Artikel

Senja di Sepotong Pagi

Oleh : Widya Pembayun

Raihan duduk di bawah pohon randu, memandang ayahnya yang masih sibuk membagikan bungkusan sembako pada orang-orang di bawah jembatan. Banyak diantara mereka yang masih meringkuk berselimut kabut. Raihan tak heran, terang saja mereka masih tidur karena ayahnya berkunjung terlampau pagi. Meski begitu cewek disampingnya sudah terduduk nyaman sedari tadi. Menikmati tarian gunting tukang pangkas di atas rambut lebatnya. Dia terlihat beberapa tahun lebih muda dari raihan.

Dilatarbelakangi cahaya matahari yang mulai meninggi, Raihan kembali mengamati orang-orang yang mengantri di depan mobil box ayahnya. Seorang bocah kecil dekil terlihat berlari girang menghampiri cewek di sisi lain pohon randu.

“Kak, Aisy dapat makanan enak-enak, banyak lagi!” belasnya putih.

“Ikannya juga ada Kak, ikannya ajaib! Bisa idup di akualium kecil! Aisy belum pernah lihat akualium kaya tadi. Akualiumnya kaya kaleng takal gelas Koh A Cong!” Aisy berkata riang dengan lidah cedalnya.

Raihan menahan tawa mendengar celoteh polos bocah kecil itu. Cewek di samping Raihan selesai dengan  rambutnya yang kini tinggal sebahu, mengacak pelan rambut ikal bocah kecil di depannya yang masih kagum dengan  ikan sarden di tangannya.

“Kalau gitu bilang apa dong?”

“Eh? bingung harus berkata apa memang?”

“Alhamdu…” pancing si cewek.

“Oh, Alhamdulillah.” Raihan Tersenyum sinis mendengar ucapan bocah ikal itu.

“Kenapa? Ada masalah?” Tanya si cewek tak bersahabat melihat senyum seringai Raihan.

“Bisa-bisanya Kamu mengajarkan hal bodoh itu pada  bocah sekecil dia. Alhamdulillah? Berterimakasih pada sesuatu yang ngga’ nyata? Emang kamu pikir semua sembako itu jatuh dari langit? Seharusnya ayah yang dapat ucapan terimakasih!”

“Heh, ayah kamu itu cuma perpanjangan tangan. Semua itu kalau bukan karena kasih sayang Allah ngga’ bakalan terjadi. Heran deh, bisa-bisanya Haji Sa’ud punya anak mental atheis macam kamu!”

READ  Cs : Rame Community

“Kasih sayang? Kalau benar kasih sayang tuhan itu ada, ngga’ bakalan ada gelandangan, pengemis, dan orang-orang menyedihkan lainnya, ngga’ bakalan ada orang menderita kalau memang Tuhan itu ada!” Raihan puas melihat kata-katanya tak terbantahkan cewek bermata bening di depannya.

“Huh!” cewek itu memutuskan pergi, mendengus sebal karena kehabisan amunisi untuk menyerang Raihan.

***

Ketika tuhan para majusi mulai terik, ayah Raihan sudah selesai dengan bungkusan sembakonya. Mereka siap pergi.

“Sreeeet…,” Raihan ditarik paksa seseorang dari belakang.

“Apaan sih?!” spontan Raihan mengibaskan tangannya.

“aku juga ngga’ percaya Tukang Pangkas itu ada!”

“Hah?!” Raihan menatap bingung.

“Aku bilang aku ngga’ percaya kalau tukang pangkas itu ada!!”

“Apa maksud kata-katamu bodohmu itu, bodoh?” barusan siapa yang potong rambut medusa[1]mu kalau bukan tukang pangkas rambut?” Raihan tertawa geli.

“Nyatanya masih banyak orang gondrong!” kata cewek di depan Raihan ngotot.

“Itu karena mereka ngga’ mau kesalon, mereka ngga’ berusaha biar rambut mereka ngga’ gondrong, bodoh.”

“Begitu juga orang-orang yang kamu bilang menyedihkan tadi. Sebenarnya Allah dan kasih-Nya itu ada. Hanya saja mereka yang bodoh ngga’ mau berusaha, buat ngedapetin yang lebih, Tolol!” cewek itu terlihat puas melihat raihan tertegun kalah.

“Senja…ayo pulang…!” teriak laki-laki paruh baya dari dalam viat di sebrang jalan.

“Iya Bi…Dadah Mr. Atheis.” Senja berseri meninggalkan Raihan, meninggalkan pekat yang memudar di hatinya. Meneteskan setitik cahaya senja yang mengikis sisi gelap Raihan menjadi putih yang berpendar.

***

Raihan tersenyum mengingat kejadian tujuh tahun silam. Sekarang saat dia kembali dari program beasiswa strata duanya di salah satu Negara Timur Tengah, dia meneruskan tradisi sepuluh muharram ayahnya, ditempat dan potongan waktu yang sama, pagi hari di pemukiman yang juga masih kumuh di bawah jembatan, di bawah pohon randu yang sama juga.

READ  Merajut Cinta Membangun Asa

“Jadi pengen potong rambut lagi di sini.”

“Botakin aja sekalian kaya tentara,” canda Raihan sedikit ketus.

“Ngga’ masalah,” kata lawan bicara Raihan enteng.

“Dasar! Awas saja kalau sampai berani,” gerutu Raihan sambil mengacak gemas jilbab putih separuh diennya. Senja yang ia temukan di potongan yang lain tujuh tahun silam.


[1] Medusa : Hantu perempuan dengan rambut berupa setumpuk ular hidup.

Bahrul Amiq

Who iam i? Orang tanah sebrang yang sedang ingin menjadi orang di tanah Jogja. Hobi menjelajah alam, dan disini hanya sebagi admin dan tukang posting. Klik Icon kecil dibawah ya...!

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Check Also
Close
Back to top button
WeCreativez WhatsApp Support
Tim dukungan pelayanan kami siap menjawab pertanyaan Anda. Tanyakan apa saja kepada kami!
Hai, ada yang bisa saya bantu??