Sastra

Di  atas Sajadah yang Terbentang

Airmatanya yang sering tertumpah deras sudah habis rasanya, yang tersisa hanya sebuah kesedihan dan rasa kesal yang bergumpal-gumpal di dalam hati yang membara. Terkadang emosinya yang meluap-luap tak bisa ia kontrol, sampai-sampai ia tega memukul anak nakal itu menggunakan kayu. Pernah juga ia menggunakan alat yang lain. 

Ia memperlakukan Dep kasar,kulit anak itu memar. Ia menyesal mendidik anaknya dengan kekerasan setelah melakukannya berkali-kali dengan kelembutan hati yang tak pernah berhasil. Ia tak tahu apa lagi yang harus ia lakukan untuk perubahan anaknya. Kelakuan Depyang tidak terdidik tak pernah bergeser dari tempatnya. Itulah yang membuat pecah kepala ibunya yang lelah. Dep tetap konsisten dengan kelakuannya yang buruk. 

Hampir semua bentuk kejatahan dilakukan anak itu. Mencuri ayam, mengintip perempuan di sungai, maling buah-buhan di kebun orang, mengambil barang-barang masjid dan menjualnya untuk dibelikan rokok, mencuri ikan di kolam. Ia pernah dibawa ayah dan ibunya kepada orang pintar di kampung itu. Orang pintar itu mengambil segelas air putih bercampur susu. Setelah meletaknya di atas lantai, bibirnya komat-kamit membacakan mantra, dan ia menyuruh Dep meminumnya sedikit-sedikitsesampai nanti di rumah. 

“Semoga anakmu bisa berubah, kelakuannya yang hitam jadi putih seputih air susu itu.”           

 “Tidak akan pernah terjadi. Mau saja bapak dibilang orang pintar, padahal cuma kegilaan yang bapak miliki.” Dep langsung memotong pembicaraan itu lantang, sebelum omongan orang pintar yang menurutnya ngaur itu berkelana ke mana-mana, sampai mengelabui orang-orang yang hadir. Lalu ia berdiri dari tempat duduknya sebuah kursi terbuat dari rotan, dan ia pergi dengan wajah kemarahan, membuat malu kedua orang tuanya.

                                                                     * * *

Bu Nur dengan suaminya duduk berdua. Mereka saling tukar pendapat untuk kebaikan Dep, anak laki-laki mereka.

     ”Apa tidak sebaiknya anak kita disekolahkan saja ke pesantren? Diakan anak paling bodoh di antara anak-anak kitasayang.” Saran suaminya tidak diterima Bu Nur yang terus menggeleng-gelengkan kepala. 

Baginya pesantren itu tempat yang angker dan sistem belajarnya pasti secara tradisional, tidak mengikuti zaman. Belum lagi tempat tinggalnya yang berukuran kecil. Pokoknya dalam bayangannya, pesantren itu selainmonoton, kolot dan kotor juga kampungan. Apalagi setelah ia mengingat tetangganya ada yang menyekolahkan anaknya ke pesantren. Tinggal di pondok kecil yang mererka sebut istana suci tanpa permaisuri. Setelah anak itu lulus malah tidak jadi apa-apa, termasuk ustaz kampung. 

    “Mama tidak setuju Pa. Kalau ia masuk pesantren nanti, pasti ia tidak bisa Bahasa Ingris. Di pesantrenkan tidak boleh belajar Bahasa Ingris, haram kata mereka, karena itu bahasa orang kafir. Saya pernah dapat informasi seperti itu. Di sana hanya fokusbelajar agama.” kata Bu Nur sambil mengerjapkan matanya sesaat.

READ  Surat untuk Ibu yang Telah Berlabuh Terlebih Dahulu

Pikirannya yang menggerutu terus berjalan sampai mentok. Ia belum dapat solusi yang baik. Isi kepalanya benar-benar buntu. Ia tak tahu kesalahan besar apa yang ia lakukan pada Tuhan, sehingga setiap ia berdoa untuk perubahan anaknya yang berkulit putih dan berbadan tinggi itu, tidak pernah diindahkan Tuhan. Dep berbeda dengan dua orang kakanya. Anak pertama Bu Nur perempuan. Sudah selesai kuliah di Jerman, dan sudah dapat pekerjaan di sana dengan suaminya. Anaknya yang kedua Adreza dapat beasiswa di salah satu Universitas negeri di Jogja. 

Selama sekolah ia selalu dapat juara kelas. Sementara Dep yang masih duduk di bangku kelas 3 SMP. Jangankan juara kelas, malah ia dapat nomor terakhir, dan pernah tidak naik kelas. Kepala Bu Nur sudah pecah berkali-kali memikirkan itu semua. Dan setelah Dep tamat SMP nanti ia tidak mau kalau sampai Dep sekolah di tempat yang salah. Mengenai pendapat suaminya dimasukkan ke pesantren bukan keputusan yang bijak menurut Bu Nur. 

