Kata Siapa Kita Sudah Merdeka?
www.annurngrukem.com – “Endonesa merdeka!!” Teriak salah seorang anak bertubuh gempal dengan suara lantang saat melihat bendera-bendera merah putih dipasang di halaman komplek pesantren pada pagi hari.
Anak itu membuat saya tersenyum. Saya baru ingat bahwa hari ini bulan Agustus. Jika tidak melihat bendera yang terpasang dan teriakan anak itu mungkin saya akan lupa bahwa sebentar lagi adalah hari kelahiran negara Indonesia.
Semenjak pasca kelulusan dari sekolah formal Madrasah Aliyah, tepatnya lima tahun silam membuat saya sering lupa bulan, dan hari. Karena kegiatan saya di pesantren kini setiap hari terkesan monoton. Pagi hari mengaji, siang nderes dan malam tidur. Tanpa ikatan hari, kecuali di hari Jumat. Untunglah bendera dan anak-anak itu mengingatkan saya. Sehingga saya bisa sedikit punya perasaan bangga dan hormat dengan adanya kemerdekaan.
Lalu di kepala saya terbayang ketika tanggal 17 Agustus nanti lagu “Hari Merdeka” karya Husein Mutahar akan dinyanyikan dengan euforia gembira dan menyenangkan seperti biasanya. Santri putra-putri memakai bermacam-macam kostum profesi pekerjaan, pakaian adat, bahkan kadang ada yang menjadi cosplay pahlawan super.
Belum lagi akan ada gerobak sampah yang disulap menjadi kendaraan perang TNI yang akan menghiasi halaman. Meriah dan menyenangkan sekali. Setelah itu akan ada lomba seru-seruan. Ada lomba balap karung, gigit koin yang dilumuri oli, menurunkan karet gelang yang dipasang di muka, lomba olahraga seperti sepak takraw, sepak bola, bulu tangkis hingga tenis meja. Semua komplit dan seru.
Namun, bayangan seru-seruan itu pudar seketika ketika saya melihat data jumlah kasus Covid-19 di negeri ini yang tak kunjung membaik. Terlebih lagi sudah pasti perayaan tujuh belasan yang dulunya meriah dan menyenangkan akan begitu membosankan seperti tahun lalu. Tak ada baris-berbaris, pawai, kostum dan lomba. Yang ada hanya hormat Sang Saka Merah Putih selama lima menit lalu bubar.
Meski begitu, bagaimanapun perayaan tujuh belasan nanti dirayakan, kita tetap harus bersyukur dan berterima kasih kepada para pejuang. Saya tak bisa membayangkan betapa beratnya para pejuang mempertaruhkan jiwa dan raga kepada Indonesia tercinta sehingga bisa merdeka dari kelamnya penjajahan.
Dalam album sejarah di aplikasi Youtube seorang veteran kota Blitar bernama Mbah Mardjoeni menceritakan bagaimana beratnya hidup dalam penjajahan. Untuk merebut kemerdekaan Mbah Mardjoeni harus meninggalkan rumahnya dan berpindah-pindah tempat untuk berjuang bersama Laskar Sabilillah.
Ibunya selalu menangis karena merasa khawatir. Hari-harinya semakin berat ketika mendekati hari kemerdekaan. Dentuman bom mulai akrab terdengar dimana-mana. Suara tembakan dan tangisan sudah menjadi sarapannya setiap hari.
Mbah Mardjoeni harus selalu waspada setiap keluar rumah. Katanya, siapapun yang bertemu Belanda akan ditembak mati. Ngeri sekali saya membayangkannya.
Namun apapun ancaman dari Belanda tak pernah membuat takut Mbah Mardjoeni. Katanya, perasaan takutnya sudah lenyap semenjak dirinya dan para pejuang dimotivasi oleh komandannya dengan sebuah kalimat “Merdeka itu lebih enak dari segala-galanya!”
Perkataan komandan membuat Mbah Mardjoeni berpikir seperti apa rasanya Merdeka itu. Dan itulah yang membuat semangatnya terus tumbuh.
Saya menyimaknya ceritanya dengan begitu takjub. Kalimat “Merdeka” yang diucapkan Mbah Mardjoeni membuat saya berpikir apa arti dari merdeka itu sendiri hingga lebih enak dari segala-galanya.
***
Saya masih ingat sekali pelajaran PPKn saat SD dulu. Pak guru saya menjelaskan bahwa merdeka memiliki arti sebagai “Bebas” dari suatu paksaan ataupun kendali yang dilakukan oleh negara lain.
Merdeka adalah sebuah kuasa untuk menentukan arah langkah diri sendiri dalam menentukan pilihan antara dilakukan atau tidaknya sebuah perberbuatan. Dan subjek yang merdeka itu harus mempunyai kekuasaan untuk menguasai diri sendiri dan perbuatannya. Maka sudah jelas merdeka lebih enak dari segala-galanya karena punya kuasa atas diri sendiri.
Tujuh puluh enam tahun sudah negara ini punya kuasa terhadap dirinya sendiri. Memang benar negara ini telah bebas, telah merdeka, tidak ada lagi paksaan-paksaan atau kendali dari negara lain. Kita telah merdeka. Eh, sebentar-sebentar. Bukan kita yang merdeka. Tapi negara kita. Diri kita tak akan pernah merdeka dari penjajahan. Kita akan selalu terkekang. Karena setiap individu manusia tak akan pernah merdeka. Kita akan selalu diperbudak oleh kebiasaan yang kita lakukan.
Seperti ngendikan Pak Kyai saya, “Sejatinya manusia akan selalu diperbudak oleh kebiasaannya. Jika kebiasaannya baik maka akan diperbudak kebiasaan baiknya. Namun jika kebiasaannya buruk akan selalu diperbudak kebiasaan buruknya.”
Iya, setiap individu manusia akan selalu diperbudak oleh kebiasaanya. Yang memiliki kebiasaan baik akan selalu diperbudak kebiasaan baiknya.
Sebaliknya, seorang yang terbiasa melakukan kebiasaan buruk akan diperbudak kebiasaan buruknya. Lihat saja kebiasaan kita seperti telat menghadiri undangan rapat, kebiasaan menyontek pekerjaan orang lain, kebiasaan malas ngantri dan kebisaan buang-buang waktu. Kebiasaan itu akan sulit hilang meski berkali-kali kena teguran.
Hal itu juga sama dengan yang dilakukan oleh koruptor yang hobi mengeruk uang rakyat di negeri ini. Orang yang biasa korupsi tak akan pernah jera meski berkali-kali terkurung dalam sel besi. Karena mereka sudah tak punya kendali terhadap dirinya sendiri. Satu-satunya cara menghentikan tindak korupsi adalah jangan sampai para koruptor ini diberi kesempatan. Karena akan selalu ada tekanan dan alasan untuk mengeruk uang rakyat.
Seperti halnya saya yang telah diperbudak kebiasaan saya yaitu tidur sehabis subuh. Saya sulit untuk menghindarinya. Tapi karena tempat tidur saya dipakai untuk mengaji, maka saya tak ada kesempatan untuk kembali terlelap dan akhirnya bisa menghindarinya hari ini. Pagi ini saya isi kegiatan dengan jalan sehat, tapi entah besok atau lusa. Namanya juga sudah diperbudak, hehehe.