Pojok Santri

Wacana Menghapus UN: Bisakah Terealisasi?

Berulangkali muncul wacana untuk menghapus Ujian Nasional (UN), yang selama ini berlaku di jenjang Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama(SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA) atau yang sederajat. Berulangkali pula hal ini hanya sebatas angan-angan semata tanpa ada kejelasan yang membuahkan hasil.

Belum lama ini, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Anwar Makarim menyatakan sedang mengkaji penghapusan UN. Evaluasi seputar pelaksanaan UN didasari banyaknya usulan masyarakat yang peduli atas masa depan pendidikan bagi generasi bangsa ini. Masyarakat memandang bahwa UN memiliki dampak negatif yang menyebabkan proses pendidikan di sekolah cenderung tidak berkembang.

Salah satu dampak negatif yang mengemuka ialah tidak populernya mata pelajaran selain yang diikutkan dalam UN. Padahal jika dicermati seksama, setiap murid sejatinya berprestasi. Namun tidak semuanya unggul di mata pelajaran yang masuk kategori UN.

Demikian juga yang terjadi pada guru. Seringkali perjuangan mereka yang membimbing murid dalam mata pelajaran selain yang diujikan melalui UN serasa tidak menonjol. Perjuangan mereka dipandang sebagai pelengkap, bukan pendukung keberhasilan murid agar bisa mengakhiri masa belajar di sekolah dengan Khusnul khatimah.

UN mempunyai sejarah yang cukup menarik disimak sebagaimana tercatat di puspendik.kemendikbud.go.id

Pada tahun 1950-1964 diselenggarakanlah Ujian Penghabisan yang menjadi istilah pertama dalam sistem pendidikan nasional. Soal-soal ujian berbentuk uraian yang dibuat oleh Departemen Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan.

Kemudian tahun 1965-1971, sistem ujian akhir yang diterapkan bernama Ujian Negara. Tujuannya yaitu sebagai penentu kelulusan agar dapat melanjutkan ke sekolah negeri atau perguruan tinggi negeri. Sedangkan bagi yang tidak lulus tetap memperoleh ijazah dan bisa melanjutkan ke sekolah atau perguruan tinggi swasta.

Bahan ujian disiapkan seluruhnya oleh pemerintah pusat. Naskah soal berupa uraian dengan tingkat kesulitan relatif tinggi. Sehingga diharapkan mampu menghasilkan lulusan yang berkualitas.

READ  Pojok Santri#9 (Mengenal Tangga Menggapai Taufik)

Berikutnya tahun 1972-1979, istilah Ujian Negara diganti menjadi Ujian Sekolah. Semua bahan ujian disiapkan masing-masing sekolah. Mutu soal ujian bervariasi sesuai dengan kualitas dan kebijakan pihak sekolah penyelenggara.

Pada masa ini tidak ada penyebutan lulus dan tidak lulus bagi peserta yang mengikuti Ujian Sekolah. Tetapi menggunakan istilah Tamat sebagai penanda berakhirnya pendidikan di sekolah.

Tahun 1980-2002, Ujian Sekolah berganti nama menjadi Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (Ebtanas). Setiap peserta didik yang telah mengikuti Ebtanas dan dinyatakan lulus akan memperoleh Surat Tanda Tamat Belajar (STTB).

Tahun 2003-2004, Ebtanas diganti dengan Ujian Akhir Nasional (UAN). Istilah ini hanya berlangsung singkat, sebab di tahun 2005-2013 menggunakan nama Ujian Nasional (UN). Secara khusus, UN diatur oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) yang dibantu Pusat Penilaian Pendidikan (Puspendik).

Pemakaian istilah UN tetap dilanjutkan sampai sekarang dengan beberapa perubahan teknis dalam pelaksanaannya. Sebagai tambahan informasi, bahwa mulai tahun 2017 UN diupayakan mengikuti perkembangan teknologi, yakni dimulainya penggunaan komputer sebagai media menjawab soal ujian.

Kabar terakhir dari Kemendikbud, untuk tahun 2020 tetap diselenggarakan UN sebagai respon dari kondisi yang ada di lapangan. Pengelola sekolah dan madrasah (yaitu MI, MTs dan MA yang berada dalam naungan Kementerian Agama) telah melakukan berbagai persiapan jauh-jauh hari. Turut pula guru dan murid yang sudah menyediakan waktu khusus guna menghadapi UN.

Sehingga, boleh dikata UN 2020 “dengan terpaksa” mesti dilangsungkan untuk terakhir kalinya. Pertanyaannya, apakah benar-benar menjadi yang terakhir? Sungguh wacana ini memang rumit apabila mengacu pada sejarah UN dan polemik yang terjadi di masyarakat.