    “Bapak masih ingat anaknya Pak Johan lulusan pesantren itu, tidak bisa apa-apa. Hanya jadi petani kecil.” Mulut suaminya terkunci, dan ia merasa sarannya benar-benar ditolak mentah-mentah oleh istrinya.

Suasana hening, beberapa menit kemudian pelan-pelan suami Bu Nur angkat suara lagi bermaksud membantah pernyataan sang istri.

   “Itu kan anaknya Pak Johan Bu. Di luar sana banyak lulusan pesantren yang berhasil. Ada yang jadi tentara, seniman, polisi, anggota DPR, dan lain-lain.” 

“Emang ada Pa, lulusan peantren jadi pejabat?”

“Bukan hanya ada, tapi banyak Bu,” istrinya masih dalam keadaan ragu.

   “Setahuku pesantren itu pondoknya kecil dan jorok, terus makan tidak teratur. Materinya agama melulu. Sukur-sukur bisa lancar Bahasa Arab. Setelah lulus pun paling-paling jadi ustaz kampung,” ia mengingat wajah seseorang yang pernah bercerita tentang pesantren.

     “Tidak semengerikan itu pondok pesantren Bu. Banyak lulusan pondok pesantren selain bisa berbahasa Arab bisa Bahasa Ingris. Apalagi sekarang, pondok pesantren semakin modern. Baik dari segi tempat tinggalnya, sistem belajarnya dan lain-lain.” Bu Nur berpikir sesaat. Ia benar-benar bingung apa lagi yang harus ia lakukan, pikirannya semakin gelap.  

                                                                        * * *

    Malam itu Dep duduk bersama perempuan pujaan hatinya di belakang gedung perwiritan. Suara seorang yang lagi pidato meraung-raung, dengan semangat yang berapi-api. Ia perhatikan perempuan itu, asyik menyaksikan pemidato tanpa kedip, sampai ia turun dari podium. Dep mengerti apa yang ada dalam pikiran perempuan itu, terbit perasaan kagum. Ia pasti bisa seperti orang yang baru turun dari podium itu. Ia ingin dikagumi Damay Arrahmah, satu-satunya perempuan yang mampu menyentuh hatinya yang tulus.

READ  Negeri Surga

      “Apa yang ada dalam pikiranmu Damay?”

     “Aku membayangkan sesuatu Dep,” sepertinya berat perempuan itu melanjutkan pernyataannya. Dep masih menunggu, tapi tak ada lanjutannya.

    “Membayangkan apa? Kau ingin seperti pemidato itu?” Depterus merong-rongnya. Perempuan itu menggeleng. 

    “Terus.” 

    “Aku membayangkan, suatu saat nanti suamiku seorang ustaz Dep, atau sebutlah seorang dai seperti pemidato itu,” Damay mengungkapkan kejujurannya di depan lelaki itu yang membuatnya berdebar.

Dep tak menyangka, diusia mereka yang masih muda, Damay punya pikiran sejauh itu. Pikiran Dep yang bergairah harus bisa melakukan sesuatu demi perempuan berambut ikal itu. Sesampai di rumah, Dep terus terang pada kedua orang tuanya meminta agar ia di sekolahkan ke pesantrentempat pemidato itu sekolah. Mendengar itu ayahnya tersenyum lebar, dan menjadikan jantung ibunya berdebar-debar. 

    “Kenapa harus ke pesantren Nak? Pesantren itu sekolah tradisional, hanya fokus belajar ilmu agama. Setelah lulus pun belum tentu bisa baca kitab yang tak dibubuhkan barisnya itu.” 

     Dep tak menggubris pernyataan sang Ibu. Hatinya berbunyi, aku ingin jadi seorang dai. Aku ingin Damay terkagum-kagum padaku. Suatu saat nanti aku ingin memilikinya untukku seorang.  

   “Itu pemahaman yang keliru Bu. Kita harus berhati-hati memilih pesantren itu perlu. Tapi kalau pesantren diidentikkan dengan tradisional, adalah opini yang jahat dan salah,” Dep dapat pembelaan dari ayahnya. 

    “Aku masuk pesantren kerena ingin jadi seorang dai. Atau pemidato kondang di atas mimbar nanti. Dan yang lebih penting dari itu, biar aku jadi anak saleh dan bisa mendoakan Bapak dan Ibu setelah mengkedipkan mata terakhir nanti.” kata Dep. 

Perkataan itu membuat kedua orang tua itu merunduk bercampur kaget, dan ibunya merenung sejenak. Ahkhirnya suami istri itu berunding, sampai dapat keputusan bulat. Keputusan itulah yang mengantarkan Dep ke pondok pesantren, masuk tingkat MA. 

