Tanggal; Akhir dari Kaki yang Tertinggal
Aufa Amza
Matahari masih sepenggalan saat Dilla memasuki kawasan kumuh, tak jauh dari pusat keramaian Kota Kembang. Sesungguhnya ini kawasan Cicaheum, tepatnya berada di belakang deretan gedung-gedung pertokoan.
Gang Senggol, ya!
Ia menyusuri gang sempit itu seolah-olah
sudah sangat sering melakoninya. Padahal baru kali ini ia berjalan seorang
diri, tanpa Apow dan gengnya. Aura kumuh segera menampar penciumannya.
Pemandangan awal hari yang hiruk-pikuk dengan suara anak-anak, jerit tangis
bayi, perempuan-perempuan asyik bergunjing, seruan para pengasong yang berebut
menjajakan dagangannya.
Seketika ada yang menggigit-gigit halus jauh di lubuk hatinya. Ia menyadari kesalahan yang telah dilakukannya. Membalas kejahatan dengan kejahatan, wuaduh, jelas itu salah besar!
“Kenapa aku gak bisa mengendalikan diri, ya? Kok seperti anak kecil saja! Aku ini kan sudah duapuluh tiga, dewasa. Wuaduh, Nini pasti marah,” sesalnya.
Tiga bulan dirinya berhasil menghindarinya, tapi sekarang, betul-betul payah!
Gemas, kakinya menghajar kaleng bekas minuman. Praaang!
Seorang laki-laki paro baya yang sedang nongkrong sambil menghisap rokoknya, kontan berteriak lantang.
“Sembarangan saja! Hampir kenapa kepalaku!”
“Waduh, punteeeeeen, Maaaang!” seru Dilla terlonjak kaget, ngeri sendiri, membayangkan dirinya mendadak dikeroyok massa.
Dilla tergesa-gesa menghindari tempat itu, sementara pikirannya jejeg mengambil sikap.
“Nanti aku harus berani mampir menanyakan keadaan anak itu. Kalau perlu aku akan mengobatinya. Yeah, sekalipun untuk itu aku harus menelan segala ejekan dan penghinaan mereka lagi,” gumamnya pasrah, tapi, setidaknya telah membuat hatinya agak lega.
Ia melanjutkan langkahnya sambil mencari-cari bayangan Apow dan ketiga kawannya. Pos ronda kosong, hanya koran-koran bekas ditiduri berserak, terlewat oleh pemulung agaknya.
Beberapa menit menanti bosan juga rasanya. Ia pun memutuskan bangkit dan melanjutkan perjalanan. Keberadaan gadis berpenampilan serba ringkas, kemeja panjang, kotak-kotak, celana gunung berwarna coklat pupus dengan pet anehnya, nyaris luput dari perhatian warga. Mereka terlalu sibuk dengan urusannya masing-masing, demi mendapatkn sesuap nasi dan secuil harapan mengawali hari.
Dan di tempat ini, siapa yang pernah mengenalinya dalam kolom gosip tabloid beberapa bulan silam? Pasti hanya segelintir, kebetulan saat ini tak memergoki keberadaannya di situ.
Kaki-kakinya terus melangkah sehingga tibalah ia di areal timbunan sampah. Para pemulung tengah mengerumuni gerobak sampah yang baru datang. Beberapa orang yang bisa disebut warga sebagai gepeng, tampak mengorek-orek hingga sampah berserakan.
Seorang lelaki gila asyik mencomoti sisa-sisa makanan bekas yang baru dibuang warga. Kelihatannya ia menikmati makanan yang sudah basi itu, sambil terkekeh-kekeh dan meracau tak karuan, dijilatinya jari-jemarinya dengan mimik puas.
Ah, Dilla melengos tak tahan!
Bau busuk seketika menusuk lebih tajam dari sebelumnya. Fheeew!
Beberapa kali Dilla harus menahan napas lama dan menghembuskannya dengan enggan.
“Iiiih, di mana anak-anak itu? Gak tepat waktu pasti ada sesuatu!”
