Cinta Raisa #1
Rumah itu tak hanya sederhana, namun letaknya pun jauh dari keramaian. Jaraknya dengan rumah yang lain lebih dari seratus meter. Hampir seluruh bangunannya berbahan dasar kayu. Bentuknya seperti rumah tempo dulu. Berukuran 6×6 meter persegi.
Belum ada aliran listrik yang tersambung. Apabila malam datang, untuk keperluan penerangan memakai lilin tradisional yang dibuat sendiri oleh pemilik rumah. Bahan pembuatan lilin menggunakan dedaunan yang banyak mengandung minyak. Kemudian diolah hingga bisa menjadi semacam bahan bakar lilin.
Sang pemilik rumah bernama Farhan. Sudah tiga tahun ini ia menempati rumah tersebut bersama Naila, istrinya. Siapapun yang berkunjung ke rumah, sepasang suami istri ini akan menyambut ramah.
Begitu juga saat kedatangan Gus Rama, Farhan dan Naila menerimanya setulus hati. Apalagi Gus Rama masih termasuk keluarga dekat. Jalur nasab Farhan dan Gus Rama menyambung dari simbah yang sama.
Gus Rama sangat betah bertamu di rumah Farhan. Tempat sederhana dan lingkungan yang asri dirasa tepat untuk menenangkan hati. Sebagaimana yang dialaminya pagi ini, Gus Rama ingin mengobati hati dalam suasana sepi. Tanpa terpengaruh hilir mudik orang-orang yang sowan kepadanya.
Gus Rama merupakan sosok tampan yang lahir dan besar di pesantren. Ayahnya mewariskan sebuah pondok pesantren yang diberi nama Al-Ikhlas. Jumlah santrinya terbatas, tidak lebih dari tujuh puluh orang.
Ayahanda Gus Rama, KH. Abdul Ghofur meninggal saat sujud dalam sholat Tahajud. Waktu itu usianya enam puluh sembilan tahun. Nyai Khodijah, istrinya yang pertama kali mengetahui peristiwa itu.
Gus Rama adalah satu-satunya putra yang secara alami bertanggungjawab atas kelanjutan pesantren Al-Ikhlas. Dua kakak perempuannya telah menikah dan tinggal bersama suami yang juga aktif mengasuh pesantren di tempatnya masing-masing.
Akhirnya, Gus Rama didapuk sebagai pengasuh pesantren di usianya yang masih terhitung muda, dua puluh tiga tahun. Bersama ibunya, Gus Rama membimbing santri-santri yang semuanya perempuan. Memang sejak awal didirikan, pondok pesantren Al-Ikhlas dikhususkan hanya mendidik santri putri.
Santri-santri diberi pelajaran seputar kitab-kitab karya ulama Nusantara. Istimewanya juga, para santri dibimbing agar mampu menghafal Al-Qur’an lengkap tiga puluh juz. Seluruh santri fokus mengaji di pesantren tanpa aktifitas pendidikan formal di sekolah maupun di kampus.
Setiap hari bertemu santri putri menyebabkan Gus Rama harus pandai-pandai menjaga sikap. Jangan sampai berlama-lama menatap wajah-wajah santri yang mengundang ketakjuban. Nyai Khodijah sudah berkali-kali menyarankan supaya anaknya segera menikah. Daripada berlarut-larut gelisah menahan resah.
Gus Rama sepenuhnya sadar, bahwa ia mesti memikirkan matang-matang tentang bagaimana mempersiapkan pernikahan yang baik. Sehingga, pernikahan yang nanti dijalaninya tidak semata-mata sebagai pengalihan hawa nafsu. Maka Gus Rama perlu waktu yang tidak sebentar untuk bisa mewujudkannya.
Rumah Farhan menjadi pilihan utama Gus Rama dalam mencari inspirasi kehidupan. Tidak hanya sekali dua kali merasakan kenyamanan di tempat ini, tetapi terus menerus setiap kali datang selalu merasa nyaman. Adapun waktu yang paling nikmat bagi Gus Rama untuk merenung ialah saat tengah malam dan pagi hari seusai sholat Subuh.
“Ayuk gus, diminum kopinya selagi masih hangat” Ajak Farhan pada Gus Rama yang dilihatnya pagi-pagi begini sudah melamun.
“Tolong diganti teh saja ya kang. Kalau minum kopi, nanti rasa pahitnya seakan mengingatkan pahitnya kisah cintaku” Sahut Gus Rama.
“Hehe, iya gus. Sebentar ya, saya buatkan dulu” ucap Farhan sembari beranjak ke dapur.
Farhan selalu membikin sendiri minuman untuk tamu-tamunya. Selain karena tidak ingin merepotkan istri, Farhan merasa senang jika bisa membuatkan langsung minuman yang disajikan. Kecuali bila seluruh tamunya perempuan, tentu Naila yang lantas menyiapkannya.
Beberapa waktu kemudian Farhan kembali dengan secangkir teh hangat pesanan Gus Rama.
“Silakan gus, ini tehnya”
“Terima kasih kang”
Di teras rumah itu terdapat empat kursi dan satu meja berbentuk bundar. Gus Rama dan Farhan duduk dengan posisi yang berseberangan. Sehingga lebih nyaman bercakap-cakap.
“Sebenarnya siapa yang sedang dipikirkan gus?” Tanya Farhan.
“Naila kang” Jawab Gus Rama.
Seketika dahi Farhan berkerut. Naila tiada lain adalah istrinya. Tidak lama berselang, senyum Gus Rama mengembang yang menandakan bahwa ucapannya hanyalah gurauan.
“Namanya Amiroh kang” Sebut Gus Rama.
“Sudah delapan bulan ini mondok di pesantren Al-Ikhlas. Pembawaannya tenang, perilakunya anggun dan santun. Setiap menyetor hafalan Al-Qur’an pada ibu, terbilang lancar. Suaranya juga bagus didengar” Sambung Gus Rama.
Di pondok pesantren Al-Ikhlas, proses mengaji Al-Qur’an dibimbing oleh Nyai Khodijah. Sedangkan Gus Rama membimbing santri dalam mengaji kitab. Meskipun Gus Rama hafal Al-Qur’an, namun urusan menghafal Al-Qur’an bagi santri-santri tetap dipegang penuh Nyai Khodijah.
Hal ini didasari permintaan Gus Rama pada ibunya. Demi terjaga dari fitnah katanya. Sebab metode setoran (hafalan Al-Qur’an) memang mengharuskan adanya tatap muka langsung antara guru dan murid dalam jarak yang dekat.
“Sudah berapa lama gus menyimpan rasa padanya?” Selidik Farhan.
“Emm… Kalau dibilang menyimpan rasa sih belum. Ya baru sebatas bersimpati padanya” Jelas Gus Rama.
“Hehehee… Simpati itu sudah termasuk bagian dari rindu ingin terus berjumpa dengannya gus. Heheheheee…” Senyum Farhan semakin mengembang.
“Waaah… Heeheee… Iya juga ya kang” Sambut Gus Farhan.
Selanjutnya, obrolan Gus Rama dan Farhan berlangsung santai diselingi candaan khas pesantren. Tetapi terkadang obrolan akan tampak serius ketika membicarakan Amiroh, sosok santri putri yang tak biasa. (Bersambung)
Penulis: Muhamad Taufik, Alumni Pondok Pesantren An Nur
IKUTI OFFICIAL RESMI KAMI:
Facebook – pondok pesantren tahfidz an-nur
Instagram – @annurngrukem
Twitter – @annurngrukem
YouTube – annurngrukem