Cerita Mini Santri 2
Tak Dapat Warisan Tirakat
Ihsan adalah salah satu santri yang sudah terhitung sepuh di Pondok Pesantren Darul Ayam. Namun meskipun umurnya sudah seperempat abad, ia tetap saja tak ada kemajuan dalam memahami pelajaran pesantren.
Bagaimana tidak, sudah 10 tahun ia nyantri, ia masih saja tinggal di kelas satu Madrasah Diniyah karena tidak naik kelas. Meski begitu, ia tidak malu dan tetap semangat belajar karena punya cita-cita menjadi pendakwah.
Saat kajian kitab madrasah pagi, seorang Ustadz Pesantren bercerita tentang pendakwah bernama Gus Iqdam yang viral dan memiliki ratusan ribu jamaah. Beliau bercerita, selain berusaha belajar, doa orang tua juga penting dalam proses belajar kita.
“Menurut pengakuannya, Gus Iqdam itu, mondok di Ploso itu hanya empat tahun. Iya cuma empat tahun. Namun karena khidmah beliau, serta tirakat doa -doa dari mbah-mbahnya, di umurnya yang masih muda beliau jadi bisa jadi seperti sekarang ini. Punya ratusan ribu jamaah. Ya begitulah kekuatan doa dan tirakat.” tambah Ustadz saat bercerita.
Ihsan hanya manthuk-manthuk mendengarnya seolah menemukan akar masalah kenapa ia tak kunjung pandai. Setelah kajian selesai, ia izin buru-buru pergi. Karena gerak-geriknya yang terlihat gelisah, Pak Ustadz pun diam-diam mengikutinya dari belakang.
Ternyata si Santri pergi ke makam simbahnya yang tak jauh dari pesantren.
“Oh, ternyata karena ngaji tadi, dia langsung mempraktikkan mendoakan leluhurnya,” batin Pak Ustadz dengan bangga.
Pak Ustadz pun langsung putar balik pulang karena tidak perlu ada yang dikhawatirkan. Namun langkahnya tiba-tiba ia mendengar santrinya itu marah-marah di kuburan.
“Mbah… Mbah! Njenengan ki rumiyin tirakat mboten jan jane? Kula kok mboten angsal warisane? Kula mpun mondok sepuluh tahun panggah bodo ngoten niki! Cobi nek jenengan kawit riyen nirakati, kula mpun lulus mondok sakniki, bahkan paling mpun dadi ustadz kondyang. Pokok e kula bodo ngoten nikii salahe njenengan Mbah! (Owalah Mbah…Mbah! Simbah itu dulu tirakat enggak? Saya kok tidak dapat warisan hasil tirakat? Kok saya sudah mondok sepuluh tahun tetap seperti ini! Coba kalo simbah dari dulu tirakat untuk cucunya pasti saya sudah lulus mondok dan jadi Ustadz kondang! Pokoknya ini salah Simbah!) ” kata Ihsan kepada makam simbahnya dengan sebal.
Pak Ustadz yang mendengarnya hanya bisa geleng-geleng dan berucap, “Ncen santri pedot!“.
Salah Sangka
Dulu, saat bulan Maulid, Pondok An Nur Komplek Putra Pusat akan sering mengalami guncangan dan gemuruh. Bukan karena gempa, bukan. Tapi karena sering mendapatkan sedekahan sisa nasi dari pengajian-pengajian daerah sekitar Bantul.
Biasanya nasi kotak atau lazim disebut sega-sega itu akan datang tengah malam. Saat sedekahan datang, salah satu santri akan berteriak “sega-sega! ” mengundang temannya yang tidur. Sontak seluruh santri yang tau atau bangun dari tidurnya biasanya akan langsung menyerbu meski dari lantai tiga. Dari gemuruh itulah pondok rasanya seperti diguncang gempa setiap malamnya.
Suatu saat, kawan saya, sebut saja Begeg, tiba-tiba tidak mau beraktivitas seharian. Ia bilang kepada teman sekamarnya untuk mengizinkan seluruh kegiatan pondok. Mulai dari sekolah, diniyah, ngaji binnadzri sampai kajian malam wetonan. Alasannya karena sedang tak enak badan.
Malam hari itu, daerah luar provinsi Yogyakarta sedang diguncang gempa dan Bantul terkena dampaknya. Saat gempa, santri-santri bergemuruh untuk keluar pondok. Banyak santri yang ketakutan berteriak “gempa-gempa!”, namun ada salah satu anak yang lewat kamar kami iseng bilang “sega-sega!” sambil cengengesan.
Saat santri-santri sedang geger mau keluar, mendengar ada suara ” sega-sega” Begeg langsung bangun dari tidurnya, langsung lari keluar kamar lantai 2 dan berteriak “Kang segaaaa siji Kang!!!…. segaaaaa!!!”.
Sontak banyak santri yang menengok heran, bisa-bisanya sedang terkena gempa malah mendengar teriakan minta sega-sega yang begitu heboh.
Begeg yang sadar pun langsung tersipu malu, karena salah sangka. Saya dan teman-teman sekamar hanya tertawa melihat tingkahnya yang katanya sedang sakit tapi melah lari dan teriak sega-sega.
Santri Sunda Vs Santri Jawa
Suatu pagi, seorang santri baru suku Jawa dan suku Sunda kebelet buang air besar. Mereka sama-sama lari turun terburu-buru dari lantai 3 menuju toilet yang terletak di lantai 1. Sampai di bawah, dari 10 toilet hanya ada satu yang kosong.
Akhirnya meski kebelet, santri Sunda mengalah kepada santri suku Jawa. Ia pun mempersilakan masuk dulu. Karena sudah kebelet sampai pucuk, tanpa basa-basi Santri Jawa langsung masuk toilet. Setelah 10 menit, Santri Jawa akhirnya selesai. Dia pun keluar toilet masih mendapati Santri Sunda masih menunggunya karena toilet lain masih ada orang. Dengan ramah, santri Sunda bertanya pada santri Jawa.
“Atos Kang?(sudah kang)” tanya Santri suku Sunda dalam bahasa Sunda. Bukannya dijawab “sudah” si Santri Jawa justru muring-muring sambil menahan perutnya yang masih mules.
“Atos pyeee toh! Lha wong mencret kok atos!” jawab santri Jawa dengan sebal.
*terinspirasi dari kisah yang diceritakan Gus Dur