Rindu yang Salah Alamat

Pagi itu, langit pesantren mendung. Tapi bagi Fikri, mendung itu bukan cuaca melainkan rasa. Rasa menunggu yang membuat dada sesak dan waktu terasa lambat. Hari ini adalah hari sambangan. Hari di mana santri boleh bertemu orang tuanya, setelah berbulan-bulan hanya berbicara lewat angin dan malam yang beku.
Santri lain sudah sibuk bersih-bersih. Ada yang menyapu halaman, ada yang menyetrika baju, ada pula yang menyemprotkan parfum pinjaman. Tapi Fikri? Ia sibuk mengecek dompet, bukan untuk uang, tapi untuk memastikan nomor HP-nya masih ada, kalau-kalau bisa dikabari orang tuanya lewat santri lain.
Dia tidak terlalu peduli apakah ibunya baik-baik saja, atau apakah ayahnya sehat. Yang ia pikirkan adalah satu hal:
“HP”
Seolah-olah rindu kepada orang tua telah berubah bentuk. Seolah rumah yang dirindukan itu ada dalam layar 6 inci, bukan dalam pelukan ibu atau genggaman ayah.
…
Ketika akhirnya ibunya datang berjilbab lusuh, sandal jepit yang satu sudah termakan waktu. Fikri menyambut dengan senyum… tipis. Ia buru-buru menunduk, matanya menatap tas plastik di tangan ibunya.
“Bu… bawa HP?”
“Nggak, Nak. Ibu kira kamu kangen ngobrol.”
“Oh…”
Oh. Hanya satu kata itu yang keluar. Lalu Fikri diam. Matanya tak lagi berbinar. Pelukan yang seharusnya hangat berubah menjadi formalitas. Ibu duduk di atas tikar, menyodorkan bekal, mencoba bercerita… tapi anaknya sibuk melihat teman-teman lain yang asyik bermain HP dari orang tuanya.
Ibu diam.
Ada seutas luka di sudut matanya, tapi ia tahan. Ia tahu, anak laki-laki memang kadang lupa jalan pulang saat terlalu sibuk mengejar sinyal.
Setelah dua jam yang terasa sia-sia, ibu pamit.
“Ibu pulang dulu, ya, Nak…”
Fikri hanya mengangguk.
“Jaga diri, ya…”
Masih diam.
“Ibu… sayang kamu.”
Fikri menjawab pelan, “Iya, Bu.”
Tapi matanya masih sibuk menatap santri sebelah, yang sedang selfie dengan ponsel pinjaman
…
Malamnya, di musholla, Ustadz Amin mengaji. Suaranya tenang, namun tiba-tiba berubah berat saat membaca satu bait:
“Man lam yasykuril walidain, fa huwa mardudul ‘ilmi…”
(Barang siapa yang tidak berterima kasih kepada orang tua, maka ilmunya akan tertolak…)
Kemudian, tanpa rencana, Ustadz Amin berhenti mengaji. Ia menatap santri-santrinya satu per satu.
“Ada anak yang disambangi ibunya,
tapi yang ditanya: HP.
Ada anak yang tak sempat menatap wajah ibunya karena sibuk membuka game.
Ada anak yang lebih rindu layar daripada wajah yang melahirkannya.
Hati-hatilah… jangan sampai yang paling kalian cintai
bukan lagi manusia,
tapi benda mati.”
…
Fikri gemetar. Nafasnya tak teratur. Dadanya sesak.
Ia tidak kuat. Malam itu juga, ia lari ke musholla kecil, sujud di depan mimbar. Bukan lagi karena ingin dilihat, tapi karena hatinya benar-benar remuk.
Ia ingat wajah ibunya yang ia cueki.
Ingatan itu menampar keras.
Bukan pipi, tapi adabnya.
…
Di bawah lampu redup, ia menulis surat:
“Ibu…
Hari ini aku tahu siapa yang seharusnya aku tunggu.
Bukan HP.
Bukan layar.
Tapi pelukmu.
Doamu.
Air matamu.
Maaf, Bu…
Rinduku sempat salah alamat.”
…
Beberapa minggu kemudian, ia mendapat surat balasan.
Tulisannya gemetar, khas tangan ibu kampung yang tak terbiasa menulis panjang.
“Nak,
Ibu tahu, rindu itu bisa salah arah.
Tapi selama kamu masih mau berbalik,
Allah akan bukakan jalan pulang.
Ibu tidak marah.
Ibu cuma menunggu.
Menunggu kamu kembali menjadi anak yang dulu:
yang mengusap tangan Ibu lebih lama dari mengusap layar.”
…
Cerpen ini nyata. Bukan pada satu nama, tapi pada banyak wajah.
Wajah-wajah yang pelan-pelan lupa, bahwa yang paling layak dirindukan bukan suara notifikasi, tapi suara doa ibu yang lirih sebelum subuh.
Semoga kita semua para santri menjadi anak yang Sholih dan Sholihah yang berbakti kepada orang tua.




