang Maha Hidup. Beliau telah menunaikan tugasnya.
Pohon-pohon telah tumbuh menjulang di berbagai tempat, membawa manfaat dan keteduhan di mana-mana. Mbah, njenengan kantun manen. Sugeng tindak, Mbah Yai…
Lahul Faatihah.
Karangjati. Jumat Kliwon, 10 Oktober 2025
Penulis: Ust. Arwani Soleh, Alumni Pondok Pesantren An Nur.