Mungkin sudah saatnya ia jalan sendiri, mencari sendiri orang-orang sakit dari kalangan miskin. Supaya ia tidak harus selalu mengandalkan Apow dan kawanannya selamanya.
Serasa perasaan hampa, tak bermakna, kesakitan, dan kepedihan hati menyadari ketaksempurnaannya hilang dalam sekejap, begitu tangan-tangannya mengalirkan “sesuatu” untuk dibagikan kepada seseorang yang lebih kesakitan dibanding dirinya, secara jasmaniah.
Tidak, ini sungguh keadaan ajaib, aneh, dan luar biasa, pikirnya.
Ia tak bisa menjelaskan dengan kata-kata, apalagi menjabarkannya secara alamiah. Tidak, ah, bahkan hidupnya sendiri adalah mukjizat, keajaiban, kemiskinan yang tak bisa diteorikan!
Betapa ringan tubuhnya, betapa luas serasa hatinya. Nikmat yang tak teperi, begitu selesai melakukan tugas mulianya. Jadi, ia harus menemukan “korban” itu pada saat-saat tertentu. Supaya ia mampu bertahan dengan kondisinya ini, hingga menemukan cara lain sebagai penyaluran hasratnya.
Sampai kapan? Bagaimana caranya ? Entah, entah, entahlah!
Bagi Dilla, tidak penting lagi mempersoalkan keanehan-keanehan yang terjadi dalam dirinya, dalam hidupnya. Sebab apabila dipikirkan, dicari jawabannya, mengapa, mengapa? Ia malah merasakan akibatnya, yakni kesakitan sepanjang waktu!
Mungkin ia harus pergi kepada seorang psikiater, seperti saran dokter Orin sebelum pergi berlibur ke tanah leluhurnya, Holland. Namun, Dilla memutuskan untuk menjalaninya sendiri, mencari penyelesaian dengan caranya sendiri. Kasihan neneknya, sudah begitu banyak kehilangan demi kesembuhannya. Bahkan sekarang mereka sudah jatuh bangkrut!
“Teeeeh! Teh Pinkiii!” terdengar suara Apow yang berat dan serak.
“Alooow, kita di sini, Teh!” teriak Ucup.
“Kangen, Bo, Men!” Bimbim semakin keenakan dengan bahasa gaulnya.
Sosok-sosok yang dicari itu pun bermunculan dari balik deretan gerobak sampah. Dalam hitungan menit mereka telah mengerumuni dan menggelandang gadis itu kembali ke arah sampah. Biasanya mereka akan bertemu di pos ronda di ujung gang.
Dilla berkilah bahwa ia bosan hanya menunggu seperti orang tolol.
“Kalian terlambat cukup lama. Eh, di mana Mino?” tanya Dilla baru menyadari ketakhadiran anak laki-laki yang paling heboh dengan gurauannya itu.
“Dia sudah duluan pergi ke gang sebelah,” sahut Apow yang selalu ingin berjalan mendahului mereka, seakan-akan memimpin sebuah pasukan kecil.
Gang sebelah yang dimaksud tentu tempat calon pasiennya kali ini. Dilla sudah diberi tahu sekilas tentang kondisinya: perempuan berumur 50-an, sebelah kakinya bengkak selama belasan tahun, dokter mengatakan itu disebabkan diabetes menahun. Mak Cimot, janda tanpa sanak-kadang, hidup seorang diri di gubuknya yang lapuk.
Mereka sudah sampai di Gang Acin, beberapa ratus meter dari Gang Senggol. Sepanjang perjalanan itu, Dilla merasa telah cukup melihat pemandangan kumuh dan jorok yang meruapkan bau tak sedap. Kamar mandi umum yang dipenuhi ibu-ibu mencuci, para lelaki keluar dari bilik-bilik dengan kolor atau handuk dililitkan seenaknya, perempuan muda kembenan sarung atau handuk yang juga seenak udelnya!
