Urip Iku Urup

Beberapa minggu lalu, Seorang kakek berusia sekitar enam puluh tahun datang bertamu di pesantren. Kebetulan saat itu teman-teman pengurus kantor sedang tidak ada, sehingga saya yang menerima tamu tersebut.
“Pripun njih, Mbah? Wonten perlu napa?” tanya saya.
Wajah kakek itu tampak penuh harapan. Dengan suara lirih, beliau berkata, “Ngeten, Mas. Kula niku pengen belajar ngaji. Kula niku isin kalih putu kula. Kula niku pengen saget maca Qur’an. Rasane ki uripe peteng mboten saget ngaji, Mas! Kula bade nyuwun tolong diajari ngaji.”
Kata-katanya menghantam hati saya. Bagaimana mungkin di usianya yang senja, beliau masih memendam penyesalan karena tidak bisa membaca Al-Qur’an? Saya bingung harus menjawab apa.
Di satu sisi, saya tidak tega menolak permintaannya, tetapi di sisi lain, saya merasa tidak pantas mengajari seseorang yang lebih tua. Saya khawatir akan kesulitan dalam mengoreksi bacaannya, takut cara saya menyampaikan kurang tepat dan malah menyakiti hatinya.
“Rumiyin ngaosipun dugi nopo, Mbah?” tanya saya, mencoba memahami seberapa jauh kemampuannya.
“Alah, Mas, kula niku riyin dereng ngaji. Ngaji Aba-Ta sampun dangu, sampun lali. Pengen saget ngaji kersane mboten peteng.”
Jawabannya membuat saya semakin bimbang. Jika yang datang adalah anak kecil, tentu saya bisa mengarahkan ke TPQ atau meminta teman untuk mengajarinya. Tetapi ini seorang simbah. Menolak atau mengarahkannya ke tempat lain terasa tidak sopan. Dan tak semua santri mau menerima orang sepuh. Saya mulai mencari cara halus untuk menolak, namun di tengah niat itu, kata-kata kakek itu kembali terngiang di telinga saya: “Rasane ki uripe peteng.”
Hidupnya terasa gelap karena tidak bisa membaca Al-Qur’an.
***
Saat itulah, saya teringat sebuah petuah dari Sunan Kalijaga yang pernah disampaikan oleh Pak Fakhrudin Faiz saat ngaji filsafat: “Urip iku urup.”
Hidup itu harus menyala. Kita harus bercahaya dan menerangi orang lain. Hidup bukan hanya tentang eksistensi, tetapi tentang bagaimana keberadaan kita memberi manfaat bagi sekitar. Urup berarti menerangi, dan untuk bisa menerangi, kita sendiri harus bercahaya terlebih dahulu.
Budayawan Prie GS pernah mengatakan, “Urip kalo tidak urup, maka tidak urip.”
Jika hidup kita tidak membawa manfaat bagi orang lain, apakah benar kita telah menjalani kehidupan dengan baik?
Simbah KH. Sahal Mahfudz juga pernah dawuh jika kita ingin terlihat baik, cukup diam di rumah, maka orang-orang akan melihat kita baik. Tapi kalau kita ingin bermanfaat, keluarlah dan bergeraklah. Meski banyak godaan, banyak rintangan, banyak cacian, teruslah berjuang untuk menjadi orang yang bermanfaat.
Kebaikan sejati bukanlah tentang seberapa pintar atau seberapa kaya seseorang. Rasulullah ﷺ bersabda:
“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi sesama.”
Nasehat-nasehat itu bermunculan terus menerus di pikiran saya membuat saya berpikir, mungkin kehadiran Kakek itu di pondok bukan sekedar meminta tolong, tetapi juga sebuah ujian bagi saya. Apakah saya hanya ingin terlihat baik dengan cara menolak yang halus, atau benar-benar ingin bermanfaat?
Akhirnya, dengan penuh keyakinan, saya berkata, “Inggih, Mbah. Monggo, menawi bade ngaji.”
Mata simbah berbinar, penuh kebahagiaan.
***
Di hari pertama, beliau terbata-bata membaca huruf hijaiyah. Terkadang beliau salah, dan saya harus membenarkannya dengan lembut. Namun, tidak ada rasa kesal atau beban. Justru ada kepuasan batin yang sulit diungkapkan dengan kata-kata.
“Gawean kula niku tiap wengi buka niki Mas. Kula sinau terus. Sak tekane. Kula kedah saget! Masio kula sering mumet heheh npo nggih ngoten nek belajar ngaji?” kata kakek itu.
“Enggih Mbah. Biasa ngoten niku.” jawab saya sembari tersenyum.
Beliau selalu datang dengan semangat untuk belajar, meski bacaannya masih jauh dari sempurna. Namun, satu hal yang pasti, kakek itu telah menyalakan cahaya dalam hidupnya.
Dan saya pun belajar satu hal, bahwa membantu orang lain, sekecil apapun itu, selalu memiliki makna besar dalam kehidupan.