                                                                       * * *

Selama dua tahun Dep sekolah di pondok ia merasakan kesejukan. Walaupun ia melihat ada perkelahian, itu biasa karena terjadi juga di sekolah lain. Murid juga dihukum tegas karena terlambat, dan dijemur di bawah teriknya mentari karena bersembunyi di asrama waktu jadwal sekolah. Tapi ada satu hal yang ia temukan di pesantren itu, begitu bernilai di matanya.

Senakal apapun santri, ia tetap hormat pada gurunya, tidak melawan, walaupun orangnya kritis. Ia juga menemukan kesalahan persepsi yang pernah diungkapkan ibunya tentang pesantren, mengenai santri yang buta ilmu umum. Selain Menguasai Bahasa Arab, santri juga banyak yang menguasai Bahasa Ingris. Begitu pula banyak yang ahli dibidang ilmu umum lainnya, seperti Matematika. Dan waktu belajar Kimia, sering melakukan praktek di ruangan khusus, menggunakan peralatan lengkap yang disediakan sekolah. 

READ  Pendosa Mendamba Malam Mulia

Bahkan panggung seni untuk santri membaca puisi dan bermain teater juga kegiatan seni lainnya ada, lengkap dengan fasilitasnya seperti lampu dan kursi. Para santri juga punya literasi yang aktif.

Ketika Dep pulang kampung, ia jauh berubah dan sudah bisamenyenangkan hati kedua orang tuanya. Sering ia disuruh tampil pidato ke depan. Ibunya yang melihat terharu, dan meneteskan airmata bahagia. Kenapa tidak dari dulu Dep dimasukkan ke pesantren, pekiknya di dalam hati yang terus bersujud. Ayahnya juga sungguh merasa bahagia. 

Sementara Dep yang sudah meraih mimpinya jadi seorang dai kecil, walaupun secercah kebahagiaan terbit dari jiwanya, tapi ia tetap sedih karena penampilannya yang luar biasa tidak lagi dapat ditonton perempuan pujaan hatinya yang sudah meninggal kurang lebih setahun yang lalu. Walaupun tidak ada setitik air matanya jatuh di depan keramaian karena ia hanya menangis dalam kesepian, tapi hatinya yang tersayat terus merintih.

    “Seandainya kamu masih hidup Damay Arrahmah. Setelah lulus dari pesantren, saya siap mengkhitbahmu. Jika kamu belum setuju karena terlalu cepat, pasti saya melanjutkan kuliah dulu ke Yaman, Maroko, atau ke Mesir. Setelah itu kita jadi sepasang kekasih yang halal, hidup bersama dalam atap yang putih mencari ridho Tuhan menyongsong hari esok,” kata Dep bicara pada diri sendiri. 

Ia mengadu pada Tuhan di atas sajadah yang terbentang agar mereka dipertemukan pada kehidupan yang kedua dengan perempuan berdarah Aceh itu.       

 

Penulis:

Depri Ajopan, S.S.  

Lulusan Pesantren Musthafawiah Purba-Baru, Mandailing Natal, Sumatera Utara. Menyelesaikan S-1 Prodi Sastra Indonesia di UNP. Sudah menulis beberapa karya fiksi dan sudah diterbitkan. Novel barunya Pengakuan Seorang Novelis,segera terbit. Cerpennya pernah terpilih terbaik 1 di Pustaka Metari. Cerpennya yang lain telah dimuat di beberapa media cetak dan online seperti, Koran Tempo, Singgalang, Riau Pos, Jawa Pos Radar Banyuwangi, Koran Merapi, Pontianak Post, Kedaulatan Rakyat, Suara Merdeka, Sinar Indonesia Baru, Jawa Pos Radar Lawu, Lensasastra.id, Langgampustaka.com, tatkala.co, Kurungbuka.com, Labrak.co, LP Maarif NU Jateng, Harian Bhirawa, ayobandung.com, Mbludus.com, g-news.id, Literasi Kalbar.com, Radar Madura.id, marewai.com, Jawa Pos Radar Bojonegoro, Radar Utara, Bali Politika, Waspada dll. Penulis anggota Komunitas Suku Seni Riau mengambil bidang sastra. Sekarang mengajar di Pesantren Basma Darul Ilmi Wassaadah Kepenuhan Barat  Mulya Rokan Hulu-Riau, sebagai guru Bahasa Indonesia.

Hp/Wa: 082391499398

 

annurngrukem

Admin website. Pengurus Pondok Pesantren An Nur. Departemen Multimedia Bidang Informasi dan Teknologi.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Check Also
Close
Back to top button
WeCreativez WhatsApp Support
Tim dukungan pelayanan kami siap menjawab pertanyaan Anda. Tanyakan apa saja kepada kami!
Hai, ada yang bisa saya bantu??