Sastra

Reuni

Laki-laki itu datang ketika Isman hendak menutup pintu kantin. Apa mau dikata, laki-laki di hadapannya tampak ingin masuk. Isman pun berusaha ramah dengan mempersilakannya duduk. Meski agak canggung, sebab sepuluh menit lagi tiba waktunya adzan Zuhur. Seluruh santri di pesantren ini wajib mengikuti sholat berjama’ah.

“Tenang saja, Kang, aku cuma sebentar. Tidak sampai lima menit” ucapnya datar.

“Baik, Bapak. Ingin dibuatkan minum apa?” tanya Isman.

“Cukup air putih hangat saja” jawabnya sembari menerawang ke sekeliling ruangan kantin.

Isman bergegas menyiapkan minuman yang dipesan.

“Namamu siapa, Kang?” tanya laki-laki berkopiah hitam dan berpakaian serba putih ini.

“Isman Ismail”.

“Sudah berapa lama ngurus kantin di sini?”.

“Ya, hampir dua tahun, Pak” jawab Isman diiringi senyum ringan.

“Begini kang Isman, tolong diterima, ya” ucap laki-laki tersebut yang tiba-tiba menyodorkan lima lembar uang ratusan ribu rupiah.

Seketika Isman terperanjat. Saat akan bertanya, orang di depannya telah lebih dulu menjelaskan.

“Lima tahun yang lalu, aku juga nyantri di sini. Uang ini adalah bayaran yang dulu tertunda. Tolong diterima. Kalau ada yang bertanya, sampaikan saja sebagaimana yang kujelaskan tadi.

Allahu Akbar… Allahu Akbar…

Adzan Zuhur berkumandang. Isman menutup pintu kantin. Bersiap membersihkan diri dan kemudian menuju ke musholla bersama santri-santri yang lain.

***

Namanya Akmil. Tekadnya telah bulat untuk datang ke pesantren ini demi menuntaskan dua janjinya. Pertama, soal hutangnya di kantin. Kedua, tentang janji perjumpaan dengan sahabatnya yang lima tahun lalu harus menanggung beban akibat kenekatannya pada putri pengasuh pesantren.

Entah, dorongan kuat apa yang membuat Akmil berani merencanakan aksi tersebut. Pastinya, akal sehat telah tertekan oleh desakan rasa penasaran. Waktu itu, Akmil berhasil kabur dari masalah. Ia pergi meninggalkan pesantren. Sebelum berpisah dengan Arif, sahabatnya. Akmil berkata;

“Rif, sekarang kita harus pergi. Tapi lima tahun lagi, tepat tanggal ini (06 Juni), kita berjumpa kembali di pesantren ini. Minta maaf ke pak kiai”.

READ  The Umbrella

Kejadian lima tahun lalu, bermula dari Akmil yang memaksa Arif untuk menemaninya masuk ke rumah pengasuh.

Haah… mau apa, Mil?” tanya Arif terheran-heran.

“Kamu tau sendiri kan, betapa cintanya aku pada Ning Zulfa”.

“Ya, tau. Kalau soal itu kan bisa nulis surat, terus titipkan ke mbak Maryam.

Wah, jelas gak bisa ya, Rif. Mbak Maryam tentu nolak”.

“Dicobalah”.

“Lebih baik nggak, Rif. Kita langsung saja ketemu sama Ning Zulfa. Aku punya rencana yang sudah diperhitungkan berkali-kali. Pasti berhasil!” rayu Akmil pada Arif.

“Tolonglah, Rif. Cuma ngasih surat, terus kita balik ke kamar. Selesai. Ning Zulfa pasti nggak marah kok. Tahu sendiri kan, betapa ramahnya Ning Zulfa”.

Arif diam termangu.

Ayolah, Rif, berapa tahun kita berteman. Tolong bantulah” Akmil terus merajuk.

Sepuluh menit berikutnya.

Ayuk, Rif. Sudah aman. Pak kiai dan bu nyai sudah berangkat”

Misi pun dimulai. Waktu menunjukkan pukul 13.40 WIB. Dua santri berusia dua puluh empat tahun ini berjalan cepat menuju dapur yang letaknya di bagian belakang rumah pengasuh.

Eh, kang Arif dan kang Akmil. Kok, kelihatan terburu-buru?” tanya mbak Maryam, santri putri yang bertugas mengurus dapur.

“Iya, Mbak, betul banget. Memang sedang buru-buru. Tadi papasan sama pak kiai di jalan depan sana. Beliau bilang ada yang terlupa. Harus disampaikan langsung ke Ning Zulfa”

Mendengar penjelasan Akmil, Maryam sejenak terdiam. Ada keraguan di hatinya.

Emm, jelaskan saja ke saya, Kang, apa pesannya. Ini bisa langsung saya sampaikan ke Ning Zulfa” Maryam mencoba memberi solusi.

“Pesan pak kiai, mesti ketemu langsung sama Ning Zulfa, Mbak. Maaf, tidak boleh yang lain dengar” desak Akmil.

READ  Surat untuk Ayah yang Kurindu

Walaupun masih sangsi atas pernyataan tersebut, akhirnya Maryam pun lantas masuk menemui Ning Zulfa. Sejurus kemudian, Maryam lalu mempersilakan Akmil dan Arif untuk masuk ke ruang tamu.

“Silakan, Kang. Ning Zulfa nunggu di ruang tamu”.

