Sastra

Surat untuk Ibu yang Telah Berlabuh Terlebih Dahulu

Assalamu’alaikum Mak… 

Bagaimana kabarmu? 

Semoga selalu dalam keadaan baik di alam sana, ya. 

Tak terasa ya, Mak, 5 tahun sudah kita berpisah.

Hari ini, ketika aku men-scroll medsos, melihat Instagram dengan bermalas-malasan, membuka status Whatsapp sembari tidur-tiduran, banyak sekali teman-temanku sedang banyak yang memajang foto mereka dengan ibu. Sebab, katanya hari ini adalah hari ibu. 

Dulu, ketika dirimu masih selalu menemaniku, aku tak pernah menganggap bahwa 22 Desember adalah peringatan hari ibu. Sebab menurutku hari ibu yang sesungguhnya adalah setiap hari. 

Aku selalu berpikir, buat apa aku mengucapkan selamat hari ibu, jika setiap harinya aku selalu bersungut-sungut kepadamu. Buat apa aku memposting fotomu dengan caption “aku sayang ibu” jika aku masih saja sering berlaku buruk padamu. Hari Ibu bagiku tidak penting. Bagiku, asal setiap hari aku bisa  melihatmu, membuatmu tersenyum, itulah hari ibu. 

Sekarang, ketika dirimu sudah pergi ke keabadian, apakah hari ibu sudah dihapuskan di hidupku? 

Tapi tak apa, anak laki-lakimu yang dulu begitu manja kini sudah lebih kuat. Anakmu yang dulu cengeng dan harus kau hentikan tangisnya kini sudah mulai bisa mengatasi kesedihannya sendiri.

 Aku jadi ingat bagaimana dirimu selalu mengajarkanku untuk mandiri. Waktu itu, beberapa tahun sebelum mondok di pesantren aku masih ingat sekali, engkau selalu menyuruhku menyiapkan apa-apanya sendiri. Aku juga masih ingat saat dirimu mengingatkanku agar selalu ngopeni hal-hal kecil milik pribadi. 

“Barang-barange ki diopeni, sesok nek ning pondok pye jal?”

Biasanya aku hanya meringis, lalu kabur pergi agar tidak disuruh lagi. Heheheheh, maaf ya, Mak. 

Aku juga masih ingat bagaimana dirimu selalu mengajariku untuk berbagi dengan sahabat-sahabatku di pesantren setiap mendapat kiriman. 

READ  7 Kiat Menjalani Ramadhan dengan Baik di Pesantren

“Kancane dikei, ojo di maem dewe.” Katamu waktu itu. 

Terimakasih juga telah mengajarkan sekaligus mencontohkan anakmu untuk lebih kuat. Meskipun aku tahu bahwa dirimu sering berbohong padaku. Ya, di saat-saat terakhir, dirimu tak pernah mengeluh dengan sakitmu. Dirimu selalu menampakkan keadaan baik-baik saja di hadapan anakmu. 

Namun baru ku ketahui, kata Bapak, saat diriku, dan kakak-kakakku tak di hadapanmu, air matamu jatuh juga. Hujan tangismu tak bisa dibendung. Dirimu menangis lebih keras. Tangisan yang tak pernah kubayangkan dan tak pernah kutahu. 

Aku tahu, bahwa dirimu hanyalah manusia biasa. Sebenarnya tak apa-apa jika kau menumpahkan tangisnya pada kami. Tak perlu kau terlihat kuat dan tegar di hadapan anak-anakmu. Toh, kami juga sering menangis di hadapanmu. Karena bagaimana pun keadaanmu, kau selalu hebat dan nomor satu dimataku. 

Mak…

Terimakasih kebersamaannya selama 20 tahun. Dua puluh tahun menjadi waktu paling berharga bagiku. 

Namun sebenarnya, banyak hal yang belum sempat kusampaikan padamu. Jika aku bisa meminjam mesin waktu Doraemon, aku ingin sebentar saja berdialog denganmu.

Sebagai anak laki-laki yang selalu gengsi mengatakan sayang jika tidak ditanya, aku ingin mengungkapkannya lewat surat ini. 

