Sepotong Kenangan KH. Ashim Nawawi di Hati Santri 1

Tentang KH. Ashim Nawawi
KH. Ashim Nawawi adalah guru dan kiai yang sangat dekat di hati para santri. Dari dulu, kemarin, atau hari ini, sepertinya memang tak akan pernah usai cerita tentang kebaikan beliau. Tentang ketawadhuan, kerendahan hati, semangat belajar sekaligus mengajar, dan tentang wujud dari kata neriman.
Keteladanan itu tampak jelas dalam keseharian beliau. Seperti yang setiap hari kita lihat, dengan gigih dan semangatnya Bapak KH. Ashim mengajar diniyah dan wethonan. Bahkan dulu, di tahun 2017, beliau masih kerso naik ke lantai tiga aula putra-putri.
Kesederhanaan dan keistiqamahan Bapak juga tampak dari cara beliau berpakaian. Meski beliau beliau seorang kiai besar, beliau tidak ingin bermacam-macam. Hampir setiap hari beliau hanya mengenakan baju putih atau biru bersih dengan peci putihnya.
Ketelatenan beliau dalam membimbing para santri, dengan semangat mengaji kitab, seolah merupakan hadiah yang diberikan Gusti Pangeran. Hingga di usia senjanya, beliau masih diberi penglihatan yang baik tanpa kacamata.
Berbicara tentang keikhlasan beliau dalam membimbing santri, saya pernah tidak sengaja membaca sebuah catatan di buku yang tertinggal di koridor pusat putri. Isinya adalah kalimat ngendikan dari Bapak Ashim.
“Nek sampean dadi guru, ojo diniati gawe pinter muridé. Mengko nek muridmu ora pinter, sampean gaweané mung nesu wae.”
(Kalau kamu menjadi guru, jangan pernah berniat menjadikan muridmu pintar. Karena kalau muridmu gagal pintar, kamu hanya akan dipenuhi kemarahan setiap hari.)
Begitulah kiranya keikhlasan beliau dalam mendedikasikan seluruh hidupnya untuk dunia pendidikan. Seperti halnya kalimat, “Orang terhormat tidak akan pernah meminta untuk dihormati.”
Bapak Ashim adalah sosok yang tidak hanya terhormat, tapi juga membawa barokah bagi para santrinya. Saat beliau mengajar kelas diniyah saya dan teman-teman biasa menyediakan air putih untuk beliau.
Setelah pelajaran selesai dan Bapak meninggalkan kelas, kami sering berebut meminum air putih sisa beliau. Wallahua’lam, bagi pembaca boleh percaya atau tidak, tapi bagi kami, itu adalah bentuk barokah.
Berbicara tentang kebaikan Bapak Ashim memang seolah tak ada habisnya. Tentang kerendahan hatinya, saya masih ingat sekali saat beliau masih mengajar mata pelajaran Aswaja di Madrasah Aliyah.
Suatu ketika, beliau melewati lobi Aliyah yang sedang dipel oleh OB. OB itu berkata, “Heh, Mbah, awas, lagi dipel!”
Beliau hanya diam, bergeser pelan ke sisi lain, lalu melanjutkan jalan. Kami, para murid sekaligus santrinya, yang menyaksikan itu merasa tidak terima guru kami diperlakukan seperti itu, sampai akhirnya kami melapor kepada para guru.
Tentang KH. Ashim Nawawi, cerita-cerita tadi jelas hanya sebagian kecil dari kebaikan beliau, yang kebetulan terlihat dan ternilai oleh orang lain. Saya yakin masih banyak kebaikan lain yang mungkin tak terlihat, tapi pasti ternilai oleh Allah.
Untuk KH. Ashim Nawawi, Al-Fatihah
Penulis: Safira Komplek Al Khodijah
Catatan lebaran Idul Fitri 2025 di pondok
Lebaran Idul Fitri 2025 menjadi momen pertama kali kami lebaran di pondok. Di hari ke-2 lebaran, kami berkunjung kepada seluruh dzuriyyah.
Sekitar pukul 11.30, kami sowan ke rumah Bapak KH. Ashim Nawawi. Alhamdulillah, saat kami datang belum ada tamu lain, sehingga suasananya tenang dan membuat kami lebih leluasa.
Kebetulan Bapak KH. Ashim Nawawi sudah berada di ruang tamu. Saat itu kami tidak berani matur kepada dzuriyyah putra, jadi kami hanya masuk sedikit di pinggir ndalem.
Sebelum kami masuk, Bapak KH. Ashim sudah tersenyum lebar dan melambaikan tangan ke arah kami.
Ternyata bagian ruang tamu yang kami tempati adalah ruang untuk tamu putra.
“Rene-rene, geser sebelah kene, jero rapopo,” tutur beliau sembari tersenyum.
Kami pun memberanikan diri untuk masuk dan matur kepada beliau. Setelah kami menyampaikan maksud silaturahmi, Bapak Yai Ashim menjawab dengan penuh perhatian dan turut mendoakan kami. Kami sangat senang karena bisa sowan tanpa bersamaan dengan tamu lain. Setelah itu beliau ngendikan bahwa Ibu Nyai sedang istirahat.
“Ibu nembe istirahat sayahh,” ucap beliau sambil tersenyum hangat.
Kami terdiam sejenak, lalu beliau kembali bertanya dengan ramah.
“Iki seko wetan yo? Sing bodo ning pondok enek piro?”
Sekitar sepuluh menit kemudian, rombongan tamu lain mulai berdatangan. Kami pun berpamitan dengan hormat.
“Ngapunten Bapak, kulo sak rencang ngalap cekap, badhe pamit wangsul nerasaken lampah.”
“Lho, selak arep muleh. Rono maem o bakso sek, ngicipi enak,” tutur beliau sambil tersenyum.
Kami pun ikut tersenyum.
“Maturnuwun sanget, Bapak, sampun,” lalu kami melanjutkan perjalanan.
Dari pertemuan itu kami belajar banyak hal. Sosok yang memang patut diteladani. Beliau begitu ramah, murah senyum, dan sangat memuliakan tamu. Semua dijamu dengan baik tanpa pandang bulu, termasuk kami yang hanya santrinya.
Penulis: Aal dan Inay