Tatapan Arif tampak kosong. Akmil yang menyadari kondisi Arif, bergegas merangkul pundaknya dan mengajak ke ruang tamu.

Assalamu’alaikum” Akmil mengucap salam dengan nada sedikit bergetar.

Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakaatuh” jawab Ning Zulfa, terdengar lembut.

Akmil begitu mengagumi sosok Ning Zulfa. Usia dua puluh satu tahun. Cantik. Santun. Hafal Al-Qur’an. Hafal dua ratus hadits.

“Silakan duduk, Kang” ucap Ning Zulfa, menyadarkan Akmil dari lamunannya.

“Iya, Ning. Terima kasih” sahut Akmil yang kemudian duduk diikuti pula Arif di sebelahnya.

Detak jantung Akmil berdegup kencang. Hatinya berbunga-bunga. Ini pertama kalinya berhadapan dengan Ning Zulfa. Sebaliknya, Arif terlihat menunduk dalam. Hatinya was-was.

“Begini, Ning. Tadi kan ketemu pak kiai di jalan batas kampung. Mobil beliau berhenti pas lihat saya. Lalu memanggil saya dan berpesan untuk menyerahkan ini ke Ning Zulfa” jelas Akmil sembari menggerakkan kedua tangannya yang mengapit selembar kertas terlipat kehadapan Ning Zulfa.

Arif hanya sekilas melirik. Ia sudah paham betul isinya. Bukan pesan dari pak kiai. Namun, bait-bait puisi yang ditulis Akmil kemarin malam.

 

Teruntuk Ning Zulfa

 

Ning Zulfa…

Sungguh, hati ini kian terasa berbunga-bunga

Tatkala parasmu hadir dalam kesendirianku

Tiada gelap melanda, hanya terang yang menyapa

Demikian itu, adalah yang kurasa

 

Ning Zulfa…

Sungguh, hati ini kian bertabur asmara

Manakala suaramu membisiki keheninganku

Tiada kejenuhan menerpa, hanya kebahagiaan yang ada

Demikian itu, adalah yang kurasa

 

“Terima kasih, ya, Kang. Bisa taruh di meja” pinta Ning Zulfa.

Akmil tetap bertahan. Tangannya tidak diturunkan ke meja. Tatapannya fokus pada kedua tangan yang menjurus ke depan.

READ  Penerimaan

Ning Zulfa merasa canggung. Beberapa detik hanya memandang penuh heran. Hingga kemudian, perlahan tangan kanannya terangkat mendekati kertas yang dipegang Akmil.

“Mbak Maryaaam!!!” jerit Ning Zulfa.

Belum sempat kertas diterimanya, justru tangannya digenggam erat oleh kedua tangan Akmil. Sontak suasana menjadi ricuh. Akmil panik. Genggamannya dilepas. Ia lari mencari pintu keluar melalui dapur. Arif secepatnya mengikuti. Wajahnya pucat. Keringat dingin memenuhi sekujur tubuh. Kursi-kursi berkayu tebal tergelimpang dihantam gerakan zig-zag Akmil dan Arif.

Bersamaan dengan itu, Maryam masuk. Hampir saja kakinya tertindih kursi. Dilihatnya Akmil dan Arif berhasil kabur. Sedangkan Ning Zulfa duduk di kursi, menangis sesegukan. Kedua tangannya menutup wajah.

***

Iqomah dikumandangkan, pertanda sholat Zuhur berjama’ah segera dimulai. Seluruh santri tengah bersiap mengikuti komando imam. Akmil ikut bergabung. Dirinya berada di shof ketiga.

Allaahu Akbar

Akmil tertegun. Suara takbir ini rasanya sering ia dengar. Akmil pun mengingat-ingat. Matanya dipejamkan agar telinganya bisa kian fokus mendengar.

Allaahu Akbar

Takbir kembali terdengar. Akmil semakin jelas menerka. Ya, ia betul-betul sering mendengarnya, tapi dulu. Sudah sangat lama.

Takbir demi takbir diucapkan sang imam. Hingga akhirnya,

Assalamu’alaikum warahmatullah

Akmil tersentak. Beberapa saat usai imam mengucap salam, terasa ada yang menepuk pundaknya dengan lembut. Matanya pun terbuka. Akmil mendapati dirinya masih dalam posisi semula. Berdiri, bersiap hendak memantapkan niat untuk ikut sholat Zuhur berjama’ah.

Akmil berusaha menguatkan kesadarannya. Tampak para santri di sekelilingnya memandang penuh tanda tanya. Akmil baru menyadari bahwa hanya dirinya yang berdiri di antara ratusan santri. Ups, salah. Ternyata Akmil belum seutuhnya sadar.

Akmil tidak berdiri seorang diri. Ada satu sosok yang juga berdiri, tepat berada di sampingnya. Para santri menyebutnya Gus Arif. Seorang santri yang tiga tahun lalu menikah dengan Ning Zulfa, putri pengasuh pesantren ini.

M Taufiq

Lahir di Denpasar Bali. Pendidikan MTs hingga Perguruan Tinggi di Pondok Pesantren An-Nur. Kini bersama keluarga tinggal di Banguntapan Bantul.

Related Articles

2 Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Check Also
Close
Back to top button
WeCreativez WhatsApp Support
Tim dukungan pelayanan kami siap menjawab pertanyaan Anda. Tanyakan apa saja kepada kami!
Hai, ada yang bisa saya bantu??