Pojok Santri

Pojok Santri#4 (Wasiat Simbah Nawawi)

www.anurngrukem.com – Ketika saya sedang menulis tulisan ini, langit sedang redup. Iya, saya menyebutnya redup. Tak panas dan tak mendung, namun ada segumpal awan gelap kecil di langit Ngrukem. Awan itu  membuat ingatan 6 tahun lalu muncul dalam kepala saya.

Desember 6 tahun lalu, adalah hari duka bagi bagi Pesantren An-Nur, karena kembalinya orang tua sekaligus guru kita, Simbah Kyai Nawawi Abdul Aziz keharibaaNya.

Ada kejadian yang mengesankan bagi saya. Sekitar pukul 11 pagi, saat saya sarapan di warung Mbok Nom (begitu kami menyebut warung belakang pondok), di tempat terbuka sembari memasukkan sesuap nasi dalam mulut, saya melihat ke atas langit An-Nur. Saat itu  langit sedang redup, awan-awan kecil berjalan berpindah karena tertiup angin. Semakin lama, awan-awan itu berkumpul. Membentuk segumpal awan hitam. Tak terlalu besar, dan tak terlalu kecil. Perlahan, namun pasti awan itu berubah menjadi sebuah tulisan yang amat saya kenal.

“Lafadz Allah!” teriak kawan saya sembari menunjuk langit. Sang pemilik warung, yang biasa kami sebut Mbok Nom keluar mendengar teriakan itu. Mungkin sekadar memastikan benar-tidaknya teriakan kawan saya itu. Beliau tersenyum, seakan sudah paham dengan keajaiban tulisan Allah dalam bentuk awan itu. Karena konon, hal itu terjadi juga saat kembalinya Simbah Nyai HJ. Walidah keharibaanNya.

Kami hanya ternganga. Takjub tak mampu berbicara. Kejadian itu tak banyak yang tahu. Tak begitu lama, Tak sampai hitungan menit mungkin hanya beberapa detik saja. Saya dan kawan-kawan saya (saat itu kurang lebih ada 5 orang) kecewa berat karena tak mampu mengabadikan momen itu dengan beberapa jepretan karena tak ada yang membawa kamera. Namun biarlah kejadian itu menjadi sebuah pelajaran bagi saya, orang tak terlalu percaya dengan sebuah keajaiban. Bahwa tak ada yang tak mampu dilakukan Tuhan.

READ  Alasan Mengapa Santri Tidak Pulang Saat Liburan

Sesudah kejadian itu, langit masih saja redup. Mentari masih belum mau menampakkan sinarnya. Tepat setelah Zuhur seluruh santri dan pentakziah berkumpul untuk melakukan upacara pemakaman. Sambil terisak dan meneteskan air mata, Kyai Chudlori menyampaikan wasiat saudara seperjuangannya, Simbah Kyai Nawawi ketika hendak mangkat ke peristirahatan terakhir.

Kabeh santri kudu milih….

Milih ngaji nek ora mulang…

Nek ora mulang yo ngaji..

Nek ora ngaji yo mulang.

Semua terdiam. Menunduk. Tak ada yang bersuara sepatah kata pun. Yang ada hanya tangisan. Jikalaupun ada seorang yang tidak menangis, matanya sudah merah. Sudah tak mampu lagi menitikkan air mata.

Sembari menunduk, saya mencoba mencerna wasiat itu. Butuh waktu lama bagi saya memahami kalimat itu. Jika kita terjemahkan dalam bahasa Indonesia artinya, santri itu harus memilih, memilih mengaji atau mengajar, jika tidak mengajar ya mengaji, jika tidak mengaji ya mengajar.

Mengaji dalam KBBI ada 3 makna. Pertama menderas Al-Qur’an, kedua belajar membaca tulisan arab, ketiga yaitu belajar. Kita biasa memaknai mengaji dengan sempit yaitu belajar membaca Al-Qur’an. Namun, hal itu bukan tanpa alasan, Mengaji bermakna membaca Al-Qur’an merujuk pada pada perintah pertama Allah sebelum salat, terdapat dalam surat Al-Alaq, yakni iqra’, yang berarti bacalah.

Banyak sekali keutamaan membaca Al-Qur’an. Diriwayatkan oleh Abdullah bin Mas’ud bahwa setiap kita membaca Al-Qur’an, setiap hurufnya kita akan mendapat satu kebaikan. Dan satu kebaikan akan berlipat sepuluh. Setelah bisa membaca, kita dianjurkan untuk belajar memahami Al-Qur’an.