Sederhananya, dasar diadakannya UN ialah untuk menggiatkan guru dan murid dalam kegiatan belajar mengajar (KBM). Layaknya meningkatkan motivasi yang didapat melalui kompetisi. Hal ini pun mau tidak mau, suka tidak suka, perlu diterapkan dalam pendidikan akhir sekolah.

READ  Haul Ny. WALIDAH MOENAWWIR: Menghadiri Majelis Haul danEkspresi Kecintaan Pada Guru

Pemerintah berharap tinggi agar sekolah menghasilkan lulusan yang berkualitas. Meratanya mutu pendidikan nasional. Menaikkan gengsi internasional.

Ambisi besar tersebut sedianya dapat terwujud jikalau pola pikir kita telah menemukan jalan kebenarannya. Apa yang dilakukan selama ini masih terpusat pada hasil dan mengesampingkan proses. Akibatnya, banyak potensi peserta didik yang mandek alias tidak berkembang.

Fakta menyedihkan telah berkali-kali terjadi. Kecerdasan murid dilihat sebatas penguasaannya terhadap mata pelajaran yang diujikan sewaktu UN. Murid yang lemah di bidang itu akhirnya harus menelan pil pahit, cibiran dari lingkungan sekitarnya.

Semua peserta didik butuh bimbingan untuk mengembangkan potensi dirinya. Peran sekolah sangat penting -terutama guru- dalam membantu perkembangan ini. Sayangnya, selain fokus pada materi UN dan segala kelengkapannya, pendidik dan tenaga kependidikan lebih disibukkan dengan berbagai kerja administrasi.

Memang administrasi penting dikerjakan demi mengontrol kinerja. Namun penting juga rutin dievaluasi terkait fungsi dan manfaat administrasi itu sendiri. Sangat tepat apabila administrasi menjadi sesuatu yang memudahkan, bukan menyulitkan.

Banyak hal yang justru menjauhkan generasi muda bangsa ini dari hakikat pendidikan itu sendiri. Mayoritas murid menghabiskan waktunya di dalam kelas. Mereka kurang dilatih bagaimana cara beradaptasi dengan lingkungan. Akibatnya, nilai-nilai luhur seperti kejujuran, tanggung jawab, kesopanan, kepedulian dan kebersamaan kian luntur.

Lihatlah betapa banyak murid-murid yang mengendari motor dengan knalpot blombongan. Mereka merasa bangga dan tidak peduli dengan kondisi di sekitar. Bagi mereka, seperti itulah model berkendara yang keren, bagai raja jalanan.

Padahal, suara knalpot tersebut memekakkan telinga. Mengakibatkan efek negatif bagi lingkungan. Rawan menimbulkan konflik sosial.

Belum lagi persoalan sampah yang dibuang sembarangan. Nyatanya tidak semua sekolah mengajarkan arti penting membangun kesadaran terhadap kebersihan lingkungan. Maka tak heran kalau banyak masyarakat yang terbiasa sembarangan membuang sampah.

READ  Pojok Santri#2 (Karena Semesta Adalah Guru)

Contoh-contoh diatas nyaris setiap hari mudah ditemui. Artinya, ada kekeliruan besar dalam proses pendidikan kita. Bisa jadi karena lebih mengedepankan aspek keberhasilan dalam menuai angka-angka penanda prestasi sesaat.

Lembaga pendidikan kita perlu didekatkan kembali dengan kearifan lokal sebagai salah satu langkah pembentukan karakter.Prestasi peserta didik baiknya ditentukan dari kemampuannya menemukan jati diri bukan citra diri. Jati diri ialah kepribadian yang ada pada masing-masing orang. Apabila jati diri telah berhasil ditemukan, berarti saatnya menyambut kebaikan.

Akhirnya, mungkinkah sistem pendidikan kita kedepan mengalami perubahan yang begitu baik?. Mari kita saksikan apa kebijakan Mendikbud berikutnya.

Penulis: Muhamad Taufik

.

IKUTI OFFICIAL RESMI KAMI:

Facebook – pondok pesantren tahfidz an-nur

Instagram – @annurngrukem

Twitter – @annurngrukem

YouTube – annurngrukem

M Taufiq

Lahir di Denpasar Bali. Pendidikan MTs hingga Perguruan Tinggi di Pondok Pesantren An-Nur. Kini bersama keluarga tinggal di Banguntapan Bantul.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button
WeCreativez WhatsApp Support
Tim dukungan pelayanan kami siap menjawab pertanyaan Anda. Tanyakan apa saja kepada kami!
Hai, ada yang bisa saya bantu??