Surat Cinta dari Putri Pertama
Tuhan tahu kita berjauhan dan kita tak saling tahu
Yang tahu aku hanyalah Tuhan
dan tahu engkau juga Tuhan
Jadi, aku menitipkanmu pada Tuhan
untuk mengawasimu juga menjagamu
Biarkan Tuhan merawatmu selagi tak ada aku di sampingmu
Biarkan Tuhan berbicara, kala tak ada aku yang membuatmu tertawa
Ayah tahu? Itulah sajak yang ku buat pada September 2022. Saat aku telah kembali ke pesantren sehabis pulang untuk menemani dan merawatmu sejenak. Aku tak bisa terus ada di sampingmu Ayah. Engkau juga yang menyuruhku segera kembali ke pesantren agar belajarku tak tertinggal, walau sebenarnya kau sangat ingin aku ada di sana bukan?
Padahal saat itu yang kumaksud bahwa engkau itu jauh dariku karena engkau di rumah, engkau tengah sakit kala itu Ayah. Namun ternyata tak lama Tuhan malah menempatkanmu lebih jauh dari yang bisa ditempuh selama 3 jam dari tempat belajarku. Bahkan untuk bisa melihatmu pun aku tidak mampu. Engkau begitu sangat jauh Ayah.
Jadi, Bagaimana engkau di sana Ayah? baik-baik sajakah? Apakah selama ini Tuhan merawat Ayah? Apakah selama ini Tuhan berbicara pada Ayah? Apa Tuhan menepati janjinya Ayah? Ya, walaupun aku sebenarnya yakin Tuhan itu kan Maha Baik dan pasti menepati janjinya.
Oh ayah…
Apakah aku sudah pantas hidup tanpamu? Dulu aku hanya sekedar mendengar dan mendengar ceritamu, sesekali menyangkal dan banyak hanya bertanya untuk menggali lebih dalam ceritamu. Kini sebaliknya, banyak yang ingin aku ceritakan padamu.
Mengenai sebuah drama pesantren. Ayah, aku benar-benar tak menyangka, bahwa alur cerita drama yang ku mainkan di malam Muhadloroh Akbar kala itu benar-benar menjadi realita dalam hidupku. Apakah dengan ini Tuhan mengode padaku Ayah? Atau hanya memang kebetulan saja?
Aku masih ingat, kala engkau pernah berbicara saat di mana kala itu aku pulang karena engkau sakit. Entah berawal dari apa tiba-tiba engkau malah membahas tentang kematianmu sendiri.
“Andaikan…..” Untung saja kala itu engkau tengah tengkurap dan aku yang tengah memijat kakimu yang masih terasa pegal. Berkali kali aku menatap ternit. Mengedipkan mata agar air ini tidak tumpah Ayah. Aku sudah berjanji pada Tuhan, akan berusaha untuk tidak menangis sedih di depanmu Ayah, di depan Ibu, di depan Nenek, di depan adik-adikmu Ayah, bahkan di depan seluruh adik sepupuku, tentang hal apa pun itu. Tak akan ada tetes air mataku yang jatuh terlihat oleh mereka. Memang bukan sebuah janji, namun salah satu harapan besar dalam hidupku.
Ayah kau pasti tau…
Bahwa, tak ada air mata yang jatuh dibumi kala aku mengantarkanmu pada Tuhan. Dengan menarik napas panjang dan berusaha tersenyum padamu. Ya, itu juga berkat dikabulkannya gores penaku di lembar kertas putih, 29 September 2022. Apa pun peristiwa besar yang akan terjadi kedepannya, aku tak boleh menangis. mungkin inilah salah satu peristiwa besar yang terjadi dalam hidupku.
Aku tahu ibu pasti lunglai. Apalagi Nenek, Muara kasihmu yang sangat engkau cinta. Bagaimana tidak, engkau yang menemaninya membesarkan ke tujuh putranya selama 13 tahun. Apa itu tidak cukup menjadikan engkau yang ternyata adalah putra kesayangannya? Itu kata adik-adikmu Ayah. Tapi Ayah, engkau juga Ayah kesayanganku. Katamu, aku ini putri kesayanganmu. Engkau saja menemani adik-adikmu sampai mereka lulus sarjana, apa kau tak ingin menemani adikku setidaknya sampai dia dewasaa? Ya mungkin umurku sudah dewasa. Setidaknya aku sudah bisa berpura-pura tenang demi menenangkan semua suasana pilu.
