Refleksi Santri untuk Mengisi Kemerdekaan Indonesia ke-80

Delapan puluh tahun kemerdekaan Indonesia bukan sekadar angka yang menandai lamanya sebuah bangsa berdiri. Delapan puluh tahun merupakan penanda perjalanan panjang perjuangan, pengorbanan, dan cita-cita luhur yang diwariskan para pendiri bangsa. Dalam sejarah tersebut, kita tidak mungkin lupa seberapa besar peran para kiai dan pesantren menjadi salah satu episode penting yang sering luput dari catatan sejarah. Pesantren, di masa kolonialisme merupakan salah satu benteng terakhir yang sulit ditembus oleh kebijakan pemerintahan kolonial saat itu. Kemandirian dan kekuatan posisi para kiai menjadikan pesantren bukan sekadar institusi pendidikan agama, melainkan pusat pergerakan, pengaderan, dan perlawanan.
Para kiai di masa perjuangan bukan hanya menjadi seorang pengajar, namun menjadi penggerak di tengah masyarakat. Para kiai membentuk kesadaran kolektif masyarakat bahwa kemerdekaan adalah hak yang harus diperjuangkan, meskipun harus dibayar dengan pengorbanan darah, air mata bahkan nyawa sekalipun. Dari pelataran serambi masjid, halaqah pengajian, hingga pada medan pertempuran, spirit perjuangan para kiai terus berkobar. Santri, sebagai murid para kiai pada masa itu terlibat langsung dalam menjaga dan mengamankan nilai-nilai ini. Maka, kemerdekaan yang kita nikmati hari ini adalah buah dari keteguhan dan keberanian yang tak gentar menghadapi kerasnya perjuangan melawan kolonoliasme yang membelenggu negara besar ini dahulu.
Kini, delapan dekade setelah proklamasi, tantangan yang dihadapi santri jauh sangat berbeda. Tidak lagi dihadapkan pada moncong senapan atau kekangan fisik kolonial, melainkan pada derasnya arus perubahan zaman, persaingan global, dan disrupsi sosial-ekonomi. Di tengah derasnya arus ini, pesantren seharusnya kembali menjadi sebuah oase penyejuk di tengah panasnya gejolak sosial, politik, dan ekonomi. Sebagaimana dulu, pesantren diharapkan tetap menjadi pusat dan kompas kebijakan moral masyarakat yang tidak mudah diintervensi oleh kepentingan pragmatis atau kekuasaan yang sempit hanya demi kepentingan segelintir kelompok tertentu.
Santri hari ini perlu memahami bahwa peran santri tidak lagi cukup berhenti pada tadarus kitab kuning atau rutinitas mengaji semata. Kemerdekaan yang diwariskan para pendahulu menuntut santri menjadi bagian aktif dalam membangun peradaban bangsa. Kesadaran ini harus tumbuh bahwa kehidupan di luar pagar pesantren adalah ruang tanggung jawab bersama dan hal yang nyata harus dihadapi ketika kelak sudah tidak berada di lingkungan pesantren lagi, berdiri ditengah masyarakat adalah medan perang yang sesungguhnya. Baik atau rusaknya sebuah lingkungan sosial dapat dipengaruhi oleh kualitas kontribusi yang diberikan oleh setiap individu, termasuk santri.
Menjadi agent of change bukanlah slogan kosong, sebuah cita-cita yang seharusnya tertanam di benak setiap santri, di manapun mereka berada. Mindset ini perlu dipupuk sejak dini, dibarengi dengan keterampilan berpikir kritis. Sebab, perubahan sosial yang berarti dan berdampak hanya bisa lahir dari individu yang memiliki visi, kapasitas, dan akhlak yang terjaga. Namun sangat disayangkan dalam konteks industri dan ekonomi modern, banyak pesantren dan komunitas santri yang masih berada di posisi sebagai pasar, bukan pelaku utama. Mereka menjadi konsumen, bukan produsen. Memang ada beberapa contoh sukses santri yang terjun sebagai pengusaha, inovator, atau pemimpin sektor strategis. Namun, secara umum, kesadaran untuk menjadi aktor kunci dalam arus ekonomi bangsa masih lemah. Ini menjadi pekerjaan rumah besar bagi dunia pesantren di seluruh penjuru Indonesia.
Jika para kiai dulu berjuang di medan perang, maka santri hari ini harus berjuang di medan kompetensi. Dunia kerja, inovasi dan teknologi, industri kreatif, hingga sektor pangan dan energi yang merupakan ladang baru yang perlu diisi dengan peran strategis kaum santri. Kemerdekaan harus dimaknai sebagai kesempatan untuk berkarya, bukan hanya sebagai kenangan sejarah yang diperingati setahun sekali dalam rangka seremonial saja. Santri perlu membekali diri dengan wawasan luas, keterampilan praktis, dan keberanian untuk berkompetisi. Mata yang harus lebih terbuka untuk melihat peluang, kepala harus lebih terisi dengan pengetahuan dan cakrawala wawasan yang luas, dan hati harus lebih teguh dalam menjaga akhlak sebagai seorang santri. Kemerdekaan sejati adalah kebebasan yang diiringi tanggung jawab, dan tanggung jawab itu hanya bisa dijalankan oleh mereka yang siap secara moral, intelektual, dan mental.
Memasuki usia ke-80 kemerdekaan, bangsa ini membutuhkan energi baru. Energi itu tidak hanya datang dari kalangan birokrat, pengusaha, atau akademisi, tetapi juga dari dunia pesantren. Santri yang melek zaman, peka terhadap isu-isu sosial, dan mampu menghadirkan solusi nyata akan menjadi modal berharga bagi keberlanjutan bangsa. Refleksi ini mengingatkan bahwa kemerdekaan bukanlah garis akhir, melainkan awal dari perjalanan panjang membangun negeri. Para santri harus meneladani semangat para kiai pendahulu yang tidak sekadar mengajarkan ilmu, tetapi juga memimpin perubahan, melanjutkan estafet perwujudan visi dan cita-cita besarnya. Dengan berangkat dari niat yang ikhlas, memiliki wawasan yang luas, dan tekad diri yang kuat, santri dapat menjadi aktor penting dalam mengisi kemerdekaan Indonesia menuju Indonesia emas yang digadang-gadang oleh pemerintah, itu semua dimulai dari kesadaran hari ini bahwa “kemerdekaan adalah amanah, bukan sekadar anugerah”.
Penulis: Ahmad Tijani




