Kesendirian
Oleh: Al Faqiroh Nay
“Siapa namamu?” Tiba-tiba seorang gadis bermata lentik menyapaku yang sedang duduk di depan kantor pengurus. Ia duduk disampingku. Dari wajah dan cara bicaranya, aku tahu dia adalah anak yang ceria, sangat berbeda denganku.
“May…” Aku menjawab pelan.
Ia mengernyit heran, “May, May saja?” Aku mengangguk. Ah, sudah kuduga pasti dia tidak percaya, mana ada nama sesingkat itu.
Aku mengamati bangunan berlantai dua yang ada di depanku. Mbak Eka bilang bangunan ini namanya pesantren, tempat orang-orang mencari ilmu dan mengaji.
“May, mulai hari ini kamu belajar mengaji di sini ya… nanti kalau sudah selesai mengaji, Mas Seto akan menjemputmu, kamu mau kan?” Aku mengangguk.
“Kamu akan memiliki teman baru di sini, lihatlah banyak anak seumuranmu juga. Kamu bisa mengajak mereka bermain bersama, kamu senang, May?” Aku mengangguk-kan kepala sekali lagi. Mbak Eka tersenyum kecil, mengusap kepalaku yang dibaluti jilbab, pelan.
Namaku May, aku tidak tahu apakah aku perlu memperkenalkan namaku dalam cerita ini, tapi aku sudah telanjur ingin menyebutkan namaku. Ya… inilah aku, May si pendiam. Aku tak suka banyak cakap, hanya senang mengamati dan menulis, inilah duniaku. Dunia pribadi yang tidak boleh disentuh oleh siapa pun. Cukup aku dan pastinya Yang Maha Kuasa yang tahu.
“Siapa namamu?” Tiba-tiba seorang gadis bermata lentik menyapaku yang sedang duduk di depan kantor pengurus. Ia duduk disampingku. Dari wajah dan cara bicaranya, aku tahu dia adalah anak yang ceria, sangat berbeda denganku.
“May…” Aku menjawab pelan.
Ia mengernyit heran, “May, May saja?” Aku mengangguk. Ah, sudah kuduga pasti dia tidak percaya, mana ada nama sesingkat itu.
“Waah… Aku tahu, kamu pasti lahir bulan Mei. Tanggal berapa?, ini kan sudah bulan Mei, nanti aku kasih kado deh…”
Aku tersenyum, menggeleng. Sekali lagi dia mengernyitkan dahi, heran. Kerutan-kerutan di dahinya terlihat jelas sekali.
“Aku tidak tahu…”
“Masa?! Ulang tahunmu? kapan ulang tahunmu, kapan kamu merayakan hari lahirmu, hari saat kamu dilahirkan ke dunia ini, May? kapan!?.”
Aku menunduk, apa itu hari lahir, apa itu ulang tahun? Aku benar-benar tak tahu. Aku tidak pernah merayakannya. seperti bisa membaca pikiranku, dia berkata pelan,
“Tidak apa, May… jika kau tak tahu hari lahirmu, ini bukan masalah besar, kan?? Kamu tidak mungkin dipenjara hanya gara-gara kamu tidak tahu hari lahirmu. Iya, kan?”
Dia tertawa, “Mulai hari ini kita berteman, ya? Perkenalkan, aku Sabrina Najah. Panggil aja, Nana…” Ucapnya, sembari mengulurkan tangan bersahabat.
“Ayo… apa kamu tidak mau berteman denganku? Lanjutnya, saat aku tidak membalas uluran tangannya. Beberapa saat kemudian aku mengulurkan tangan dengan ragu, dan dia tersenyum.
“Kamu tahu, apa itu teman, May? Ini, seperti ini May…” Dia mengaitkan jari kelingking kanan dan kirinya, rapat.
“Kamu yakin kan, persahabatan kita bisa seperti ini? Aku mengangguk.
Tepat seminggu sejak aku diantar Mbak Eka untuk belajar mengaji di pondok. Seperti hari-hari kemarin, hari ini aku juga ditemani oleh Nana. Sesuai dugaanku, dia anak yang ceria, banyak yang dia ceritakan kepadaku, cerita tentang kehidupannya, tentang teman-temannya. Sedangkan aku, tetap seperti dulu, lebih suka mendengar dia bercerita daripada aku yang bercerita. Lagi pula, apa yang hendak aku ceritakan ke dia, kehidupanku tidak ada yang menarik sama sekali.
