Esai

Jejak Keteladanan KH. Ashim Nawawi

Bapak KH. Ashim Nawawi dikenal sebagai kyai yang rendah hati, sederhana, dan dekat dengan santri dan alumninya. Beliau bukan hanya seorang pengajar ilmu agama, tetapi juga teladan hidup bagi kami.

Istiqomah yang Tak Kenal Lelah

Kriiiiing!!… kring!!… kring!!

Setelah setengah jam menunggu, bel tiga kali berbunyi. Tanda mengaji malam sehabis Isya yang diampu oleh Bapak KH. Ashim Nawawi libur.

Anak-anak bersorak kecil, wajah mereka berbinar. Santri-santri putra bergegas naik ke kamar masing-masing, sedangkan santri putri bergeggas keluar menuju kompleknya.

“Eh, libur po?” tanya saya pada Kang Manan, yang bertugas memencet bel.

“Inpo valid A1, Bos! Libur. Bapak tindaan,” jawabnya sambil tersenyum.

Anak-anak pun bersorak kecil. Santri putra segera naik ke kamar masing-masing, sementara santri putri bergegas menuju kompleknya. Saya sendiri melangkah menuju Poskestren untuk mengambil obat.

Namun langkah saya terhenti di gerbang pondok putri. Dari kejauhan, tampak sosok Bapak KH. Ashim berjalan pelan membawa kitabnya. Wajah beliau tampak lelah, tapi langkahnya tetap teguh menuju mushola putra.

Saya segera menghampiri dan bersalaman.

“Opo cah-cah wes do bali?” tanya beliau pelan.

“Njih, sampun, Bapak. Ngapunten sanget, wau sanjange Bapak tindaan.”

“Iyo iki nembe bali. Owalah, sesok ki aku lungo, niatku arep ngaji malah wes do bali,” ujar beliau, ada nada kecewa yang lembut.

Saya menawarkan untuk memanggil santri-santri kembali, namun beliau tidak mau dan memilih pulang.

Begitulah Bapak KH. Ashim Nawawi, bahkan di tengah letih dan perjalanan jauh, semangatnya untuk mengajar tak pernah padam.

Lelah yang Tak Menghalangi Langkah

Setiap malam selepas Isya, beliau mengampu pengajian bagi santri pelajar kelas akhir di mushola. Hampir tak pernah terlambat jika tak ada halangan. Sering kali justru beliau datang lebih dulu dari para santrinya.

READ  Apa yang Harus Kita Lakukan Setelah Ramadhan?

Sambil menunggu, beliau biasa duduk di kamar pengurus harian. Kami bergantian menemani kadang hanya diam di sampingnya, kadang memijat, kadang bercanda ringan.

Pernah suatu malam beliau datang dengan wajah yang benar-benar letih.

“Aku njaluk tolong dipijeti,” kata beliau.

Kebetulan hanya saya yang ada di kamar saat itu. Beliau berbaring, dan saya mulai memijat. Tak lama, beliau sudah tertidur. Sekitar sepuluh menit kemudian beliau terbangun lagi.

“Cah-cah wes teko urung?”

“Sampun, Bapak.”

Beliau menghela napas, “Aku ki jane kesel banget.”

Namun begitu tahu santri-santrinya sudah datang, beliau bangun, merapikan sarungnya, mengambil kitab, lalu melangkah menuju mushola. Lelahnya tak pernah mengalahkan istiqomahnya.

Rendah Hati dalam Hal-hal Kecil

Beberapa waktu lalu, Gus Agus Rumaizijat bercerita bahwa KH. Ashim Nawawi dikenal sebagai sosok yang tawadhu dan haus ilmu.

Sebelum berangkat umroh, beliau bahkan meminta Gus Rum menuliskan manasik umroh dalam bahasa Arab agar bisa digunakan untuk mengajar.

Beliau juga kerap datang sendiri ke rumah Gus Rum untuk bertanya tentang hukum atau syarah Hikam. Padahal Gus Rum sudah menawari untuk sowan, tapi beliau menolak.

Kerendahan hati itu juga tampak dalam keseharian. Beliau sering datang ke kantor pengurus harian untuk membayar tagihan listrik atau telepon. Padahal pengurus sudah menawarkan diri untuk sowan mengambil uangnya, tapi beliau menolak.

Bahkan untuk urusan kecil, beliau tak ingin merepotkan orang lain.

Sosok yang Mengayomi Alumni

Di Minggu pagi atau siang, beliau sering terlihat berjalan menuju TPQ. Di sana, beliau menemui salah satu pengurus untuk menyalin kitab Hikam yang telah dimaknai. Beliau membacakan satu per satu, sementara santri yang mendampingi beliau menulis perlahan.