“Kitab (Al-Qur’an) yang Kami turunkan kepadamu penuh berkah agar mereka menghayati ayat-ayatnya agar orang-orang yang berakal sehat mendapat pelajaran.” (QS. Shad: 29).

Untuk menjadi manusia terbaik di mata Allah tentu tak cukup, jika kita hanya belajar sesuatu tanpa mulang apa yang kita pelajari. Sebagaimana dalam hadis, Nabi menjelaskan bahwa sebaik-baik manusia adalah orang yang belajar Al-Qur’an dan mengajarkannya.

READ  Transportasi dan Peran Teknologi

Namun, memahami ngaji dan mulang hanya sebatas mempelajari Al-Qur’an dan mengajarkannya secara teori saja tidak cukup.  Kita harus mengimplementasikan dalam laku. Dan diri kita tidak akan bisa mengimplementasikan Al-Qur’an jika diri kita dikuasai nafsu. Maka dari itu dalam falsafah Jawa, Ngaji bisa dimaknai dengan ngatur jiwa. Dalam ajaran sunan Kalijaga, jiwa atau nafs itu terbagi menjadi 4: amarah, lawwamah, sufiyah dan mutmainah.

Nafsu amarah adalah nafsu yang mengakibatkan seseorang tak mampu mengontrol emosinya dan akan gampang dikuasai setan. Orang yang dikuasai nafsu amarah matanya akan merah, bicaranya tak dapat dikendalikan bahkan kadang bisa berakibat kekerasan fisik.

Sedang lawwamah adalah nafsu yang dapat membuat hati dan pikiran menjadi gelap. Hal itu dapat merusak hati, hingga tak dapat membedakan mana yang baik dan buruk. Yang baik kadang akan terlihat buruk dan yang buruk akan terlihat baik.

Nafsu sufiyah adalah nafsu yang membuat seseorang cenderung malas, lemah dan lupa. Kita menganggap nafsu ini manusiawi. “Alah.. manusiakan tempatnya lupa” atau “ya, namanya juga manusiawi, kadang rajin kadang malas” kadang kita sering mendengar nafsu sufiyah yang kita anggap biasa dan manusiawi. Hal ini dapat menghambat kesuksesan seseorang.

Yang keempat nafsu mutmainnah. Nafsu mutmainnah adalah nafsu yang baik. Orang yang diliputi nafsu mutmainnah akan pasrah dan rida terhadap segala ketentuan-Nya. Tak pernah mengeluh dan tergoyahkan keimanannya. Tak pernah putus asa atas rahmat-Nya. Tak pernah terlena dan terbuai atas segala pemberian-Nya.

Untuk mengatur 4 nafsu itu tak mudah. Perlu ditempa bertahun-tahun. Perlu kesiapan hati dan legawa dengan hidup sesulit apapun. Perlu menjaga kebutuhan biologis: tak berlebihan sesuai fitrah naluriah yang sesuai dengan perintah Allah dan menjauhi larangannya. Orang yang tak mampu menjaga kebutuhan biologisnya ia akan hancur. tak hanya akan menghancurkan diri sendiri, namun seluruh negeri ini. Tak percaya? Lihat saja apa yang dilakukan oleh para koruptor.

READ  Pojok Santri#10 (Menggapai Takwa)

 Orang yang mampu mengatur jiwanya, ia akan selalu diliputi dalam kebaikan, karena hatinya akan gampang dinasehati, setidaknya oleh dirinya sendiri. Uripnya akan urup. Urup berarti menerangi sekitar.

Salah satu cara agar hidup kita urup yakni dengan ngaji dan mulang. Baik dengan dhahir ataupun batin, dengan teori ataupun dengan laku seperti yang diajarkan dan dicontohkan  Simbah Kyai Nawawi dalam kehidupannya. Karena dengan ngaji kita akan aji, yang berarti mulia, ataupun sakti. Dan dengan mulang ilmu hidup kita akan berkah.

Enam tahun telah berlalu. Dan bulan Desember kemarin, kita harus berduka lagi dengan kepergian Kyai Chudlori. Namun, meskipun telah tiada, cahaya mereka masih urup. Masih menerangi kita, santri-santrinya.

Muhammad Ulinnuha

Santri Pondok Pesantren An Nur Bantul. Hobi membaca, menulis, dan menyapu halaman.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button
WeCreativez WhatsApp Support
Tim dukungan pelayanan kami siap menjawab pertanyaan Anda. Tanyakan apa saja kepada kami!
Hai, ada yang bisa saya bantu??