Esai

Lupa: Beban atau Anugerah?

Lupa memanglah hal lumrah yang selalu melekat pada manusia. Namun Entah kenapa saya paling benci dengan lupa. Mungkin kebanyakan orang juga begitu.

Sebab, lupa sering membuat saya panik, kebingungan lalu disalahkan. Karena perkara lupa, saya sering kali dimarahi bapak saya karena dua kali menghilangkan ATM-nya.

“Senengane lhooo! Bapak ki sampe isin ning kantor polisi gawe surat kehilangan terus!” kata bapak dengan nada marah sembari curhat ketika ATM Bapak saya hilangkan karena lupa.

Belum lagi perkara lupa waktu, janji, lupa hafalan dan hal lainnya.

Baru saja kemarin kawan saya  sambat kepada saya tentang hafalan yang baru kemarin ia hafalkan, sekarang sudah lupa.

Badalah….Badalah! Lagi wae ditinggal sedino wes bubar kabeh!” katanya kesal.

Saya hanya tersenyum ngakak, karena saya juga mengalaminya, sekaligus juga kewalahan mengatasi masalah lupa.

Saya juga kesulitan mengingat nama orang jika jarang bertemu. Seringkali saya disapa teman lama hanya senyam-senyum karena lupa namanya. Bahkan tak jarang dibilang sombong karena tak menyapa atau memanggilnya ketika bertemu. Yah, padahalkan lupa heheheh.

Belum lagi, saya pernah menghilangkan kunci motor, lupa menaruh karcis saat parkir  motor, sampai pernah membawa motor orang lain karena lupa dengan motor yang saya bawa.

Guru saya di sekolah pernah menjelaskan, bahwa ingatan manusia dibagi menjadi tiga jenis, yaitu memori sensorik, memori jangka pendek, dan memori jangka panjang. Saat indera kita menerima rangsangan dari lingkungan, memori sensorik akan mencatat informasi tersebut. Informasi ini kemudian diproses dan disimpan sebagai memori jangka pendek, yang hanya bertahan dalam waktu singkat, sekitar 20-30 detik, kecuali kita mempertahankannya secara aktif.

Meskipun memori jangka panjang dapat bertahan lama, detail-detail dari ingatan ini akan berangsur-angsur hilang. Hal ini dijelaskan oleh teori peluruhan, yang menyatakan bahwa jejak memori yang terbentuk di otak akan memudar seiring waktu jika tidak sering diulang. Akibatnya, otak akan kesulitan atau gagal memanggil kembali informasi yang diinginkan.

READ  Mindset Ikhtiar yang Salah Kaprah

Dari penjelasan singkat itu saya jadi menyimpulkan bahwa lupa adalah beban sekaligus cacatnya manusia. Coba bayangkan saja jika manusia tak mengalami lupa, mungkin hidup akan lebih gampang. Saya dan kawan-kawan saya tak perlu khawatir kehilangan hafalan, tak ada kekhawatiran ketika menyimpan karcis parkir, tak perlu bersikeras mengingat nama kawan lama karena lupa. Namun karena suatu hal, saya menemukan sudut pandang baru tentang lupa.

Jadi, suatu waktu, saya diajak kawan saya sowan Pak Kyai. Seperti umumnya santri, setelah salam, kami menunggu sembari duduk tawaruk di depan pintu. Setelah menunggu beberapa menit pintu dibuka Bu Nyai.

“Ono perlu karo Bapak?” kata Bu Nyai waktu itu

“Nggih,”jawab kami.

“Ditunggu ndisik yo,” kata beliau mempersilakan kami masuk.

Bu Nyai lalu keluar sembari membawa dua gelas teh. Langsung menyodorkan di depan saya. Saya menerimanya sambil terdiam.

“Dimimik,” kata beliau sembari tersenyum.

Tanpa basa-basi saya langsung minum teh dalam dua tegukan. Habis. Segar sekali rasanya. Saya rasa itu adalah teh terenak yang pernah saya minum. Kawan saya meminumnya sedikit. Rasanya ingin saya serobot gelasnya dan saya habiskan. Belum sempat saya mengambilnya, Pak Kyai datang. Kami pun langsung mengutarakan maksud kami setelah itu kami pamit pulang.

Di saat keluar ndalem, kawan saya langsung bertanya pada saya.

“Koe ora Poso po?”

Saya pun hanya bisa menepuk jidat dan tersenyum meringis karena ternyata waktu itu saya sedang puasa membayar hutang puasa Ramadhan.

Saya jelas tak mungkin menyalahkan Bu Nyai. Saya tentu juga tak bisa menyalahkan kawan saya. Saya pun tak bisa menyalahkan diri sendiri karena alasan lupa.

Saya jadi tersadarkan, bahwa hal yang selama ini saya benci (baca: lupa) sebenarnya sebuah anugerah.  Orang yang lupa tak pernah dibebani dosa. Toh puasa saya tak batal.

READ  Lomba Esai 6: KEISTIMEWAAN BULAN RAMADHAN

Betapa banyak orang yang berusaha untuk lupa, tapi selalu gagal. Jika setiap hal kita harus ingat, tentunya betapa penuhnya kepala kita. Apalagi mengingat kejadian memalukan dan menyakitkan yang pernah kita alami.

Saya jadi teringat dawuh guru saya saat menasehati orang-orang yang menghafal Al Quran, “lali kui manusiawi. Barokahe lali, awakmu dadi gelem nderes, gelem ngaji, gelem mutholaah. Jal nek ora lali? opo yo gelem awakmu sinau, nderes, mutholaah?” 

Lupa sebenarnya mengajarkan kita untuk tenang, bukan kemrungsung panik seperti yang biasa saya lakukan. Dan saat lupa itu datang, bisa jadi kita sedang dibebaskan dari suatu urusan. Bisa jadi begitu.

 

Muhammad Ulinnuha

Santri Pondok Pesantren An Nur Bantul. Hobi membaca, menulis, dan menyapu halaman.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button
WeCreativez WhatsApp Support
Tim dukungan pelayanan kami siap menjawab pertanyaan Anda. Tanyakan apa saja kepada kami!
Hai, ada yang bisa saya bantu??