Esai

Berdamai dengan Luka

Beberapa hari lalu, setelah menghadiri acara pernikahan kawan saya di Ceper, Klaten, saya mengajak kawan saya yang bernama Anggih untuk mampir ke mantan Bandara Internasional Adisutdjipto.

“Nggih… Anggih! mampir bandara yuk!” ajak saya kepada Anggih dengan suara sedikit keras.

” Haaa, meh ngopo?” katanya sembari menarik tuas gas motor.

Meh membuka luka-luka lama,” jawab saya.

“Maksudnya?” katanya bingung.

“Aku ingin mengunjungi parkiran. Tempat 3 tahun lalu aku pertama kalinya buka WhatsApp terus ngerti ibu saya meninggal,”jelas saya padanya.

Anggih hanya terdiam. Mungkin ia sedang memahami apa yang saya katakan. Ia lalu memacu kuda besinya dari kecepatan 60KM/Jam menjadi kecepatan 90KM/Jam. Kami menembus dinginnya jalan Jogja-Solo. Sampai di pertigaan lampu merah jalan masuk ke bandara, kawan saya menurunkan gasnya.

Ning kene iki kan, menggok ngiwo?”

“Iya, menggok mlebu.”

Kami memasuki area bandara dengan pelan. Lampu-lampu jalan yang dulu terang-benderang, kini gelap. Rumah-rumah yang dulu ramai karena menjadi tempat penitipan kendaraan, kini begitu sepi tak berpenghuni. Tak ada orang lalu lalang.Tak ada keramaian sama sekali.

Saya pun harus menelan kecewa, sebab parkiran yang ingin saya kunjungi sudah ditutup dan tak ada akses masuk. Saya hanya melihatnya dari kejauhan.

***

Saat melihat parkiran itu, entah kenapa ingatan-ingatan tiga tahun lalu bermunculan. Masih teringat jelas pagi-pagi buta setelah saya shalat Subuh, bapak menelpon.

“Ulin, saiki sampean bali, yo!” kata bapak dalam teleponnya.

Sakniki?” jawab saya sedikit kaget, karena pada malam harinya kakak saya mengabari bahwa Mak e sudah sehat dan boleh pulang. Saya menepis pikiran-pikiran buruk di kepala saya. Ah, mungkin Mak e ingin anak-anaknya kumpul semua, pikir saya.

READ  Berani Minta Maaf Itu Hebat

Iyo, saiki. Ngge pesawat nggolek sek langsung. Duite cukup ora? Nek gak cukup nyilih kancane ndisik, yo!”

Nggih, Pak.” jawab saya singkat tanpa banyak tanya.

Saya memasukkan pakaian seperlunya ke dalam tas saya. Lalu berdiam sejenak memikirkan barang apa saja yang perlu saya bawa pulang. Setelah semua selesai saya meminta kawan saya untuk mengantar saya ke bandara.

Sampai bandara, kawan saya pulang. Saya duduk sebentar di tempat parkiran, sembari membuka ponsel yang sudah sedari tadi begitu berisik banyak notif masuk.

Betapa terkejutnya saya ketika membuka sebuah grup keluarga besar. Saya mendapati berita lelayu di mana nama yang begitu saya hafal tertulis di situ. Saya baca berulang-ulang dengan teliti dan cermat. Ya, ternyata memang ibu saya.

Saya tentu begitu shock. Terdiam, tak mampu melakukan apa-apa. Di tempat itu untuk pertama kalinya, ketika menginjak dewasa saya menangis sendiri begitu kencang tanpa peduli lalu lalang orang yang lewat.

Di tempat itu juga saya merasa di titik terendah, seolah semua yang saya lakukan sia-sia. Di tempat itu hidup saya seolah tak berarti. Di tempat itu juga saya kecewa berat dengan diri saya, sebab saya belum sempat mengucapkan terima kasih pada Mak e.

Banyak penyesalan yang tiba-tiba muncul di hadapan saya. Di tempat itu saya merasakan patah hati yang paling berat yang pernah saya rasakan.

Sekarang saya mengunjungi tempat itu untuk berdamai dengan diri sendiri. Dari kejauhan saya seolah melihat diri saya tiga tahun lalu duduk menangis sendiri sembari memegang HP tanpa peduli siapa pun. Lantunan lagu Tulus tiba-tiba terngiang di kepala saya.

READ  Sebuah Cara Merayakan Perpisahan

“Bisikkanlah

Terima kasih pada diri sendiri

Hebat dia

Terus menjagamu dan sayangimu

Suarakan

Bilang padanya, jangan paksakan apa pun

Suarakan

Ingatkan terus aku makna cukup

Luka, luka, hilanglah luka

Biar senyum jadi senjata

Kau terlalu berharga untuk luka

Katakan pada dirimu

Semua baik-baik saja

Semua baik-baik saja”

Saya kini sadar, saya terlalu banyak menganiaya diri sendiri. Hal itu menyebabkan saya ketakutan melihat masa depan, dan selalu dihantui rasa penyesalan yang tak berkesudahan.

Saya seharusnya melihat hari ini dengan rasa syukur. Dan melihat masa depan tanpa khawatir. Memaafkan atas segala penyesalan dan mengucapkan terima kasih pada diri sendiri karena bisa melewati semua itu.

Saya jadi teringat dulu Kiai saya menyampaikan sebuah nasihat yang terdapat dalam Al-Qur’an surat Lukman ayat 12.

“…. Barangsiapa bersyukur, maka sesungguhnya dia bersyukur untuk dirinya sendiri, dan barangsiapa tidak bersyukur (kufur), maka sesungguhnya Allah Mahakaya, Maha Terpuji.”

***

Saya menarik napas panjang, lalu menghembuskannya. Meski berat namun semua baik-baik saja. Sepertinya saya harus banyak-banyak bersyukur, mulai memaafkan dan berterima kasih pada pada diri sendiri karena sudah melewati banyak hal.

“Maafkan diri saya dan terima kasih atas semua hal, ya,” kata saya mengucapkannya lirih sembari tersenyum memandang bayangan masa lalu yang sedang duduk di parkiran bersama luka lama yang kini mulai hilang.

Muhammad Ulinnuha

Santri Pondok Pesantren An Nur Bantul. Hobi membaca, menulis, dan menyapu halaman.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button
WeCreativez WhatsApp Support
Tim dukungan pelayanan kami siap menjawab pertanyaan Anda. Tanyakan apa saja kepada kami!
Hai, ada yang bisa saya bantu??