Mengenal Ilmu Tauhid dalam Kitab Idhoatul Dujannah
www.annurngrukem.com – Tauhid secara singkatnya adalah mengesakan Allah SWT yang disebut dalam syahadatain yang kalimatnya terdiri atas dua bagian. Pertama, syahadat tauhid yang berarti mengesakan Allah SWT. dengan cara meyakini bahwa tiada Tuhan yang wajib disembah kecuali Allah SWT.
Kedua, syahadat rasul yang berarti mengucapkan dan meyakini dalam hati bahwa Nabi Muhammad SAW bin Abdullah bin Abdu Manaf al-Qurasyi adalah hamba Allah yang diutus sebagai rasul yang terakhir dan dikenal dengan akhlak karimah untuk rahmat seluruh makhluk.
Imam al-Mukri mengatakan dalam kitabnya bahwa sesungguhnya Allah memiliki 20 sifat wajib dan mustahil serta memiliki sifat jaiz yaitu “Fi’lu Kulli Munkinin Au Tarkuhu”. Redaksi tersebut bermaksud bahwa Allah berwenang untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu.
Hal ini bukan berarti Allah tidak mampu melakukannya, akan tetapi akankah sesuatu yang mustahil itu dimiliki oleh Allah? Sungguh tidak mungkin, sedangkan Allah SWT adalah “Kamal” (baca: Zat yang maha sempurna dan suci dari segala sifat kekurangan).
Bagi makhluk mukalaf wajib mempelajari ilmu tauhid, sebab ilmu tauhid adalah dasar agama Islam dan dengan ilmu ini seseorang akan selamat di dunia dam akhiratnya.
Sesungguhnya ilmu tauhid adalah cahaya untuk menerangi manusia dari bahaya “Taqlid” (mengikuti tanpa adanya dasar). Ilmu tauhid memiliki kemanfaatan yang dapat diambil oleh manusia yaitu dengan ilmu tauhid ini manusia terjamin keselamatannya.
Banyak para ulama yang telah mengarang sebuah kitab yang isinya hanya membahas ilmu tauhid baik dalam bentuk prosa, puisi, maupun nazam di antaranya adalah kitab “Aqidatul Awwam” yang merupakan kitab tauhid dasar dan terkenal.
Salah satu ulama yang membahas ilmu tauhid adalah Syekh Ahmad Al Muqorri Al Maghribi Al Maliki Al Asy’ary. Beliau adalah guru yang mengajar ilmu tauhid.
Berdasarkan latar belakang tersebut al-mualif kitab ini, diminta untuk mengarang kitab yang membahas ilmu tauhid, akan tetapi Beliau menolak permintaan itu dengan sopan dan mengatakan: “Li Annani Dzu Khotho I Wa Jahli” yang artinya (Sesungguhnya saya adalah orang yang tidak tahu dan bodoh)
Bagaimana mungkin seseorang yang mengajar dan dia mengakui dirinya atas ketidakpahamannya terhadap ilmu. Alasan inilah yang menjadi sebab bagi orang yang terus-menerus meminta dan mendesak kepada Syekh Ahmad untuk dikarangkan kitab yang membahas ilmu tauhid.
Berkah sifat tawaduknya akhirnya Allah memberikan anugerah yang lebih baik kepada beliau sehingga menerima permintaannya dan berniat untuk mengarang kitab khusus membahas ilmu tauhid. Dengan adanya kitab ini, Syekh Ahmad berharap agar orang-orang yang mempelajarinya akan terpenuhi seluruh hajatnya di dunia dan akhirat.
Kesimpulan dalam tulisan sederhana ini, kita sebagai santri harus lebih memperkuat tauhid kepada Allah SWT. Di sisi lain, sebagai santri harusnya memiliki sifat tawaduk(baca: rendah hati) sebagaimana yang telah dicontohkan oleh al–mualif kitab ini.
Al-mualif kitab ini mempraktikkan bukti bahwa tauhid yang ada di hatinya sangat tinggi dengan mengedepankan akhlaknya ketimbang keilmuannya. Hal ini yang harunya menjadi perhatian kita sebagai santri untuk lebih meningkatkan pemahaman kita terhadap tauhid dan mengamalkannya dalam kehidupan kita.
Dalam situasi bulan Ramadan seperti ini kita sebagaim muslim, terlebih sebagai santri dihadapkan dengan kewajiban berpuasa. Hal inilah yang menjadi jalan untuk meningkatkan ketauhidan kita kepada Allah SWT. wallahualam
*Tulisan ini dikutip dalam kitab Idhoatul Dujannahkarya Imam Ahmad al-Maqarry hal 4 yang menjadi kajian di bulan Ramadan di Pondok Pesantren An Nur Ngrukem Komplek Nurul Huda yang diampu oleh guru kami tercinta Agus Muhammad Rumizijat.
_______________________
Oleh: Imam Aji Al-Marisi
Sipp?