Sepotong Kenangan KH. Ashim Nawawi di Hati Santri 3

Kenangan Takhtiman bersama Abah Kyai Ashim Nawawi
Di rumah, Bapak bersama beberapa teman ngaji memiliki agenda rutin setiap malam Jum’at, yakni sowan ke maqbaroh Simbah Kyai Nawawi sembari melantunkan muqoddaman.
Teknisnya, setelah dibuka dengan salam dan Al-Fatihah, tiap-tiap individu membaca lantunan ayat suci Al-Qur’an sebanyak satu juz. Karena halaqah itu berisi 4–5 orang, maka dalam satu pekan, di malam Jum’at itu akan terbaca 4–5 juz pula.
Sampai pada malam Jum’at yang kesekian, tibalah waktu takhtiman. Biasanya, beberapa hari menjelang takhtiman, Bapak dan teman-teman akan sowan ke ndalem Abah Kyai Yasin untuk memohon agar beliau berkenan menutup dengan untaian doa.
Lantas tibalah malam takhtiman itu. Setelah menjemput saya untuk turut hadir dalam acara tersebut, seperti biasa kami sowan ke ndalem untuk menjemput Abah Kyai Yasin dan mengantarkan beliau ke maqbaroh Simbah. Istimewanya takhtiman malam itu Abah Yai Yasin berpesan, “Mengko mandek ning ndaleme Kang Mas Yai ‘Ashim, beliau ngersakke melu nutup takhtiman.” Mendengar itu, sontak euforia dalam mobil terasa begitu hangat; kami semua sangat bahagia dan bersyukur.
Tak disangka, kejutan datang lagi. Mobil Bapak berhenti tepat di depan ndalem Abah Kyai ‘Ashim. Beliau sudah menunggu kami. Duduk di kursi depan ndalem, beliau tampak sangat sumringah menyambut kedatangan kami. Setelahnya, Bapak turun untuk menggandeng Abah Kyai ‘Ashim menuju maqbaroh.
Prosesi takhtiman berjalan dengan khidmat. Lantunan tahlil yang dipimpin oleh Abah Kyai Yasin dilanjutkan dengan doa oleh Abah Kyai ‘Ashim. Di sela-sela itu, saya banyak mencuri kesempatan untuk memandangi dua Kiai saya yang luar biasa. Terutama Abah Yai ‘Ashim dalam balutan busana putih-putih khasnya, beliau tampak begitu menenangkan. Menginjak usia yang sudah renta, tak sedikit pun mengurangi keistiqomahan beliau dalam menebar kebaikan.
Usai melantunkan doa, beliau ngendikan, “Aku seneng banget karo rutinan iki, mugo-mugo iso istiqomah lan besok neng akhirat iso kumpul bareng-bareng karo Mbah Nawawi.”
Mendengar itu, gerimis pun jatuh di bawah kelopak mata saya. Beliau terlihat sangat sumringah ketika mengucapkannya.
Keteladanan Sehari-hari
Dalam keseharian, beliau selalu istiqomah menebarkan ilmu. Tak pernah menampakkan keletihannya sekalipun di depan kami para santri.
Dulu, semasa MA, beliau mengampu pelajaran Aswaja. Jam pelajaran beliau tepat seusai istirahat. Tak sekali dua kali beliau sudah berada di kelas sebelum kami masuk. Tak sekali dua kali pula kami tertidur di tengah-tengah maknani kitab. Namun beliau tak pernah sekalipun duko. Beliau selalu mengaji, apa pun keadaannya.
Kini waktu berjalan tanpa hadirmu, pelita kami. Namun setiap langkah masih dipenuhi jejak doamu. Wajah teduhmu, suara lembutmu, dan cara engkau menatap kami dengan kasih—tetap hidup di setiap detik rindu.
Masuklah melalui pintu surga yang engkau inginkan, Abah Kyai. Di sana, semoga engkau beristirahat dalam cahaya, bersama Mbah Kyai Nawawi, Mbah Nyai Walidah, serta para kekasih Allah yang selalu engkau sebut dalam doa.
Abah Yai ‘Ashim akan selalu hidup dalam setiap fatihah yang kami baca sebelum mengaji, juga dalam lima waktu shalat kami setiap hari. Nama dan teladan beliau tidak pernah benar-benar hilang. Kami akan berusaha menjaga ilmu dan keteladanan beliau, seperti menjaga cahaya yang tak pernah padam.
Penulis : Brilyan Kesuma, Santri Pondok Pesantren An Nur Komplek Al Maghfiroh
Bimbingan yang Tak Pernah Usai
Selama saya di Ngrukem, Bapak Kyai ‘Ashim adalah sosok guru yang selalu menyejukkan dan membuka kesadaran melalui dawuh serta tindak lampahnya yang sangat inspiratif.
Dawuh yang selalu terngiang dari beliau adalah, “Tugas guru kuwi loro. Nomer siji dhahir, wujudnya mulang kanthi mempeng. Nomer loro batin, wujudnya ndungakne muride supaya ana ikatan batin antarane guru lan murid.”
Dawuh itu membuat saya sadar betapa pentingnya ikatan batin antara guru dan murid, serta bagaimana Bapak Kyai ‘Ashim telah menjadi contoh yang sangat baik dalam membimbing kami dengan penuh kasih sayang.
Keistiqomahan beliau dalam membimbing kami tidak pernah mengenal libur, dan hal itu membuat kami merasa begitu dekat dengan beliau. Ikatan batin yang beliau tumbuhkan semakin kuat, terlebih ketika kami semua sangat merasakan kehilangan atas kepergian beliau.
Bapak, tugas panjenengan sebagai guru kami telah purna sekaligus sempurna. Akui kami sebagai santri panjenengan, dan mohon terus doakan kami agar senantiasa mampu meneladani tindak lampah panjenengan.
Sugeng tindak, Bapak. Maturnuwun sampun membersamai kami selama ini dengan penuh kasih sayang.
Penulis: Putri Galuh Chamada Robbick, Santri Pondok Pesantren An Nur Komplek Putri Pusat
Keramahan Bapak Kyai
Keramahan Pak Kyai Ashim selalu saya rasakan sebagai seorang santri. Hari itu, Sabtu, 17 Agustus 2024, saya baru saja pulang dari upacara di SMK.
Di area parkir, saya melihat Pak Kyai Ashim berdiri dengan tenang. Begitu saya mendekat, saya langsung menyalami beliau. Dengan senyum khas yang meneduhkan, beliau bertanya pelan, “Dari mana, Le?”
Pertanyaan itu membuat hati saya hangat. Dari cara beliau menyapa, saya merasakan kasih sayang seorang Bapak, bukan sekadar sosok guru.
Penulis: Muhammad Fakhri Ar Razi, Santri Pondok Pesantren An Nur Komplek Putra Pusat




