Jelmaan Iblis

Jelmaan Iblis
Sibuk bertapa di bumi persepian
Menatap manusia-manusia yang termarginalkan
Oleh buas zalim kekuasaan
Yang duduk di kursi metropolitan
Tanah ini kembali dijajah oleh berangasan
Yang tercipta dari rahim negeri sendiri
Lidahnya bercakap aksara layaknya pribumi
Namun licin menggulirkan ideologi
Wahai yang duduk di kursi itu!
Kau bodoh atau pura-pura buta?
Lihatlah rakyatmu dengan netra
Mereka yang kau sanjung demi meraup suara
Dengan sumpah manismu nan menggiurkan asa
Lihatlah bayi-bayi yang kau biarkan mati nelangsa,
Para manusia tak berdosa menggigil di penjara,
Para wanita dirampas martabatnya,
Begitu pedih nasib pejuang nyawa
Adakah ujudmu jelmaan iblis?
Hingga nasihat budi pun tak terkais
Apakah kau lupa akan sang ibu
Yang kau berjanji menjaganya selalu
Tapi kini sang ibu menangis tersedu
Menengadah melirik tingkah lakumu
Renungkan itu dalam kalbu!
Rindu itu
Waktu telah berlalu tak menyisakan suatu
Kecuali sebutir debu yang tetap bertahan, bernama rindu
Ia tak kunjung pergi walau sisa jejak itu telah terhapus masa
Seakan telah merekat, melebur dan menyatu dalam jiwa perindu
Rindu itu terkadang menjelma duri beracun
Yang menyisakan luka begitu dasar dalam kalbu
Terkadang pula menjelma sebagai madu
Yang menyisakan manis tiada tanding bagi pemuja rindu
Ia datang bukan sebab undangan seorang sultan pun
Ia hadir bukan karena permohonan seorang pujangga pun
Karena ia dilahirkan oleh sang waktu
Perginya pun dihempas tiupan angin waktu
Terkadang ia berujud pembohong licik
Menghadirkan bayang-bayang kekasih dalam sebuah kabut mimpi
Seolah sang kekasih telah benarnya bangkit kembali
Namun apalah daya itu hanya bayangan yang mengelabuhi
Waktu terus berlalu dengan langkahnya nan selalu maju
Tapi tidak dengan sang perindu yang terpaku bisu dalam angan-angan semu
Matanya menatap bumi seakan mencari sosok wajah yang telah kabur
Menanti datangnya kekasih dalam sebuah temu
Jejak Pengembara
Sang pengembara menapak setiap langkah
Dengan mengucap jampi-jampi ampuh, ‘basmalah’
Mengungkap sebuah makna dari lafal maslahah
Nir menyangsikan jasad untuk pantang menyerah
Ia telah menancap bendera sumpah dan keyakinan
Dari lubuk kalbu paling dasar nan dalam
Kalbu yang suci akan nafsu kehewanan
Tuk menggapai sebuah mimpi yang telah dilangitkan
Detak langkahnya berdentum begitu keras
Menggetarkan bumi dengan berangas
Melukiskan tekad niatnya yang tegas
Meski pasukan kavaleri musuh menodong mata pedang
Walau badai api sigap menghalang
Bukanlah sebuah rintangan bermakna bagi sang pejuang
Dengan tameng baja berlafalkan ‘la haula wala quwwata illa billah’ ia berparas tenang
Hingga di sebuah ujung detik yang akan berlalu
Ia kan menyisakan sebuah jejak tak semu
Nan membekas di tiap-tiap kalbu
Yang telah dinaunginya pada waktu lalu
Penulis : Muhammad Wahdan