Sastra

Ayat-Ayat Langit dan Bumi

Hidup bukan hanya tentang huruf dan bacaan, tapi juga tentang bagaimana ayat-ayat itu menjelma dalam perbuatan.

Pesantren Al Ikhlas yang berdiri di pinggiran kota kecil di lereng gunung. Tanahnya subur, udaranya sejuk, dan di pinggir pesantren mengalir sungai kecil yang dulunya jernih. Namun, sejak beberapa tahun terakhir, sungai itu berubah. Airnya keruh, bau busuk menyengat, dan plastik berserakan di mana-mana. Tak jelas siapa yang memulainya santri, warga, atau pedagang sekitar.

Fikri, santri kelas akhir aliyah, adalah anak yatim piatu yang menghabiskan masa remajanya di pesantren itu. Sejak kecil, ia bercita-cita menjadi hafidz Al-Qur’an. Ibunya wafat saat ia berusia sepuluh, ayahnya setahun kemudian. Amanah terakhir orang tuanya hanya satu: “Nak, jadilah penjaga Kalamullah.”

Fikri memegang teguh amanah itu. Ia rajin murojaah, bangun malam, dan setiap usai subuh selalu menyendiri di bawah pohon tua, menghafal ayat demi ayat dengan suara lirih.

Namun, beberapa bulan terakhir, fokusnya pecah. Bukan karena jenuh, bukan karena hafalannya sulit, tapi karena pemandangan di sekeliling pesantren membuat hatinya gelisah. Sampah menumpuk, halaman kotor, dan sungai berbau busuk. Ia merasa ada yang ganjil. Bagaimana mungkin para penjaga ayat-ayat langit abai terhadap bumi yang juga ayat?

Suatu malam, setelah tahajud, Fikri membuka tafsir surah Ar-Rum ayat 41: “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia…”

Dadanya bergetar. Matanya panas. Ia menutup mushaf perlahan dan berbisik, “Ya Rabb, aku tak ingin sekadar hafidz yang fasih lisan, tapi mati rasa dengan bumi-Mu.”

Hari-hari berikutnya, Fikri mulai beraksi. Ia ajak sahabatnya, Ilham, berkeliling pesantren memungut sampah. Awalnya hanya berdua. Santri lain memandang aneh.

READ  Sarung Lebaran

“Ngapain bersihin sampah, Fik? Kan ada petugas kebersihan,” celetuk salah satu teman.

Fikri tersenyum. “Kalau kita bisa hafal Al-Qur’an yang panjang, masa pungut sampah saja nggak kuat?”

Kata-katanya menyentuh. Beberapa santri mulai ikut. Perlahan, gerakan kecil itu menjadi besar. Mereka membuat Bank Sampah Santri Al Ikhlas. Fikri mengusulkan ide untuk menukar sampah daur ulang dengan infaq bagi anak yatim dan perbaikan fasilitas pesantren.

Namun, jalannya tak selalu mulus.

Ada beberapa santri senior yang mengejeknya.

“Santri kok jadi tukang sampah? Nanti tanganmu bau, susah hafalan.”

Ada pula warga sekitar yang tak senang karena gerakan Fikri dianggap menyindir kebiasaan buruk mereka membuang sampah sembarangan.

Suatu sore, saat Fikri dan Ilham memunguti sampah di pinggir sungai, tiba-tiba seseorang melempar kantong plastik hitam dari jembatan. Plastik itu jatuh persis di dekat kaki Fikri. Bau busuk menyengat. Terdengar tawa mengejek dari kejauhan.

Ilham mendekat, wajahnya kesal. “Kita diludahi kebaikan, Fik.”

Fikri diam lama. Lalu ia tersenyum lebar.

“Biarkan mereka buang sampah, Ham. Kita buang ego.”

Kalimat itu yang menguatkan mereka. Fikri menanamkan pada teman-temannya: kebersihan bukan hanya soal bumi, tapi juga soal hati. Bersih bumi, bersih hati, bercahaya hafalan.

Waktu berlalu. Gerakan bank sampah mereka diliput media lokal. Beberapa pesantren tetangga mulai meniru. Bahkan, Dinas Lingkungan Hidup datang memberi dukungan alat daur ulang sederhana.

Fikri makin semangat. Ia menulis buletin kecil berjudul “Ayat-Ayat Langit dan Bumi”, isinya renungan tentang bagaimana Al-Qur’an dan lingkungan adalah dua sisi yang tak terpisahkan. Buletin itu disebarkan tiap pekan ke masjid-masjid kampung.

Tahun terakhir di pesantren, Fikri menuntaskan hafalan 30 juz. Kyai Abdullah, pengasuh pesantren, bangga bukan main.

READ  Pendosa Mendamba Malam Mulia

Pada malam Khataman Akbar, setelah Fikri menuntaskan bacaan surah An-Naas, Kyai Abdullah memintanya duduk di depan para hadirin. Suaranya bergetar, penuh haru.

“Fikri, engkau bukan hanya hafidz Kalamullah. Engkau telah hidupkan ayat-ayat-Nya di bumi. Pesantren ini bersih, sungainya jernih, bukan karena uang atau kekuasaan, tapi karena cinta dan ketulusanmu. Engkau ajarkan kami, menjaga bumi bagian dari menjaga ayat.”

Air mata Fikri tumpah. Ia menunduk dalam-dalam. Teringat wajah ibu dan ayahnya, amanah mereka kini telah lunas.

Beberapa tahun kemudian, Fikri mendirikan Pesantren Tahfidz dan Lingkungan Qur’ani di kampung halamannya. Santri-santri belajar tak hanya menghafal Al-Qur’an, tapi juga bertani organik, memilah sampah, dan menjaga sungai.

Di gerbang pesantren tertulis kalimat yang menjadi prinsip hidupnya:

“Barang siapa menjaga Kalamullah, jagalah pula ciptaan-Nya. Karena ayat-ayat langit dan bumi adalah tanda cinta-Nya yang nyata.

Langit membiru jernih. Sungai mengalir tenang.

Ayat-ayat Allah tak hanya terdengar di bibir, tapi hidup di bumi yang asri.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Check Also
Close
Back to top button
WeCreativez WhatsApp Support
Tim dukungan pelayanan kami siap menjawab pertanyaan Anda. Tanyakan apa saja kepada kami!
Hai, ada yang bisa saya bantu??