Namun, akan seberapa bertahannya aku setelah ini. Menghadapi rumah yang tak akan pernah lagi sama. Tiada radio yang mengeluarkan suara pengajian Anwar Zahid sambil menunggu suara Adzan. Tiada mataku yang melongok bilik kamarmu lantas mengajakmu berbuka. Tiada perintah untukku mengambilkan sepotong buah sebagai pembuka puasa, dan tiada ajakan suaramu untuk segera menunaikan shalat Maghrib berjamaah.
Mungkin di malam hari raya itulah yang aku harus benar-benar begitu tegar. Puncak kebahagiaan bersama yang kini hanya mampu aku kenang. Diam, memutar kembali rekaman suara itu. Suara? Ya, suara. Suara takbir ayah yang terus menggema di setiap sudut rumah.
Ayah..
Akan setegar apa Ramadhanku ini di rumah. Menghidupi suasana keluarga yang tinggal bertiga. Tak bersediakah Tuhan mengembalikanmu bersama kami?
Putra kecilmu bahkan rindu, namun tak pernah mampu mengucap itu di depanku. Dia terlalu tegar untuk menutupi semua tentangmu. Tentang kerindunnya padamu, bermimpimu, bahkan melihat bayang-bayangmu. Dia menjawab Tidak padaku dan pada Ibu.
Ayah, tak rindukah engkau dengan putrimu ini? Apa karena kau mampu melihatku setiap waktu? Lantas bagaimana denganku yang terus mengadu setiap waktu pada Tuhanku karena rindu padamu?
Ayah…
Ayah aku sangat ingin sekali memelukmu. Aku baru tahu, bahwa ternyata kau sangat bahagia di saat aku mampu mencium pipimu. Di saat aku mau memeluk erat tubuhmu. Aku tahu kau bahagia. Aku tahu semua itu setelah aku tahu bahwa setelah ini aku tidak lagi bisa melakukan semua hal itu.
Maafkan aku Ayah, ternyata aku hanya sedikit membahagiakanmu dari hal-hal kecil yang bahkan sangat mampu aku lakukan. Hanya secuil kebahagiaan yang mampu aku beri selama sembilan belas tahun aku hidup bersamamu. Ayah maafkan aku, aku kalah dengan rasa gengsiku walau sebenarnya hal itu sangat ingin aku lakukan berulang-ulang pada dirimu.
Ayah kau tahu? Di saat pertama kalinya menyaksikan perlombaan “Ngunduh Mantu” yang digelar dalam acara harlah di pesantren, Saat itu, ketika adegan meminta restu, teman-temanku berteriak dan tertawa histeris Ayah, dan aku juga ikut tertawa. Hahahaha. Tertawa yang akhirnya menangis histeris. Ya, tak mampu menjadi realita aku akan mengalami hal itu. Mencium tanganmu meminta restu atas lepasnya tanggung jawab besarmu terhadapku. Hehehehe, maaf ya Ayah, putrimu ini ternyata begitu cengeng.
Oh iya Ayah, terimakasih ya, atas didikan mengenai konsekuensi, kepentingan, kesederhanaan, sikap, dan tentu kisah yang banyak kau ceritakan padaku. Aku telah menemukan jawaban dari pertanyaan bodohku dulu.
“Mengapa ayah bercerita ini?” Aku pikir dulu Ayah hanya sekedar ingin bercerital. Ternyata engkau meninggalkan banyak pesan dan pelajaran dalam cerita itu.
“Semisal besok aku dalam berumah tangga sikapku ada yang salah, aku dibilangin ya, Ayah.” Kataku waktu itu.
“Ya kalo kamu mau menerima.” Begitulah jawabanmu.
“Ya nerima atuuh.”
Tak apa Ayah, jika memang Ayah tidak sampai untuk dapat menemaniku hingga dewasa atau bahkan sampai mampu untuk dipeluk putra baru yang seluruh hidupku akan menjadi tanggung jawabnya. Namun ternyata kisahmu berpesan lebih jauh dari yang hanya sekedar bisa dipanggil Ayah mertua. Lebih dari itu, dalam ceritamu kau meninggalkan pesan untukku.
Tak apa Ayah, inilah misi Tuhan pada hidupku. Dirangkai sedemikian rupa hingga menyadarkanku tentang sebuah perspektif yang mengatakan bahwa Tuhan tahu apa yang terbaik untukmu.
Baik-baik ya Ayah disana sama Tuhan. Tunggu aku di pintu surga, nanti kita masuk bareng sama ibu dan putra hebatmu, Aamiin
Salam Cinta dari Putri Pertamamu
Fatimah (Juara pilihan Juri Lomba Menulis Edisi RFM 1445 H, Komplek Putri Pusat)