Aku memang benar-benar sayang padamu, Mak. Tentu rasa sayangku belum sebanding dengan cintamu. Ya, tidak ada yang bisa menandingi cinta seorang ibu. Sebab kata Pak Guru, seorang Ibu tidak akan pernah menagih syarat apa pun untuk mencintai anaknya. Balasan satu-satunya untuk cintanya seorang ibu adalah kebahagiaan anaknya. Dan itu memang aku rasakan hingga sekarang. 

Ketahuilah Mak, Semenjak kepergianmu, Bapak sering kali membahas kematian. Mengingatkanku untuk bersiap-siap kelak jika Bapak pergi menyusulmu. 

“Sesok nek Bapak wes ora ono… ” Begitu kata Bapak  biasanya saat mengawali pembicaraan denganku. 

READ  Bedah Buku “Cosmic Intelligence”

Kepergianmu membuatku patah hati sepatah-patahnya. Aku tak suka bapak membahas kematian, karena akan mengingatkanku padamu. Aku berkali-kali protes padanya. 

Namun bapak menjawab, kematian yang akan memisahkan antara kita, mau tidak mau pasti akan terjadi. Seperti Mak’e. Entah kapan itu. Katanya, selama Bapak masih ada, Bapak ingin memberi, mengajari segala hal yang Bapak bisa.

 Hal itu membuatku sering menelepon Bapak. Sering-sering bertanya kabar. Jika tak ada obrolan, kadang aku mencari cara agar bisa tetap mengobrol.

Mulai dari bertanya kabar tetangga, kabar mobil panther tua bapak yang sering sakit-sakitan, hasil kebun pinggir rumah, berapa suhu panas di rumah jika siang, berapa harga karet, sedang musim apa, atau ada gosip apa yang sedang hangat di masyarakat. Apa pun itu. 

Aku belum siap jika suatu waktu harus kehilangan orang yang kucintai, Mak. Aku berharap bisa lebih lama bisa bersama Bapak hingga aku benar-benar siap. Setidaknya lebih siap dari perpisahan denganmu, jika perpisahan yang begitu  menyakitkan itu menghampiriku lagi. 

Mak Berbahagialah… 

Kini, satu persatu anakmu mulai mentas dan hidup mandiri. Anak laki-laki pertamamu yang tahun lalu menikah, kini sudah memiliki anak yang begitu lucu sekali. Jika dirimu pernah sekali saja bertemu, aku yakin rasa kangen pada bocil yang bernama Faizi namun sering kupanggil Paiji akan selalu bermunculan. Tawanya begitu candu. Dan tentu saja lucu. 

Sedangkan anak perempuan keduamu, kini juga sudah menikah dan tinggal di Jawa. Mungkin jika kau masih ada, kita akan pergi ke Jawa terus untuk menengoknya sebagaimana seperti dulu ketika Mbah Putri masih hidup. Tapi tak apa, percayalah Mak, anak perempuanmu yang cengeng itu sudah ada yang menjaganya, dan akan selalu baik-baik saja. 

READ  Penutupan Akhir Tahun Pondok Pesantren An Nur

Terakhir, aku minta maaf belum bisa menjadi anak yang berbakti padamu. Aku minta maaf belum bisa membahagiakanmu. Aku juga minta maaf belum bisa menjadi anak yang seperti engkau harapkan. 

Terimakasih untuk segenap rasa cinta dan kasih sayang yang tak pernah hilang dimakan waktu. Terimakasih atas segala hal yang engkau berikan. Kau tetap menjadi rumahku, meski jasadmu sudah lebur oleh watu.

Meskipun engkau sudah tak ada di dunia ini, aku akan tetap merayakan hari Ibu sebagai tanda terimakasihku padamu. Setidaknya, aku akan merayakannya dengan mengirim fatihah dan doa-doa baik untukmu. 

Berbahagialah, karena aku selalu bisa tertawa di sini. Aku akan selalu tersenyum dan bahagia, agar dirimu juga bahagia. Selamat Hari Ibu.

Salam rindu dari anakmu. 

 

Wassalamu’alaikum

Muhammad Ulinnuha

Santri Pondok Pesantren An Nur Bantul. Hobi membaca, menulis, dan menyapu halaman.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Check Also
Close
Back to top button
WeCreativez WhatsApp Support
Tim dukungan pelayanan kami siap menjawab pertanyaan Anda. Tanyakan apa saja kepada kami!
Hai, ada yang bisa saya bantu??