“Kamu kelihatan bersedih, May… ada apa?” Dia menatapku. Ah, dia benar-benar memahamiku, entah kenapa aku merasa dia bisa membaca pikiranku. Mungkin karena saat dia bertanya (karena aku memang tidak akan bertanya ke dia), sedang aku selalu menjawab dengan senyum atau anggukan (tanpa ada satu suara pun yang keluar) dia pasti langsung berkata dengan perkataan yang tepat dan bisa menentramkan hatiku. Contohnya saja seperti sore ini, saat dia bertanya kenapa aku bersedih dan aku hanya menjawab dengan anggukan kepala, dia tersenyum berkata pelan, “Kenapa May, apa kamu belum bisa lancar dalam mengaji? Apa kamu masih terus bertanya-tanya mengapa kamu tidak bisa seperti mereka; belajar, bermain dengan keceriaan…?”
Hening sesaat, aku mendengar helaan nafasnya pelan. Kami sama-sama memandang santri-santri seumuranku yang sedang bermain petak umpet di halaman pondok. Ah, betapa cerianya mereka, rasanya begitu bebas, mereka bermain… senang sekali.
“Tak usah bersedih May, tak usah bersedih saat kau merasa tak bisa mengaji. Asal kau punya tekad kuat, asal kau berusaha, asal kau yakin bisa, kau pasti akan bisa May…” Ia menatap langit
“Janji kemudahan itu pasti akan datang untukmu. Bukankah Allah begitu indah mengukir kalimat-kalimat itu dalam kalam-Nya, setelah kesulitan pasti ada kemudahan… itu janji-Nya, May. Jadi, mana mungkin Allah mengingkari janji-Nya sendiri, bahkan aku sudah sering sekali mengukir kalimat ini dalam tulisanku. Sering… sering sekali. Kamu tahu kan, kalau aku juga suka menulis sepertimu, menulis semua yang aku rasakan.”
Aku terdiam, mencoba memahami perkataannya sedikit demi sedikit. Janji itu… ya, janji itu pasti akan datang. Bukankah Mbak Eka sering menceritakannya ke aku.
Kemana perginya Nana? Sudah dua hari, sejak dia bicara tentang janji kemudahan itu, dia tidak pernah menemaniku lagi. Apa dia izin pulang, atau jangan-jangan dia tidak mau berteman denganku lagi. Ada apa ini? Kenapa Nana tidak menemuiku? Mataku mengamati satu-persatu komplek yang ada di pondok ini, mungkin saja aku bisa menemukan sosok Nana, tapi nihil. Hingga aku dijemput Mas Seto, saat jam menunjukkan pukul 21.00 WIB, Nana tidak juga menemuiku. Apa Nana sudah tidak mau berteman denganku?.
Tiga hari sejak dia berbicara tentang janji kemudahan itu, maka aku putuskan untuk bertanya pada Mbak Pengurus. Dan ternyata, bukan jawaban tentang kemana perginya Nana yang kuterima, tapi jawaban yang justru membuatku tercengang.
“Tidak ada, May… Tidak ada santri yang namanya Sabrina Najah di pondok ini. Kamu hanya berhalusinasi. Akhir-akhir ini, kami perhatikan kamu suka mengangguk, menggelengkan kepala, atau tersenyum sendiri, seperti ada yang mengajakmu bicara.”
“Tidak, aku tidak mungkin salah.” Aku berlari keluar kantor. Bagaimana mungkin aku dibilang berhalusinasi. Nana benar-benar nyata. Dia menghiburku dan menye-mangatiku. Dia datang menemaniku, kenapa ini malah dibilang berhalusinasi.
Sebulan sejak Nana tidak pernah muncul.
Aku pikir semua orang iri melihat keakrabanku dengan Nana, hingga mereka tega menyuruh Nana pulang. Ah, Nana. Nana, gadis bermata lentik. Nana yang ceria, selalu tersenyum dan suka bercerita, kini tidak pernah menemuiku lagi.
Sejak itu, aku semakin asyik dengan duniaku sendiri, mengamati para santri dan kemudian menulisnya, sesekali mereka –para santri- tersenyum simpul kepadaku dan menyapa. Mereka sudah terbiasa melihat kesendirianku, yang berdiri dan termenung di bingkai pintu kantor.
Tiba-tiba, saat aku menunggu dimulainya kegiatan mengaji, terdengarlah bisikan halus; Inilah duniaku, dunia kesendiriannku.
Spesial; teruntuk gadis yang selalu termenung di depan kantor. Sebenarnya, apa yang kau pikirkan, kawan??.
An Nur, 03 Mei 2011