Menyelami Buku Cerita Sufi “Merasa Pintar Bodoh Saja Tak Punya”
Judul: Merasa Pintar, Bodoh Saja Tak Punya (Kisah Sufi dari Madura).
Penulis: Rusdi Mathari.
Penerbit: Buku Mojok.
Tahun Terbit: September, 2016.
Tebal Buku: xvii + 226 halaman
Nomor ISBN: 978-602-1318-40-9.
“Kita rajin berdoa di masjid, lalu merasa bertemu dengan Allah. Padahal Ketika Allah kelaparan, kita tidak pernah memberi makan. Allah sakit, kita tidak menjenguk…”– kutipan halaman 149.
Mulanya buku ini adalah tulisan berseri selama kurang lebih dua tahun di situs web Mojok.co. Sejak kali pertama tayang, kisah sufi dari Madura bertokoh Cak Dlahom ini banyak digemari pembaca. Tercatat sedikitnya tulisan ini telah dibaca 10 juta oleh 6 juta orang pemirsa situs Mojok.co.
Buku Merasa Pintar, Bodoh Saja Tak Punya (Kisah Sufi dari Madura) Mengambil setting tempat di Madura. Menceritakan kisah tentang kehidupan sehari-hari seorang laki-laki yang dianggap ‘gila’, orang-orang biasa memanggilnya dengan Cak Dhalom. Ia adalah seorang duda tua yang hidup sendiri di sebuah gubuk dekat kandang kambing milik Pak Lurah. Cak Dhalom kerap menjadi komentator atau penyulut perbincangan mengenai substansi ibadah, yang membuat para tetangganya merenungkan ulang pemahaman mereka atas agama islam. Sikap dan tingkah lakunya yang aneh sehingga ia dianggap orang yang kurang waras oleh warga terutama anak-anak yang sering mengejeknya, namun ia tak pernah sekalipun menggubris sikap mereka dan sering kali malah membenarkan apapun yang diucapkan oleh warga tersebut mengenai hinanya dirinya. Perkataan yang ia lontarkan selalu mampu membuka lebar cara berfikir terhadap Tuhan semesta alam dan peribadahan kepada-Nya dengan gayanya yang khas, yaitu berbicara santai sembari ketawa cekikikan namun mampu membantah semua argumen.
Cerita di buku ini menggunakan sudut pandang orang ketiga. Dengan pelakonan tokoh utama yang terkesan nyeleneh mampu menghidupkan cerita melalui tingkah lakunya, dialognya, maupun pemikirannya. Buku Merasa Pintar, Bodoh Saja Tak Punya ini menggunakan rentang waktu selama ramadhan, terbagi menjadi dua yaitu ramadhan pertama dan ramadhan kedua. Setiap bab menceritakan tema yang berbeda namun keseluruhannya menjadi berkesinambungan. Meskipun tiap-tiap bab mengandung Mutiara hikmah tersendiri, namun sangat dianjurkan untuk membaca buku ini secara runtut, hal tersebut karena penokohan dikenalkan sejak awal dan berkaitan (Mat Piti, Ramlah, Gus Mut, Pak Lurah, dll).
Dalam buku ini, setiap cerita dapat diambil hikmah dan pelajarannya oleh pembaca. Tanpa terkesan menggurui dan diaplikasikan menggunakan Bahasa yang mudah, buku Merasa Pintar, Bodoh Saja Tak Punya menyampaikan maksud penulis kepada pembaca dengan dialog-dialog yang dekat dengan kehidupan sehari-hari, sehingga pembaca dapat dengan mudah memahaminya.
Dalam menyelami buku ini, banyak kalam hikmah yang terasa ‘klik’ di hati kala membacanya. Satu diantaranya saya tertarik dengan quotes halaman 101. Yang merenungkan mengenai hakikat ibadah mahdhah kita sehari-hari yakni shalat. Pada sub-judul “Kata Siapa Kamu Muslim?” ini disajikan macam-macam perenungan tentang shalat, apakah shalat yang kita amalkan setiap hari merepresentasikan penghambaan kita dan benar-benar menyembah Tuhan, atau malah sebenarnya kita hanya menyembah hawa nafsu kita.
“Benar Marja, saya memang sesat. Karena itu Allah mewajibkan saaya untuk selalu mebaca ‘Tunjukkanlah aku jalan yang lurus’ setiap kali saya shalat. Tujuh belas kali sehari semalam”. -kutipan halaman 101.
Lewat tulisan penulis ini, tentunya hanya secuil yang dapat digambarkan. Di dalam buku Merasa Pintar, Bodoh Saja Tak Punya, kita akan menjumpai cerita menarik dengan judul-judulnya yang nyeleneh tapi tak kalah bermakna.
Seperti salah satunya : “Cak Dlahom Mengaku Anjing”;. Dibungkus dengan cerita Cak Dlahom yang bertelanjang sambil memeluk anjing yang entah dari mana di pekarangan kambing Pak Lurah, yang lantas membuat warga bingung dan marah. Dipaparkan Mutiara hikmah mengenai perlunya ada batasan-batasan dalam menilai seseorang seprti yang dikatakan oleh Cak Dlahom dalam dialognya “Aku juga tak berani memberi cap kepada siapa oun dengan apa pun. Puncak keberanianku hanya meremehkan diriku sendiri”. (halaman 27). Ungkapan itu mengkaji prespektif masyarakat kita yang gemar memberikan cap atau judge terhadap orang lain.
Sebagai catatan, dalam menyelami buku ini, karena menggunakan pendekatan sufistik, tidak disarankan untuk menelan mentah-mentah isi dari buku ini meski sebagian besar makna dari buku ini merupakan adaptasi dari kisah yang diceritakan dari kitab, cerita Emha Ainun, bahkan sirah nabawiyah. Kita mesti berguru lagi. Selamat Membaca:)
Penulis : Brilyan Kesuma