Sebuah Cara Merayakan Perpisahan
“Lin, ngelih ora?” kata kawan saya membuka percakapan di tengah waktu santai setelah kegiatan mengaji selesai.
“ Ya, ngelih, heheheh,” jawab saya jujur sembari meringis.
“Ya, ayok, madang,” kata kawan saya sembari berdiri menarik tangan saya.
” Hehehehe, aku lagi ora ndue duit e,” jawab saya sembari mencoba tersenyum menolak ajakan kawan saya.
“Uwes, tho, gampang, ayok melu aku ning kantin,” kata kawan saya memaksa menarik tangan saya dengan kuat.
Akhirnya saya pun menerima ajakannya. Kami pun turun ke kantin membawa sisa nasi yang masih ada di kamar, lalu memesan Indomie rebus, omelet, tentu tak lupa kerupuk dan sambel terasi kemasan seribu lima ratusan. Setelah semua matang, kami makan bersama satu nampan.
Setelah selesai makan, saya kira kawan saya akan mengeluarkan uang untuk membayarnya. Namun ternyata tidak. Ia hanya berbisik-bisik pada si Penjaga Kantin. Saya tak tahu apa yang kawan saya bisikkan kepada si Penjaga Kantin. Saya melihat dari kejauhan si Penjaga Kantin hanya tersenyum diiringi tawa kecil lalu mengangguk.
Setelah beberapa hari saya tahu bahwa ternyata kawan saya memberanikan diri hutang karena tidak punya uang juga untuk mengajak saya makan malam itu. Tentu saja sebagai santri baru, saya terharu.
***
Ingatan itu tiba-tiba muncul ketika dua kawan saya berpamitan pulang untuk melanjutkan pengabdiannya di rumah. Maka tak heran kemarin ketika kawan-kawan saya berpamitan boyong, meski mereka laki-laki berwajah preman, banyak air mata yang jatuh membasahi pipi.
Melihat adegan berpamitan, saling bersalaman dan berpelukan mengingatkan saya pada adegan perpisahan kru Bajak Laut Gol D. Roger dalam film One Piece. Saat si Kapten memutuskan untuk membubarkan krunya lalu ia berpamitan untuk kembali ke kampung halamannya, semua menangis.
24 jam kebersamaannya selama bertahun-tahun mengarungi lautan yang luas dan keras hingga mencapai titik keberhasilan dengan kawan-kawannya mengubah status pertemanan menjadi persaudaraan. Jadi tak mungkin tidak, perpisahan adalah hal yang tentunya menyedihkan.
Begitu pula yang dialami seorang santri di pesantren. Persahabatan di pesantren terbentuk bukan karena kesetaraan kekayaan, status, maupun karakter. Namun terbentuk karena bersama-sama belajar memaklumi melalui kesabaran, mengesampingkan kesendirian, belajar memaafkan kesalahan tanpa menyalahkan, belajar menghempaskan kebencian, dan tentunya kebersamaan itu sendiri yang membuatnya menjadi ikatan persaudaraan.
Banyak cerita tentang persahabatan di pesantren. Mulai dari yang suka nakal bersama, mengaji bersama, ngopi bareng, saling sambat dan cerita, bahkan karena kebiasaan bersama teman, ada beberapa santri yang tidak mau makan jika tidak mabar (makan bareng).
Banyak kenangan yang akan sangat membekas jika seorang santri melanjutkan pengabdiannya di rumah. Apalagi bagi mereka yang rumahnya begitu jauh tanpa pernah tahu kapan lagi bisa pulang. Tak ada yang benar-benar menginginkan perpisahan. Keadaanlah yang memaksanya berpisah dan harus kembali ke kampung halaman masing-masing.
Mengutip perkataan Filsuf China Confusius, siapapun sahabat, dia adalah pelajaran. Yang baik menjadi guru untuk ditiru. Yang buruk menjadi pelajaran untuk tidak ditiru. Maka memiliki sahabat adalah sebuah anugerah yang perlu disyukuri. Bahkan ada pepatah yang mengatakan, memiliki seribu teman masih sedikit, namun memiliki 1 musuh itu sudah terlalu banyak.
Meski kadang teman di pesantren ada yang menyebalkan, nakal, usil, keras kepala, suka marah-marah, sering menertawakan, kadang ada yang berisik seperti radio rusak, namun percayalah kelak jika waktu berpisah tiba, semua akan merindukannya.
Meski menyakitkan, bagaimanapun perpisahan tetap harus dirayakan dengan sebaik-baiknya. Entah itu dengan tawa atau air mata. Karena setelah itu, tak akan ada jaminan merayakan pertemuan. Yang jelas doa akan selalu mengiringinya.
***
Kenangan-kenangan kebersamaan itu akan tersimpan. Karena seorang sahabat tak akan melupakan kebersamaan yang pernah ada. Mengutip lirik lagu berjudul Memories yang menjadi lagu penutup pertama film One Piece, “Seandainya saja dunia berubah, aku yang semula tidak tahu apa-apa, semoga saja kenangan yang kubawa tidak akan memudar”.
Maka selagi masih bisa, rawatlah perbuatan baik pada sekitarmu, karena suatu saat rasa rindu akan menghampirimu.