READ  2021 VS 2022: Tahun Baru, Perubahan atau Pembubrahan?

“Tak salinke kitab, ben alumni ki kepenak le ngaji. Ora ndadak gowo kitab. Ora ndadak maknani,” tutur beliau.

Kitab yang telah disalin dalam lembaran, akan beliau serahkan ke alumni untuk difoto copy dan dibagikan saat pengajian alumni.

Padatnya jadwal beliau tak mengurangi keinginan beliau untuk selalu datang di acara alumni. Pernah suatu ketika beliau menyampaikan ke saya betapa banyaknya kegiatan keluar beliau hari itu. Mulai pagi hingga malam.

“Isuk iki aku kondangan. Sore tekan wengi ki aku ono acara. Dzuhur iki alumnian. Kesel jane, tapi mosok ora mangkat.” tutur beliau.

Beliau juga sering berpesan agar alumni untuk selalu dekat dengan gurunya. Paling tidak, bisa selalu hadir di acara alumnian. Agar hubungan antara murid dan guru tidak terputus.

Suka Memotivasi Santrinya

Suatu ketika, Madrasah Diniyah sedang kekurangan guru karena banyak yang boyong. Pengurus pun mencari guru pengganti untuk mengisi kekosongan. Namun banyak santri putra dan putri merasa tidak percaya diri untuk mengajar, merasa belum cukup alim.

Seolah mengetahui keresahan itu, dalam suatu pengajian beliau menasehati kami agar kami berani untuk terus belajar.

“Ojo wedi mulang. Mulang ki diniati mutholaah. Aku ya mbien ora paham. Tapi mergo mulang dadi gelem mutholaah sitik-sitik dadi paham. Nek bingung, takon aku. Nek ora wani, ya takon seng luwih ngerti.” tutur beliau.

Beliau juga berpesan saat sudah menjadi guru untuk selalu mendampingi murid-murid baik dhohir maupun batin.

“Guru kui yo mulang dhohir lan batine murid. Nek bar subuh, murid kui di fatihahi. Harus ada hubungan batiniyah yang menyebabkan sukses e murid. Santri-santri wes tenanan, sek ngajar yo kudu tenanan.”

READ  Lupa: Beban atau Anugerah?

Santai, Dekat, dan Apa Adanya

Setiap pagi, Bapak KH. Ashim selalu tampak berjalan santai mengelilingi kompleks pesantren. Langkahnya pelan, penuh ketenangan.

Kadang menuju rusunnawa, kadang ke dapur ndalem, kadang pula mampir ke pondok putra pusat hanya untuk membaca koran.

Yang menarik, beliau selalu tampak sederhana. Biasanya mengenakan baju koko dengan kancing bagian atas dibiarkan terbuka, membuat beliau terlihat santai dan apa adanya.

Sering kali beliau datang bertepatan ketika kami hendak sarapan.

“Lagi do ngopo?” tanya beliau dengan senyum.

“Hehehehe, ajeng sarapan,” jawab kami.

“Yo diteruske sarapane, kok. Santri saiki kepenak, isuk-isuk wes iso sarapan, ora rekoso,” kata beliau sembari tertawa kecil.

Kadang beliau masuk ke kantor ketika kami masih tidur, lalu keluar lagi karena tak ingin membuat kami terbangun.

Tak jarang pula beliau duduk di emperan, berbincang santai dengan santrinya.

Dalam momen seperti itu, tak terasa ada jarak. Kami seolah sedang mengobrol dengan seorang bapak, sahabat, sekaligus seorang guru.

Kini beliau telah tiada, tapi keteladanannya tak pernah pergi. Beliau mengajarkan, bahwa kemuliaan sejati bukan terletak pada gelar atau kedudukan, tetapi pada kerendahan hati untuk terus belajar dan menebar kasih.

Dan dalam kepergiannya, kami belajar arti kehilangan yang justru menumbuhkan cinta yang tak habis-habisnya.

Muhammad Ulinnuha

Santri Pondok Pesantren An Nur Bantul. Hobi membaca, menulis, dan menyapu halaman.

Related Articles

One Comment

  1. MasyaAllah, sangat terharu bacanya walaupun belum pernah bertemu langsung, tapi kisah dan keselamatan nya sangat terasa, semoga anaku bisa meniru beliau rendah hati dan senang sekali belajar. Aamiin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button
WeCreativez WhatsApp Support
Tim dukungan pelayanan kami siap menjawab pertanyaan Anda. Tanyakan apa saja kepada kami!
Hai, ada yang bisa saya bantu??