Sepotong Episode Kehidupan
Oleh: Fiya Annaura
Namaku Dinda. Sebelum cerita itu melesat dan menikam ulu hati,
bagiku persahabatan adalah laksana mercusuar yang bersinar bebas dalam gelapnya
malam , laksana tongkat ada dikala kita rapuh ,mereka asa walau tak selalu
bersama dan untaian mutiara doa akan terus mengalir dalam pusaran sebuah
persahabatan .Ternyata kenyataan kadang seperti bumerang. Yang berharap
menjauh, yang dicegah malah beruntun. Kini malam makin menggurita tapi asramaku
tetap terjaga, seolah waktu adalah sang raja dan aku tetap dengan monologku,
dengan dinding yang aku yakini tidak akan pernah lelah mendengar dan tetap
putih dan diam seperti mayat.
Kuceritakan padamu kawan kegembiraanku memiliki mereka. Mereka yang bagiku
bagai obor generasi muda, teman dunia akhirat dan kristal yg aku
jaga. Ah…itu sebelum cerita itu datang .kini kawan sebesar alam raya inikah
salahku padamu? Karena aku jarang nimbrung dalam obrolanmu? Ah kalau itu kawan,
aku punya alasan tersendiri…karena Tuhan menciptakan kita berbeda –beda
dan saling melengkapi, kupikir kaulah potongan-potongan pelengkap hidupku. Atau
bukan itu kesalahanku? Terlalu angkuhkah aku padamu kawan? Apa lidah ini
setajam samurai yang mengoyak isi hatimu? Padahal aku masih menghutang kekuatan
matahari, bumi, dan gunung untuk tersakiti kenyataan.
Aku
masih hutang pada mereka untuk sapaan halus tanpa topeng, untuk do’a yang
terlantur dalam lidah keluku dan untuk tetap membanggakanmu. Semua tanpa
topeng. Ikhlas untukmu. Tapi aku bukan malaikat atau nabi atau sahabatnya. Aku
Dinda, berusaha berbagi tanpa hasrat untuk diberi. Aku Dinda, tertatih-tatih
walau jalan semakin tidak berhati. Malam tepat di
sepertiganya. Lantai pun sedingin es di jayawijaya, dan asrama tepat seperti
kuburan tua. Kutarik selimut tebalku dan mataku seperti bianglala yang terus
berputar tanpa pelumas. Kesat.
Aku Alisa. Kegemaranku menjadi-jadi ketika sekelompok persahabatan itu mulai
goyah oleh ruang dan waktu. Aku mungkin bagai setan yang mulai menyematkan
kata-kata halusku kepada Dinda, sahabat mereka. Akan kubuat Dinda percaya bahwa
akulah orang yang terpeduli pada kawan seperti dia. Kuberikan berita tentang
perasaan sahabat-sahabatnya terhadap dia, bahwa mereka mengatakan di belakangmu
“ini dan itu”. Tapi sayang Dinda seolah-olah tidak tertarik dengan kata-kata itu,
tapi aku berhasil membuatnya tercengang, satu langkah berhasil.
Jam mulai menunjukkan pukul dua belas, tapi sang matahari tidak mampu menembus
awan gelap yang memeluk bumi. Dan aku melihat Dinda duduk khusyuk melantunkan
ayat-ayat suci yang ia hafal.
“ah…sungguh rajinnya.”
Kadang aku bingung dengan hati ini yang selalu sakit jika melihat persahabatan
mereka yang begitu dekat, sesak rasanya. Padahal mereka sungguh baik padaku.
Dosakah aku Tuhan padahal aku sendiri tidak menginginkan rasa ini datang dan
mengganggu mereka. Tapi rasa ini datang menghujam dan akhirnya kakiku tergerak
mendekat ke arah Dinda duduk. Kuceritakan lagi cerita itu, bahwa mereka
sangat membencinya. Kali ini Dinda berkata dengan air mata terurai.
“Alisa…apakah kita melakukan kebaikan hanya karena berharap orang lain akan
berbuat baik kepada kita? Tentu tidak. Pastikan kita berbuat baik karena Allah
menyukai kebaikan. Dan Dia akan meridhoinya.”
Ah…kata-katanya sungguh mulia. Tapi aku tetap tidak goyah sedikitpun.
Rencana ke dua berhasil, dan persahabatan itu akan hancur. Selanjutnya semua
berjalan lancar sesuai rencana.
Sampai
pada suatu ketika aku melihat Dinda tertidur dengan mata sembab di depan
kamarnya, dengan tangan yang masih menggenggam pena dan buku yang masih tergeletak
di sampingnya. Aku berusaha tidak peduli tapi tidak bisa. Aku melihat isi buku
itu yang tulisannya hampir luntur akibat tetesan air mata.
“kawan jika aku salah, tegurlah aku dengan kebijaksanaanmu, jangan memakai
topeng manismu. Ku mohon…ya Allah…kini aku mulai bingung mana teman mana
lawan, mana saudara mana musuh. Yang kutahu aku hanya dapat berdo’a siapaun dia
yang tersakiti dan menyakiti maafkan kami, dan lapankanlah hati kami dalam
menerima semua takdirmu. Karena hidup harus tetap berlanjut walau terkadang
takdirpun kurang ramah.”
Tidak
terasa air mataku meleleh hatiku hangat, dan aku merasa melihat ribuan
malaikat mengamini do’anya yang tulus, dan hatiku lapang, benar-benar lapang.
***
Aku
Santika sahabat Dinda, aku benar-benar bahagia dan bangga pada persahabatan
kami. Walau dia kadang tidak bersama kami. Aku tahu dia memang punya kesibukan
itu, tapi terkadang aku juga meridukannya. Menurutku Dinda baik, ramah, tapi
kadang tajam juga kata-katanya. Tapi itu tidak masalah, dan jika sakit hati
paling satu dua hari sudah lupa. Memang masalah komunikasi kurang tapi kita
tetap sahabat dunia dan akhirat. Dan aku menyukai persahabatan kami.
***
Dinda. Aku sangat lelah dan kini aku berada di titik nol
kehidupan yang berujung kepasrahan sampai aku menangis dan tertidur di depan
kamarku dan pada saat itu aku bermimpi melihat sebuah bayangan besar, bercahaya
dan bersayap mendekapku dan berbisik
“amiiin….”