Sepotong Kenangan KH. Ashim Nawawi di Hati Santri 2

Kenangan Bersama KH. Ashim Nawawi
Pertama kali saya menjadi santri di Ngrukem, orang pertama yang saya sowani adalah beliau, KH. Ashim Nawawi. Saat itu, beliau menjamu kami dengan suatu hidangan yang sangat berkesan bagi saya. Jarang ada kiai yang memperlakukan tamunya dengan begitu hangat seperti beliau.
Beliau adalah sosok yang tawadhu‘, istiqamah, dan penuh kasih.
Saya teringat ketika mengaji kitab As-Sanusiyyah, saya pernah datang terlambat ke kelas. Namun, beliau tidak marah sedikit pun. Beliau tetap melanjutkan pengajian dengan tenang.
Meski sudah sepuh dan suaranya mulai lemah, setiap penjelasan beliau selalu menyentuh hati dan mudah kami pahami. Ada satu kebiasaan khas beliau yang selalu saya ingat di sela-sela memaknai kitab, beliau sering mengucap “Ya Allah…Ya Allah…Ya Allah…”
Setelah empat tahun mukim di Ngrukem, pada tahun 2019 saya memutuskan untuk boyong karena ditimbali orang tua untuk mengajar di pesantren. Sebelum pulang, saya dan keluarga sowan untuk terakhir kalinya kepada Mbah Kiai Ashim. Saat itu beliau memberikan sebuah pesan kepada saya.
“Sing mempeng yo, le! Saya bangga dan senang kalau ada santri Ngrukem boyong lalu mengajar dan nasrul ‘ilm di rumahnya.” Tutur beliau.
Subuh hari Selasa, 7 Oktober 2025, ketika saya sedang mengajar, tiba-tiba langit yang semula biru tua berubah menjadi kuning semu dalam hitungan detik. Angin bertiup kencang, lalu turun hujan deras hanya beberapa saat saja.
Melihat itu, saya merasakan sesuatu yang ganjil, perasaan tidak enak, seolah ada kabar duka yang akan datang.
Tak lama kemudian, kabar itu benar-benar tiba dari PP. An Nur Ngrukem, bahwa Sang Guru tercinta telah berpulang.
Inna lillāhi wa inna ilaihi rāji‘ūn. Selamat jalan, KH. Ashim Nawawi. Intaqala ilā rafīqil a‘lā, fī maq‘adi ṣidqin ‘inda malīkin muqtadir.
Penulis: R. Muhamad Farhal Azkiya, Alumni Pondok Pesantren An Nur.
Kisah dari Para Santri
Pak Yai ‘Ashim bin KH. Nawawi Abdul Aziz adalah teladan. Salah satunya, beliau tidak banyak bicara. Dulu, saat saya membenahi perpustakaan Madin Al-Furqon pada akhir tahun 1992, atau ketika saya menjadi Sekretaris Pondok, sering kali beliau tiba-tiba datang dan membuka-buka buku atau kitab saya. Tidak ada kata, tidak ada tanya. Beliau hanya datang dan menghampiri.
Bisa jadi, itu cara beliau menularkan keberkahan kepada santri.
Beliau aktif mengajar dan tidak pernah marah-marah, selalu tawadhu‘. Hidup beliau hanya untuk mengajar.
Terakhir, saat Haul Mbah Yai dan Harlah Pondok ke-50 dua bulan lalu, beliau berpesan:
“Kalau tidak ngaji ya mulang, kalau tidak mulang ya ngaji.”
Itulah saat terakhir kami berpelukan…
Penulis: Dr. H. M. Mashadi, M.Ag (Alumni Tahfidz angkatan ke-8, 1993 – Blitar)
Menanam dengan Shalawat
Suatu ketika, saya pernah diutus menanam dua batang bunga pucuk merah. Saya merasa sudah berusaha sebaik mungkin, tapi salah satu bunganya mati. Saat itu Bapak melihat dan berkata lembut,
“Besok kalau mau menanam apa pun, bacalah shalawat dulu, ya.”
Penulis: Mukhtar, Alumni Pondok Pesantren An Nur.