Ia mulai bisa menebak jenis pekerjaan apa saja yang dijadikan sumber nafkah warga di kawasan ini. Dari pakaian, perkatan, caci-maki, sumpah-serapah yang mereka pulih, mengingatkannya ke suasana kawasan pelacuran di senetron-sinetron.
Kemiskinan bisa membuat orang terpuruk dalam kekufuran, begitu kata neneknya. Tapi, kita harus bangkit kembali, minimal harus bertahan.
“Eh, Po, kalian tadi ngapain di sana?” usik Dilla sekadar mengalihkn pikiran.
“Cari barang hmm, apa itu?” Apow gelagapan, diliriknya Bimbim dan Ucup yang cengiran seperti menyimpan rahasia.
“Ada apa? He, apa yang kalian cari di sana?” ulang Dilla jadi penasaran.
“Kaki Mak Cimot dibuang ke situ,” ucup mencoba menjelaskan.
“Kami gak menemukannya, mungkin sudah digondol anjing,” sambung Apow.
Dilla merandek, menatap tak paham, “Mak Cimot? Dia kan yang mau kita tengok?”
“Iya, tapi semalam dia sudah kehilangan kakinya,” cetus Ucup. Wajahnya yang tirus seperti menahan sejuta rasa. Perpaduan rasa iba, mual, ngeri, dengan teror.
“Mak Cimot memotong kakinya sendiri. Kaki sakit yang menyiksanya belasan tahun itu,” sambung Apow.
“Appaaa?!” Seru Dilla tertahan.
“Memotongnya sendiri, Teteh, pake pisau dapur,” lapor Bimbim bak menutup katup yang telah terkuak.
Kemudian membuka katup baru berupa lakon hidup seorang perempuan bernama Mak Cimot: penderitaan yang ditanggung seorang diri, kepapaan, dan kesakitan luar biasa.
Dilla berbalik ke arah anak kelas tiga SMP itu. Tampak pipi-pipinya yang tembem mengembang. Niscaya ia sudah menahannya sejak beberapa menit lalu. Nah, dia pun terseok mendahului mereka menuju parit, berjongkok, dan; huuueeeekk!
Dilla masih terkejut dan terperangah hebat.
“Kakinya itu, dipotong sendiri, ya, Po? Bagaimana sekarang?” gumamnya seperti baru bangun tidur, meracau dan ngelindur.
Otaknya yang sempat ngeblank selama sepuluh tahun, sekali ini cepat sekali merangkai masukan demi masukan yang berseliweran secara ringkas dan super kilat.
Kesimpulannya hanya satu: Mak Cimot sudah sangat putus asa!
“Ayo!” Apow mengajaknya melanjutkan perjalanan.
“Apa Teteh mau batalin aja?” tanya Ucup.
“Oh, gaklah, Cup! Ayo!” Dilla tersentak melanjutkan langkahnya mendahului mereka.
Hari itu, Dilla harus menyaksikan penderitaan seorang anak manusia dalam ketakberdayaan, kesakitan yang melahirkan keputusasaan. Suatu hal yang tak bisa dipahami orang lain, hanya bisa dirasakan oleh orang yang pernah mengalaminya sendiri. Belum apa-apa matanya sudah membasah menahan galau perasaannya.
“Nah, itu rumahnya yang banyak orangnya!” tuding Apow.
Gubuk itu sungguh sudah lapuk. Sebuah bangunan tua dari zaman Jepang yang papan-papan jatinya telah keropos dimakan ngengat dan umur. Kalau ada angin kencang bisa dipastikan kayunya akan berdecak-decak. Hanya karena terhalang bangunan tinggi dan kokoh di depannya sajalah, maka gubuk ini masih bisa bertahan.
Dilla mendapati orang-orang berkerumun, tapi hanya satu-dua yang mau mendekati Mak Cimot. Apow mendorongnya terus merangsek, dan menyeruak di antara orang-orang yang kasak-kusuk, tanpa tahu entah apa yang mesti mereka perbuat.
Bangil, 110410